Aku terlalu berkhayal sampai tidak ada obrolan. Hingga halaman rumah Hapsah menyambut kami.
“Aku tidak berani memanggil penunggang cikar dengan kata Bajingan. Hanya kamu Agung. Tidak apa-apa, kan?” Hapsah gembira setelah aku membantu barangnya turun dan setelah ia menolak tawaranku untuk memegang tangannya saat turun.
Sakit tapi tidak apa. Aku terbiasa. “Tentu, Hapsah. Kamu bisa memanggilku sesukamu” kataku.
“Ehem … bagaimana kalau aku memanggilmu dengan kata “hai, suami”” Hapsah menarik barang belanjaannya setelah aku menemaninya di teras rumahnya.
Aku tertegun lama, lama sekali sampai-sampai aku bisa pingsan dengan cepat kalau tidak disadarkan suaranya lagi. “Agung, kenapa melamun? aku tadi hanya bercanda” Hapsah berkata sambil menyentuh pundakku.
Aku tersadar, tidak berbicara apa-apa dan hanya mengadahkan tangaku. Hapsah paham dan aku segera berlari menuju kereta sapiku. Memutar cikarku dan menjalankannya menuju arah pasar.
Ya Tuhan. Aku mencintai Hapsah setelah aku memutuskan bertanya siapa perempuan itu. Namun Hapsah bukan perempuan yang mudah goyah. Ia dikenal sebagai wanita galak dan ramah.
Akan aku selesaikan ceritaku. Semua cepat berlalu sejak hari itu. Aku mencoba menyapanya tapi Hapsah selalu melengos pergi.
Aku juga selalu menawarkan kendaranku padanya supaya ia mau naik. Kadang kukasih iming-iming biaya sampai rumah gratis. Namun Hapsah menolak.
Ada terusan, namun apabila silaturahmi tidak terputus, izinkan saya pinjam seratus, agar cerita ini berterus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H