Bima, Nusa Tenggara Barat -- Dalam catatan sejarah dan peradaban Bima, nama Brigjen TNI Agus Bhakti, Danrem 162/Wirabhakti, akan ditulis dengan tinta emas. Kecintaan dan perhatiannya terhadap Tanah Bima tampak begitu nyata melalui berbagai program dan kunjungannya yang inspiratif. Tak hanya memperkuat hubungan antara TNI dan masyarakat, beliau juga membawa perubahan yang menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat Bima, mulai dari literasi, pengembangan UMKM, Penanaman Manggrove di Perairan Teluk Bima, Penanaman Kembali Terumbu Karang, Perhatian kepada Situs Megalitikum, Â hingga tradisi Budaya Kearifan lokal.
Kontribusi dan InovasiÂ
Brigjen TNI Agus Bhakti dikenal sering berkunjung ke Bima untuk membagikan pengetahuan, mengisi seminar, serta mendatangkan para ahli nasional. Tokoh-tokoh seperti Ismail Fahmi (Owner Drone Emprit), Kang Dede (Penulis), Prof Muhtar (IKRA Nusantara), dan arkeolog nasional turut dihadirkan untuk memperkaya wawasan masyarakat. Dengan semangat membumikan matematika digital, literasi, dan riset seperti penelitian bawang Bima, serta mendukung UMKM, beliau berhasil mewarnai kehidupan masyarakat Bima dengan sentuhan inovasi. Disela Kegiatan Kalondo Lopi Pimpinan Drone Emprit Ismail Fahmi juga memberikan Materi Literasi Digital kepada Para Konten Kreator Bima Dompu sementara Istrinya yang seorang Dokter Spesialis mengisi Materi Kesehatan Ibu ibu Sangiang.
Harmoni Alam, Kearifan Lokal dan UMKM
Puncak dari dedikasi Brigjen TNI Agus Bhakti terhadap Bima adalah partisipasinya dalam tradisi Kalondo Lopi (penurunan kapal tradisional Pinisi) di Desa Sangiang, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima. Acara ini bukan sekadar perayaan, melainkan bentuk penghormatan terhadap kearifan lokal warisan nenek moyang Dou Mbojo yang mampu membangun kapal kayu tanpa sketsa di garis pantai Gunung Sangiang Api.
Kehadiran Danrem disambut dengan penuh kehangatan oleh masyarakat Wera. Tarian tradisional seperti Sere (tarian tombak), Wura Bongi Monca (menabur beras kuning), hingga Gantao (silat tradisional Bima) mengiringi penyambutan beliau, memberikan suasana megah seolah menyambut tamu kehormatan kerajaan.
Selama acara, masyarakat menyapa sang jenderal dengan penuh kehangatan, bahkan tanpa sekat.Â
Ungkapan seperti "Akke ku Dou.. re"---yang berarti "Ini benar benar orang" dalam bahasa Bima---menggambarkan penghargaan mendalam masyarakat terhadapnya.
Di sela-sela kegiatan, Brigjen Agus Bhakti meresmikan sarana sanitasi bagi warga pesisir, mengunjungi bazar kuliner, dan terpikat oleh keindahan kain tenun tradisional Bima. Ia terkesima dengan suara alat tenun yang menciptakan harmoni antara bunyi manti dan lira, menghasilkan kain Ngoli dan Salungka Mbojo yang memikat.
Mitigasi Bencana dalam Balutan Budaya
Kalondo Lopi juga menjadi momentum strategis untuk menggelar kekuatan mitigasi bencana. Terlibatnya berbagai pihak seperti TNI, Polri, BPBD, dan Syahbandar menunjukkan bagaimana tradisi ini juga menjadi simulasi koordinasi dalam menghadapi bencana alam. Dengan posisi Gunung Sangiang sebagai gunung api aktif, kesiapan mitigasi menjadi hal yang sangat relevan.
Doa dan Ritual Sakral Kapal Pinisi
Tradisi Kalondo Lopi tak hanya menjadi ajang budaya, tetapi juga simbol gotong royong dan nilai-nilai spiritual masyarakat Bima. Kapal tradisional yang diberi nama "Akbar Wira Bhakti" oleh Brigjen Agus menjadi lambang kecintaan dan perhatian sang jenderal terhadap Bima.
Sarooooo Ruma, teriak Orang Sangiang, "Korem 162 Namanya Wira Bhakti, Danrem Namanya Agus Bhakti dan Kapal Namanya Akbar Wira Bhakti" diringi tepuk tangan para hadirin
Malam hari sebelum kapal diluncurkan, dilakukan doa bersama di atas geladak kapal. Ritual Ziki Roko Kapa (zikir dan doa) yang diiringi lantunan ayat suci Al-Qur'an, bacaan Barzanji dan Shalawat kepada Rasulullah saw menjadi momen khidmat, menyatukan warga dalam doa untuk keberkahan kapal dan masyarakat, menandakan penyerahan seluruh proses kepada kehendak Sang Pencipta Allah SWT.
Kalondo Lopi
Kedatangan Danrem: Suasana Kian Riuh
Matahari pagi perlahan terbit dari balik Gunung Sangiang, mengawali hari penuh semangat di Desa Sangiang, Kecamatan Wera. Di pesisir pantai, warga mulai berkumpul, suasana terasa hidup. Tali-temali penarik kapal tradisional Pinisi mulai dipasang dan dipastikan kuat, sementara aroma masakan khas Bima menguap dari dapur-dapur sederhana. Para ibu dengan cekatan mempersiapkan hidangan terbaik sebagai tanda syukur dan jamuan bagi warga yang bergotong royong menarik kapal.
Dari berbagai penjuru, masyarakat datang berbondong-bondong. Tak hanya dari wilayah Wera, tetapi juga dari luar daerah, bahkan wisatawan mancanegara yang menumpang kapal dari Labuan Bajo turut hadir, penasaran menyaksikan tradisi unik ini. Tradisi Kalondo Lopi, sebuah warisan budaya yang kian jarang ditemui, menjadi magnet luar biasa yang memikat banyak pihak.
Brigjen TNI Agus Bhakti, Danrem 162/Wirabhakti, bersama rombongan tiba di lokasi dengan penuh semangat. Kehadiran beliau memberikan energi tambahan kepada warga yang sudah menunggu sejak pagi. Dari atas Geladak Kapal dengan lantang, beliau memimpin langsung jalannya persiapan penarikan kapal.
Di atas geladak kapal, Danrem memberikan komando dengan tegas:
"Satu... Dua... Tiga... Tarik!"
Teriakan beliau disambut oleh riuh rendah sorakan masyarakat yang bahu-membahu menarik kapal. Suasana penuh semangat dan kebersamaan, seolah menggambarkan semangat gotong royong yang masih hidup dalam tradisi masyarakat Bima.
Di tengah hiruk-pikuk persiapan, seorang Panggita, tokoh spiritual Wera, mendatangi panitia. Dengan penuh keyakinan, ia menyampaikan pesan:
"Kapal ini akan turun dan berjalan ke laut setelah Shalat Ashar."
Pesan itu diterima dengan penuh hormat. Panggita dikenal sebagai penjaga tradisi dan spiritualitas masyarakat setempat, sehingga setiap ucapannya dianggap sebagai petunjuk yang tak boleh diabaikan.
Dengan pesan tersebut, masyarakat pun persiapan dengan tenang sambil menunggu waktu Ashar tiba. Sementara itu, Danrem beserta rombongan memanfaatkan waktu untuk melanjutkan kegiatan lainnya, seperti mengunjungi berbagai fasilitas yang didirikan di lokasi, menikmati kuliner khas, serta berinteraksi dengan masyarakat yang hadir.
( disamping Geladak Kapal (Sumber : Photo Iyek Faris))
Momentum ini menjadi bukti bahwa dalam kehidupan masyarakat Bima, tradisi dan kepercayaan spiritual berjalan beriringan. Rasa hormat kepada Alam dan petunjuk Tuhan menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap langkah masyarakat dalam menjaga kearifan lokal.
Hari itu, Desa Sangiang bukan hanya menjadi tempat pelaksanaan Kalondo Lopi, tetapi juga simbol kebersamaan, harmoni antara manusia dengan alam, serta wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta.
La Sangga Masa : Kuda Bima dan Gunung Sangiang Api Warisan Sejarah Nusantara
Sambil menunggu kapal Pinisi menukik sempurna dan siap meluncur, Brigjen TNI Agus Bhakti, Danrem 162/Wirabhakti, bersama rombongan turun dari kapal menuju boat yang telah disiapkan. Tujuannya adalah Pulau Sangiang Api, sebuah pulau bersejarah yang menjadi saksi hidup dari tradisi, kearifan lokal, dan pesona alam Nusantara.
Setibanya di Pulau Sangiang, rombongan disambut oleh warga yang bermukim sementara di sana. Meski cuaca terasa sangat panas akibat aktivitas vulkanik Gunung Sangiang, semangat warga dan rombongan tak surut. Pulau ini tidak hanya menyimpan tradisi, tetapi juga keindahan alam yang mempesona, seperti sumber air panas alami yang mengalir ke laut dan kawasan bawah laut yang menjadi habitat ikan football fish yang langka.
Kegiatan utama di Pulau Sangiang adalah pelepasan kuda Bima, simbol warisan sejarah yang kaya akan cerita heroik. Kuda-kuda ini dikenal sebagai keturunan kuda perang yang pernah digunakan oleh Raden Wijaya dalam membangun kekuatan militer Majapahit. Tak hanya itu, kuda Bima juga menjadi bagian dari kisah epik Perang Somba Opu, pertempuran di Bone, Buton, hingga ekspedisi ke Negeri Moro (Filiphina) serta Kisah Ulama Bangkalan Syaihk Kholil Bangkalan.
Kuda-kuda lokal ini memiliki karakteristik yang unik: tangguh, gesit, dan berdaya tahan tinggi, yang membuatnya dihormati sebagai salah satu jenis kuda terbaik di Nusantara.
Acara dimulai dengan penyerahan kuda secara simbolis kepada warga oleh Brigjen TNI Agus Bhakti, Dandim 1608/Bima Letkol Inf Andi Lulianto, dan Prof Muhtar, Ketua IKRA Nusantara. Kuda-kuda ini kemudian dilepas untuk hidup liar, sebagai bagian dari upaya pelestarian populasi kuda khas Bima. Proses ini juga sekaligus untuk memantau adaptasi dan perkembangan kuda setelah dilepas di habitat alaminya.
Dari kaki bukit, awan perlahan menyelimuti Gunung Sangiang yang menjulang gagah. Gunung ini oleh masyarakat setempat disebut Sang La Sangga Masa, simbol kekuatan dan kebijaksanaan alam. Letaknya yang strategis di bagian utara Pulau Sangiang menjadikannya ikon alam yang mendominasi lanskap pulau tersebut.
Tak jauh dari gunung, air panas yang bersumber dari aktivitas vulkanik mengalir ke laut. Area ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan, terutama penyelam, karena kawasan perairan di sekitarnya adalah destinasi diving kelas dunia. Habitat ikan langka seperti football fish menambah pesona bawah laut Pulau Sangiang, menjadikannya surga tersembunyi di Timur Indonesia.
Acara pelepasan kuda di Pulau Sangiang bukan sekadar kegiatan simbolis, melainkan perwujudan dari semangat pelestarian tradisi dan alam. Dalam setiap langkah yang dilakukan, tersirat penghormatan mendalam terhadap warisan leluhur dan alam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Bima.
Danrem 162/Wirabhakti dan rombongan meninggalkan Pulau Sangiang dengan kesan mendalam, membawa pulang cerita tentang kuda Bima, Gunung Sangiang, dan keindahan yang terpatri dalam tradisi serta alam Nusantara. Kegiatan ini menjadi salah satu pengingat bahwa menjaga tradisi adalah menjaga identitas, dan melestarikan alam adalah bentuk rasa syukur atas anugerah Sang Maha Kuasa.
Sesuai Filosofi Orang Bima:
Wei Taho (Istri yang Baik)
'Daha Taho (Senjata yang baik)
Uma Mataho (Rumah yang Baik)
Jara Taho (Kuda yang Baik)
Takjub: Kapal yang Meluncur dengan Doa dan Kebersamaan
Setelah menyelesaikan pelepasan kuda di Pulau Sangiang, rombongan Brigjen TNI Agus Bhakti, Danrem 162/Wirabhakti, kembali ke Desa Sangiang. Saat tiba, suasana di pantai sudah ramai. Kapal Pinisi yang menjadi pusat tradisi Kalondo Lopi telah berada dalam posisi menukik, siap untuk ditarik secara massal menuju laut. Namun, sebuah keputusan penting dari Panggita Wera (tokoh spiritual) mengubah suasana menjadi lebih khidmat.
Panggita Wera meminta agar kegiatan penarikan kapal dihentikan sementara. Ia menyampaikan permintaan agar Brigjen Agus Bhakti dan rombongan melaksanakan shalat Ashar di atas kapal, sementara warga lainnya shalat di masjid. Dalam keyakinannya, Panggita menyatakan, "Insya Allah, setelah shalat Ashar, kapal ini akan berjalan sendiri menuju laut."
Keputusan tersebut diterima dengan penuh penghormatan oleh semua pihak. Tepat setelah Sang Panggita dan Brigjen TNI Agus Bhakti selesai shalat Ashar dilaksanakan, suasana di pantai kembali hidup. Warga mulai berkumpul, tali-tali penarik kapal diturunkan, dan kayu penyanggah mulai dilepas. suara gesekan mulai terdengar dari lambung bawah kapal. Tiba-tiba, tanpa komando, kapal mulai bergerak perlahan menuju laut. Suasana yang semula tenang mendadak berubah menjadi gemuruh sorak-sorai ribuan warga.
Asap dari gesekan kayu dengan lambung kapal mengepul di sepanjang jalur peluncuran, menambah dramatis suasana. Di atas geladak kapal, Brigjen TNI Agus Bhakti, Dandim 1608/Bima Letkol Inf Andi Lulianto, dan Prof Muhtar tampak terkejut sekaligus takjub. Kapal besar yang semula membutuhkan dorongan massal kini bergerak sendiri, seolah merespons doa dan kebersamaan yang telah dipanjatkan.
Suara sorak, teriakan penuh semangat, dan takbir bergema di sepanjang pantai. Warga menyaksikan dengan penuh kebanggaan ketika kapal besar itu perlahan namun pasti meluncur ke laut. Momentum ini menjadi bukti betapa tradisi Kalondo Lopi bukan sekadar peluncuran kapal, melainkan simbol dari gotong royong, doa dan hubungan spiritual antara manusia dengan Sang Pencipta. Kapal mengambang dengan Aman di atas Laut Wera.
Kejadian ini mencerminkan esensi mendalam dari tradisi Kalondo Lopi. Kapal tidak hanya diluncurkan dengan tenaga fisik, tetapi juga dengan doa, kebersamaan, dan semangat kolektif seluruh masyarakat. Proses ini juga mengajarkan bahwa kerja keras yang diiringi dengan keimanan dan harapan akan selalu membuahkan hasil.
Kejadian itu mengingatkan pada ungkapan, "Tidak ada sehelai daun yang jatuh tanpa campur tangan Sang Maha Mengatur." Sebuah frasa sederhana, namun sarat makna, mengingatkan manusia bahwa setiap peristiwa dalam kehidupan, sekecil atau sebesar apapun, adalah bagian dari rencana Ilahi.
Brigjen TNI Agus Bhakti, bersama seluruh warga dan tokoh yang hadir, merasakan pengalaman yang luar biasa. Kapal yang meluncur dengan "sendiri" menjadi simbol betapa tradisi, doa, dan gotong royong memiliki kekuatan yang luar biasa dalam budaya masyarakat Bima.
Di tengah sorak-sorai yang masih menggema, Brigjen TNI Agus Bhakti menyampaikan rasa syukurnya. Dengan penuh rasa hormat, ia menyatakan bahwa Kalondo Lopi di Desa Sangiang bukan hanya tradisi lokal, tetapi juga warisan budaya Nusantara yang harus terus dilestarikan. Momen ini meninggalkan jejak tak terlupakan, tidak hanya di pantai Desa Sangiang, tetapi juga di hati setiap orang yang menyaksikannya.
Sang Panggita pun berkisah " Dulu saat Sultan Bima, Sultan La Mbila berperang dengan pasukan Spelman di Somba Opu, Sultan La Mbila maju ke Arena Pertempuran dengan Dirinya, Bayangannya dan Kuda La Manggila. sekarang Saat Kalondo Lopi, Kapal Berjalan sendiri ke Laut, Bapak Danrem diatasnya dan Bayangan Kapal".
Pamit dengan Harapan dan Doa
Di akhir acara, saat Brigjen TNI Agus Bhakti berpamitan untuk kembali ke Mataram, suasana haru menyelimuti. Warga dengan tulus mengantar beliau dengan doa dan harapan. Diiringi dengan doa "SALAMA TAHO RA NTAI"Â yang berarti "selamat jalan dan semoga Tuhan selalu menyertaimu," warga Bima menunjukkan rasa terima kasih dan cinta yang mendalam kepada pemimpin yang telah meninggalkan jejak peradaban di hati mereka.
Kepergian Brigjen TNI Agus Bhakti, Danrem 162/Wirabhakti, dari Desa Sangiang, Wera, Kabupaten Bima, meninggalkan kesan yang mendalam di hati setiap warga. Selama kunjungannya, beliau bukan hanya seorang pemimpin militer, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan mereka, merasakan denyut nadi budaya, tradisi, dan harapan masyarakat Bima. Momen ini menjadi sebuah cerita yang akan terus dikenang.
Kedekatan yang Menghormati
Salah satu momen yang paling diingat adalah bagaimana Danrem 162/WB menyapa dan berinteraksi dengan warga tanpa jarak. Ketua Pemuda Sangiang, Saifullah, dengan bangga mengatakan bahwa, untuk pertama kalinya, "seorang perwira tinggi militer hadir langsung di tengah masyarakat Sangiang, memimpin dan menyaksikan tradisi Kalondo Lopi. Ketulusan dan kedekatan Danrem dengan warga begitu terasa, bahkan ada momen di mana warga memeluk beliau sebagai tanda penghargaan dan cinta. Jika Ada orang yang membahas Kalondo Lopi Sangiang Api, orang pasti akan mengkaitkan dengan Sosok Brigjen TNI Agus Bhakti".
Bagi Kepala Desa Sangiang, kehadiran Brigjen TNI Agus Bhakti adalah sebuah kehormatan. "Tak hanya karena beliau seorang perwira tinggi, tetapi juga karena beliau adalah Jenderal pertama yang pernah mengunjungi kantor desa mereka. Hal ini menunjukkan perhatian dan penghargaan yang luar biasa terhadap masyarakat desa, sesuatu yang mungkin belum pernah mereka rasakan sebelumnya".
Ketika Haji Jazrij, pemilik kapal Kalondo Lopi, menyampaikan terima kasih kepada Danrem, kata-kata yang keluar dari mulutnya hampir tak terbaca. Matanya yang berkaca-kaca menceritakan betapa dalam rasa terima kasih yang dirasakannya. Keberhasilan acara, yang dipimpin oleh Danrem, dan pemberian nama kapal dengan nama "AKBAR WIRA BHAKTI" menjadi simbol penting bagi warga Sangiang. Sebuah perjalanan panjang yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa memiliki.
Jejak yang dikenang Selamanya
Brigjen TNI Agus Bhakti telah mencatatkan namanya sebagai bagian dari sejarah Bima. Perhatiannya yang tulus dan kontribusinya yang nyata membuktikan bahwa seorang pemimpin tidak hanya memimpin dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan. Kalondo Lopi di Desa Sangiang menjadi saksi bahwa nilai tradisi, kebersamaan, dan spiritualitas dapat menciptakan peradaban yang bernilai tinggi.
Sudah selesai... Belum..!
Admin pun mencari informasi di Mataram, Satu Minggu.... Dua Minggu..... bahkan selama satu Bulan, Danrem 162/WB Brigjen TNI Agus Bhakti hanya bercerita tentang Kalondo Lopi, Kalondo Lopi dan Kalondo Lopi di Sangiang Api Wera Kab. Bima. Beliau bercerita tentang, Gunung Sangiang Api, Kuda Bima, Kain Tenun, Kuliner Kadodo Nunggi Wera, Daging Spesial yang di Sajikan, Orang Orang Sangiang dan Kapal Pinisi yang dibuat tanpa Sketsa di Kaki Gunung Berapi yang berjalan sendiri ke Laut....
"Kalondo Lopi" bukan hanya sebuah cerita, tetapi sebuah kenangan yang akan terus hidup, bukan hanya dalam pikiran Brigjen TNI Agus Bhakti, tetapi juga dalam hati setiap orang yang hadir di sana. Sungguh, Bima akan selalu mengenang Brigjen TNI Agus Bhakti sebagai Dou Mbojo sejati  di Bumi Sangga Masa (Sangga'a Kai 'ba Musu / Disegani Oleh Musuh).
Terima Kasih Komandan
SANDAKA DANA MBOJO, DANA MBARI, BUMI SANGGA MASA
(Menjaga, merawat, melindungi Tanah Bima, Tanah bertuah, disegani oleh Musuh)
"KOMANDO TIDAK KEMANA MANA, TAPI ADA DIMANA MANA"
Tak Lupa Admin Ucapkan terima Kasih kepada
- Ayahanda Prof Muhtar
- Pak Ismail Fahmi dan Istri
- Mas Eko menemani diskusi diata Perahu
- Bang Yan Kurniawan
- Mas Photografer dan Mas dati Detik Com
- Kades Sangiang
- Sertu Novrin Babinsa Sangiang
- Saifullah Anwar
- Rangga Babuju
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H