Mohon tunggu...
izza Rifqiya
izza Rifqiya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Institut Agama Islam Negeri Kudus

Saya seorang mahasiswa yang tertarik untuk menjadi penulis konten. Saya mulai belajar menulis dengan menulis artikel di platform media. Lalu saat ini sayakuliah jurusan komunikasi dan sedang semester 7. Dan sampai saat ini saya masih aktif menulis di platform IDN Times dan Blog

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Nuwun Sewu, Tresnaku Cuma Seminggu

18 Agustus 2023   23:02 Diperbarui: 18 Agustus 2023   23:12 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memegang lentera (unsplash.com/NEOM)

Hatinya kaku supaya tidak ada lelaki yang bisa menyentuhnya. Memang dibuat demikian hingga tiba-tiba ada yang mencoba mencekalnya. 

Ironis memang. Sudah seminggu lalu telah berjalan. Di sini masih teringat berbondong-bondong di teras memutahkan orang-orang. Aku hampir menangis saat itu, tapi aku jantan! jadi agak berkaca-kaca. 

Supaya lebih jelas keadaannya aku memaksa untuk sedikit mencubit pergelangan tangan Bu Dewi yang menghalangi pandanganku. Berteriaklah Bu Dewi dan melengok, aku melihat celah lalu masuk. Aku mengabaikan kekejaman mata ibu-ibu di situ saat aku mulai duduk  di sampingnya. 

Mana berani aku menyentuhnya, melihat saja agak was-was. Tapi meskipun ia di sampingku, aku tidak berani. Entahlah. 

Perkenalkan, Aku Bagas Agung. Panggil saja Agung. Intinya aku sudah dewasa secara batin dan jasmani. Untuk itu berani mencintai wanita

Santai saja, aku hanya bisa memandanginya sedekat matahari. Terlalu berlebihan tapi bagiku tidak apa-apa sebab aku tidak mengganggu pernapasanmu. 

Sudahlah. Aku tiba-tiba menangis sebab dengan jelas dia ada di sampingku tapi tidak mampu bicara. Patung sekali tubuhnya. 

Patung apa yang diikat bagian atas, bagian tangan, kedua kaki?. Tidak ada. Hanya Hapsah yang   begitu. Hobi barunya mungkin. 

Mencoba peruntukan mungkin bisa bangun, bisikku, “Hapsah, bangun,” tidak ada jawaban, owalah masih sama seperti 30 menit yang lalu. 

Akan kutarik perlahan, sampai kalian paham bagaimana batin ini mampu bicara. 

“Budhe! siapa itu?” tanyaku pada Bu Dewi. 

“Hapsah” jawabnya cepat

Aku tahu jika perempuan yang memiliki paras mungil itu telah mengetuk hatiku. Tidak perlu mendeskripsikan Hapsah, takut kalian iri dengan karakteriktik Hapsah. Intinya ia mungil, dan cantik di mataku. 

Seminggu ini akan ada cerita menggebu. Aku menjadi semakin gencar menguntitnya entah kemana pun ia pergi. Seperti bepergian ke pasar, aku tidak berani menyapanya. 

Namun dia berbicara padaku, “Bajingan Agung, tolong angkatkan barang ini ke cikarmu. Aku sudah lelah” kata Hapsah galak. 

Aku mengangguk dan mulai mengangkat beberapa barang belanjaannya dan cepat berlalu. 

“Agung, kamu keponakannya Bu Dewi?” Hapsah. 

“Iya, Hap” Aku berkata dengan sedikit senyum. 

Aku mendengar Hapsah mengeluh kesal, cepat, dan galak. 

“Hapsah! Namaku Hapsah. Bukan Hap!” Hapsah menggikan suaranya. 

Aku mengangguk setuju. Lantas kalau tidak setuju pasti bidadariku ini akan terus marah. 

Aku terlalu berkhayal sampai tidak ada obrolan. Hingga halaman rumah Hapsah menyambut kami.

“Aku tidak berani memanggil penunggang cikar dengan kata Bajingan. Hanya kamu Agung. Tidak apa-apa, kan?” Hapsah gembira setelah aku membantu barangnya turun dan setelah ia menolak tawaranku untuk memegang tangannya saat turun.

Sakit tapi tidak apa. Aku terbiasa. “Tentu, Hapsah. Kamu bisa memanggilku sesukamu” kataku. 

“Ehem … bagaimana kalau aku memanggilmu dengan kata “hai, suami”” Hapsah menarik barang belanjaannya setelah aku menemaninya di teras rumahnya. 

Aku tertegun lama, lama sekali sampai-sampai aku bisa pingsan dengan cepat kalau tidak disadarkan suaranya lagi. “Agung, kenapa melamun? aku tadi hanya bercanda” Hapsah berkata sambil menyentuh pundakku. 

Aku tersadar, tidak berbicara apa-apa dan hanya mengadahkan tangaku. Hapsah paham dan aku segera berlari menuju kereta sapiku. Memutar cikarku dan menjalankannya menuju arah pasar. 

Ya Tuhan. Aku mencintai Hapsah setelah aku memutuskan bertanya siapa perempuan itu. Namun Hapsah bukan perempuan yang mudah goyah. Ia dikenal sebagai wanita galak dan ramah. 

Akan aku selesaikan ceritaku. Semua cepat berlalu sejak hari itu. Aku mencoba menyapanya tapi Hapsah selalu melengos pergi. 

Aku juga selalu menawarkan kendaranku padanya supaya ia mau naik. Kadang kukasih iming-iming biaya sampai rumah gratis. Namun Hapsah menolak. 

Ada terusan, namun apabila silaturahmi tidak terputus, izinkan saya pinjam seratus, agar cerita ini berterus

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun