Mohon tunggu...
Izza Fie
Izza Fie Mohon Tunggu... -

a teacher

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Titik Part I

25 April 2012   09:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:07 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“entahlah pa, hati ku ko sepertinya semakin hari semakin
ragu. Terlebih kalau ingat bagaimana ia marah besar dan kasar hanya karena aku
dianggap seperti anak kecil karena mempermasalahkan hal sepele menurutnya.”
Dengan intonasi yang mulai rendah.

****

Seminggu kemudian.

Arif pulang ke Jakarta. Memang keinginan mama mempertemukan
kami. Agar semuanya lebih jelas. Dan yang terpenting kata mama masalah itu bisa
selesai dan pernikahan itu terwujud.

Terdengar dari luar kamar Arif cerita panjang lebar tentang
pekerjaannya. Diseling tawa-tawa kecil, entah apa yang lucu sehingga seakan
malam ini adalah malam yang tidak akan terjadi apa-apa. Padahal malam ini
mungkin akan terjadi sesuatu diluar perkiraan mereka.

Dan aku yang masih
tertegun bimbang diam duduk dipinggir ranjang tidur. Tiban saja adikku mendekat
dan menggenggam kedua tanganku. Kami saling berpandangan.

“ka Farah yang akan menjalaninya. Keputusan hari ini adalah
penentuan sejarah sepanjang jalan hidup kaka. Kakalah yang akan
merasakannya.Ikuti kata hati. Toh apa yang dikatakan hati ka farah
saat ini bukan lukisan di atas air tetapi sebuah fakta yang mungkin orang lain
tidak akan mengerti.”urainya dengan optimis.

“kalau kita sudah meminta kepada Allah tentu Ia akan
mengabulkan setiap permintaan hambanya, begitu yang aku baca dalam
al-Quran”lanjutnya yang kemudian duduk disamping.

“Aku juga suka bang Arif, tetapi aku lebih percaya kakaku
sendiri” bisiknya dengan tawa kecilnya yang manis.

Terjadilah pembicaraan segitiga, aku dan Arif serta orang
tuaku. Setelah panjang lebar Arif mengklarifikasi, aku semakin muak melihat
bagaimana ia begitu egois dan tidak memperdulikan perasaanku.

Dan lagi-lagi papa mama kembali memberikan
nasehat-nasihatnya, tetapi tetap saja jendela hati ini tertutup tidak ada cela
cahaya sedikitpun yang bisa masuk.

Dan ketika semua diam mama bertanyadengan suara beratnya. “bagaimana Farah,
bagaimana keputusanmu?

Sejenak aku terdiam. Tetapi bukannya ragu. Hanya aku tidak
sanggup melihat wajah mama yang pasti akan sangat kecewa dengan keputusan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun