Mohon tunggu...
Jumardi Budiman
Jumardi Budiman Mohon Tunggu... Dosen - Insan Budiman

Ngopi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru Tidak Tetap dalam Dilema Kesejahteraan

13 Maret 2019   16:22 Diperbarui: 13 Maret 2019   16:51 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Namun, peningkatan kesejahteraan tersebut hanya dapat dirasakan oleh guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil dan atau Guru Tetap Yayasan yang telah lulus sertifikasi. Hal in menimbulkan sebuah fenomena yang kontras tentang nasib guru honorer yang tidak berstatus PNS atau GTY bersistem upah honorer mingguan dan tidak dapat memperoleh tunjangan sertifikasi dengan upaya pemerintah meningkatkan kesejahteraan guru. 

Padahal baik guru honorer maupun guru PNS atau GTY sama-sama mengembang tugas dan amanah yang teramat penting dalam pendidikan. Diskriminasi dan pembedaan status yang berdampak pada jumlah penghasilan ini ternyata dilegalisasi oleh pemerintah melalui UU No. 14 Tahun 2005 pasal 15 yang memuat perbedaan penghasilan antara guru negeri dan swasta. 

Dalam pasal 15 ayat (2) disebutkan bahwa, " Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan". Perlu diperjelas bahwa yang dimaksud oleh pasal ini hanya guru yang bersatus PNS. Kemudian dilanjutkan pada ayat (3); "Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan bersama".

Diskriminasi ini kemudian melahirkan sebuah kecemburuan sosial antara guru honorer dengan guru yang berstatus PNS atau GTY. Bagaimana tidak, ditinjau dari jumlah gaji yang diterima, keduanya memiliki perbedaan yang sangat jauh. Guru yang berstatus PNS dan telah disertifikasi mendapat penghasilan 4-7 juta rupiah perbulan dengan jumlah jam mengajar wajib sebanyak 24 jam perminggu. Sedangkan guru honorer di sekolah negeri dengan jumlah jam mengajar hingga 26 jam (paling tinggi) hanya mendapat imbalan Rp. 720.000,-. Jumlah tersebut masih harus dipotong bila guru yang bersangkutan berhalangan hadir, tanpa tunjangan transportasi atau tunjangan kesehatan.

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai organisasi guru terbesar, memang telah berupaya untuk menghilangkan diskriminasi penghasilan ini dengan mengusulkan kepada pemerintah untuk menetapkan Upah Minimum Provinsi kepada guru honorer atau guru swasta seperti karyawan pada umumnya. Namun usulan tidak dapat terealisasi dengan dalih bahwa kebutuhan guru honorer dan swasta merupakan kebutuhan masing-masing sekolah sehingga pemerintah tidak berkewajiban untuk menanggung beban gaji mereka. 

Akibatnya, gaji guru honorer di sekolah negeri dan swasta tergantung dari kebijakan sekolah. Dana yang digunakan yang biasanya diambil dari dana Bantuan Operasional Sekolah. Meski dana sudah tersedia, belum tentu dapat dinikmati guru honorer secara berkala setiap bulan. Sekali lagi, hal itu tergantung kebijakan para pemegang kepentingan dalam menyalurkan dana tersebut.

Persoalan gaji yang rendah ini ikut berdampak pada kualitas mengajar guru honorer. Hal ini terjadi karena guru honorer masih harus mencari sumber penghasilan lain untuk mencukupi segala kebutuhan hidup mereka. Tidak heran bila masih banyak ditemui guru honorer yang bekerja sambilan sebagai tukang ojek, mengajar les privat, pekerja paruh waktu di perusahaan bahkan menjadi petani setelah selesai mengajar. 

Adapula guru honorer yang mengajar di beberapa sekolah sekaligus, dari pagi hingga petang. Kesemua aktivitas di luar mengajar tersebut atau mengajar di beberapa sekolah demi mendapatkan penghasilan yang layak, tentunya akan sangat menyita waktu. Guru yang bersangkutan tidak sempat lagi untuk belajar atau mengevaluasi diri demi meningkatkan kualitas, tidak sempat pula memperhatikan perkembangan siswa satu-persatu, tidak sempat memperkaya diri dengan kreativitas metode mengajar, dan bahkan yang lebih besar adalah dampak psikologis guru tersebut, dimana status sebagai guru honorer dirasa sangat rendah di masyarakat. 

Oleh karenanya, dapat kita katakana bahwa status guru PNS, guru GTY atau guru honorer bukan lagi merujuk pada kualitas, tapi lebih kepada penghargaan atua gaji  yang diterima. Ironi memang, karena pada dasarnya baik guru PNS atau guru honorer memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dalam upaya mengurangi jumlah masyarakat bodoh dan terbelakang melalui jalan pendidikan.

Perkara kesejahteraan guru honorer memang tidak bisa hanya diserahkan sepenuhnya pada kesadaran pemerintah, karena harus diakui bahwa manajemen pendidikan dan tenaga pendidik di Negara ini teramat kacau untuk dapat mengurusi imbal jasa para guru honorer yang dianggap sebagai "hal sepele". Namun demikian, sebagai pihak yang menikmati jerih payah para guru honorer sudah selayaknya pihak sekolah melaui komite yang merupakan perwakilan orang tua siswa, dapat lebih peka terhadap persoalan ini. 

Selain komite sekolah, solusi peningkatan pendapatan guru honorer juga dapat dibuat oleh pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan dengan menerbitkan aturan tentang upah minimum guru honorer, sehingga dapat menjadi acuan bagi sekolah dan komite. Pemerintah daerah dapat mengupayakan pengalokasian APBD yang dikhususkan untuk menggaji guru honorer yang telah memiliki kualifikasi mengajar sesuai kebutuhan sekolah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun