Sore itu Jakarta tampak terasa lebih dingin, hujan baru saja reda, tapi gerimisnya masih ada, langit nyaris cerah, gumpalan awan hitam berubah warna jadi putih terang bersemu warna jingga kena terpaan sinar senja. Aku lari-lari kecil menuju taman, dimana aku dan Gina berjanji kembali bertemu. Aku harap aku tak terlambat, karena ini janji pertamaku. Aku khawatir keterlambatanku mengubah penilaiannya kepadaku, walaupun aku tidak tahu dia menilaiku seperti apa.
“Hem......terlambat 10 menit”, ujar Gina ketika melihat kedatanganku. Pastinya aku tampak kaget dan agak gerogi dikit. Aku tarik nafas pelan-pelan sebelum mengambil posisi duduk di sampingnya, jaraknya masih sama 1 meter di kursi yang panjangnya 3 meter. Kali ini dia memakai jilbab warna biru langit, dengan motif warna putih di ujungnya, sementara ia memakai baju putih agak panjang dengan celana warna seragam dengan kerudungnya. “seperti langit”. Kali ini aku memanggilnya “Perempuan Penembus Cakrawala”.
Dia hanya diam ketika dan kembali menatap kedepan, masih sama, objek yang dia lihat adalah pohon palem yang rindang. “sudah lama menungguku.?” Aku coba memulai membuka suara. Mencoba mencairkan suasana danmengabaikan komentarnya atas keterlambatanku.
“Kau terlambat 10 menit,” ucapnya lagi.
“Kurasa aku tak terlambat, karena kita tak pernah bernjanji tentang jam. Atau barangkali kamu 10 menit lebih dulu sampai di sini,” aku mencoba menjawab pertanyaannnya, tentunya dengan mengingat kembali janjian kita seminggu sebelumnya. Dan disana aku tak menyepakati sebuah jam. Hanya sore saja.
Gina tampak kaget mendengar jawabanku, entah kenapa. Tapi sepertinya dia agak gelisah. Akh aku tak tahu ini reaksi apa, grogi atau gimana? Entahlah. “Alibi,” ucapnya singkat. Dan aku hanya tersenyum. Aku tetap pada pandanganku, aku tak terlambat dan dia 10 menit lebih dulu datang ke taman itu.
“Waktu selalu bergerak lebih cepat walaupun kita mengejarnya secepat kilat, dan alam sering kali tak membantu kita untuk mendahuluinya,” ucapku lagi dengan alibiku.
“aku bisa mendahului waktu yang kita janjikan”. Balasnya.
“Aha........!!! Masalah selesai, itu artinya aku tak terlambat”, ucapku sambil tersenyum. Sementara Gina tampak kesel, wajahnya bersemu merah. (Aku girang aku menang.)
Lalu kami sama-sama terdiam menatap kedepan, tapi aku diam-diam menghadap kesamping, memperhatikan wajahnya, tangannya pakaiannya, tasnya dan sandal yang dia pakai. Kesimpulannya Gina adalah perempuan yang berpunya (kaya). Ini penilaianku sementara. Karena aku tak tahu harga baju yang dipakai, harga sepatu yang dia gunakan dan harga tas yang ia bawa. Tapi tampaknya bermerk.
Kemudian aku melihat diriku. Akh........!!! aku jadi malu sendiri, kaos hitam yang sudah mulai pudar warnanya, sandal jepit yang nyaris putus, dan tas ransel lusuh yang selalu kubawa. Isinya kertas dan pena, buku dan kamera. Hem.......tak masalah, pikirku. Toh Gina tak pernah memperhatikan penampilanku. Bahkan dia jarang melihatku.
“Pohon itu selalu memberikan keteduhan pada orang-orang dibawahnya, dari panas matahari dari rintik hujan, dan bahkan pohon itu juga memberikan suasana nyaman bagi orang lain, tapi orang-orang tak pernah berterima kasih pada(n)Nya”. kata Gina beberapa saat kemudian, tatapannya masih tertuju pada pohon itu. dan aku mencoba mencerna kata-katanya.
“Kupikir pohon itu juga tak membutuhkan terima kasih orang”. Ucapku.
“Tapi dia butuh perhatian orang”, balasnya.
“hem aku setuju kalau yang itu, tapi tidak harus orang yang berteduh dibawahnya berterima kasih pada pohon itu, karena akan terlihat menggelikan berbicara dengan pohon, tapi orang awam menyebutnya gila, ahli psikologi menyebutnya stres, dan ahli sastra menyebutnya nyentrik”. Kurasa jawabanku terlalu panjang. Tapi itu tak apa, siapa tahu tema pembicaraan kita semakin banyak.
“Setidaknya orang berterima kasih pada yang menumbuhkan pohon itu, karena manusialah yang punya kesadaran untuk berterima kasih, dan terima kasih itu ungkapan lain dari syukur,” ujarnya kemudian, tapi senyum tipis tersungging di wajahnya dan matanya seakan terpejam. Aku sendiri berpikir dan menerka kemana kira-kira pembicaraan ini akan menuju. Tapi pikiranku tak berjalan lancar, macet di tengah pesona senyumnya yang menawan. “luar biasa...!!” dan seperti tersihir, aku pun secara tidak sadar tersenyum dan rasanya ringan banget dada ini. Bahkan aku sendiri kaget dengan senyumku. Tapi aku menikmatinya.
“Kenapa kamu tersenyum?” tanyaku padanya.
“hem aku lagi bersyukur”, jawabanya sembari kembali menopang dua dagunya dengan kedua tangannya dan dia tetap tersenyum sendiri. Lalu merentangkan tangannya, wajahnya menengadah kelangit seakan-akan ia membuka hatinya menyerap seluruh angin dingin yang mengigit, kupikir dia ingin menyejukkan hatinya yang mungkin sedang lagi panas.
“apa yang kamu rasakan..? menyerap kesejukan alam..?” tanyaku.
“menyatukan kesejukan hatiku dengan kesejukan alam, cobalah dan rasakanlah, tampaknya kamu lagi gundah,” ucapnya sembari tetap tersenyum memandang langit seperti memandang wajah kekasihnya. Benar-benar pandangan yang lembut. Hem aku pun mencobanya, tapi sepertinya aku tak merasakan apa-apa. Kecuali hanya rasa dingin di badanku.
“aku tak merasakan apa-apa”, ucapku kemudian.
“karena kamu tidak bersyukur”, jawabnya singkat.
“aku kan tidak lagi berteduh di bawah pohon itu, apa yang harus saya syukurin”, ucapku mencoba untuk mengetahui sejauh mana ia mendefisikan rasa syukur. Mendengar pertanyaanku ia kemudian menurunkan tangannya dan menatapku tajam, tapi rasanya ini pandangan aneh. Dia seakan menembus isi hati dan pikirkanku melalui mataku.
“Kenapa menatapku begitu.? Ada yang aneh?” tanyaku kemudian, dan tidak enak ditatap lama-lama perempuan menarik dengan tatapan yang menyelidik.
“Aneh..!” ucapnya singkat. Tapi tegangan pandangannya sudah mulai menurun, sepertinya dia sudah mulai normal lagi.
“Apanya yang aneh?” tanyaku.
“Pertanyaanmu,”. Ucapnya. “Apa yang mesti aku syukurin? Itu pertanyaanmu, dan itu pertanyaan yang sangat aneh menurutku,”
“Dimana letak keanehannya?” tanyaku lagi. Aku semakin penasaran apa jawaban selanjutnya yang ia berikan.
“Pertanyaanmu itu semakin membuatmu lebih aneh lagi?, Selama ini kamu kemana? Dan hidup dimana? Bagaimana kamu bisa hidup? Hingga kamu tak tahu apa yang mesti kamu syukurin?” dia membalasnya dengan berondongan pertanyaan yang menyelidik. Aku hanya bingung, mataku muter-muter tak jelas. Pertanyaan ini benar-benar membunuhku dan membuatku menyadari kesalahku. Pertanyaannya terlalu filosofis.
“Hidupku Menyedihkan” jawabku singkat. Karena aku tak ingin banyak bercerita kesedihanku pada orang lain, aku hanya sekilas mengingat dan mengasihi diriku sendiri. Itulah salah satu alasan aku ke taman ini. Mencoba memindah rasa sedih, dengan mencari rasa yang indah.
“itu tidak berarti kamu tidak harus bersyukur” jawabnya.
“tapi apa yang harus aku syukurin kalau hidupku menyedihkan”.
“ya....seperti yang kamu bilang, kamu harus mensyukuri ‘Hidupmu’, maka kamu tidak akan ‘menyedihkan’ lagi”? jawabanya lagi. Tapi jawaban ini membuka kran baru dalam pemikiranku. Aku sadari bahwa kata “Hidupku Menyedihkan” itu memang harus aku syukuri. Aku mensyukuri “hidupku” maka aku tak akan lagi “menyedihkan”.
“hem..............cerdas...!!!” ucapku spontan.
“siapa yang cerdas......?”
“Hem.... awalnya kamu, kemudian aku, akhirnya kita lah yang cerdas”.
“kenapa demikian?”
“Kamu cerdas, karena memberikan pandangan baru tentang bagaimana mensyukuri ‘hidupku’ agar tidak menyedihkan, dan aku yang cerdas karena aku mampu memahami kata-katamu, dan akhirnya kita lah yang cerdas, karena kememapuan menyampaikan pikiran dan kemampuan memahami pikiran adalah dua kemampuan yang berbeda, dan kedua-keduanya dibutuhkan kecerdasan,”. Terangku, walaupun aku tak tahu pasti apakah itu selaras dengan pikirannya.
“apakah kamu selalu memuji dirimu sendiri?” tanyanya kemudian, kali ini tatapannya kembali tajam.
“hehehehe....Aku sedang mensyukuri diriku sendiri, Alhamdulillah.........!!!” kini aku membalas tatapannya dengan selembut mungkin, aku memberikannya tatapan air, ketika dia menatapku dengan api. Akhirnya aku menang, dia tertunduk. Lalu bangkit sembari mengalungkan tasnya di lehernya.
“Eh......Apakah kamu selalu bersyukur setiap saat atau hanya ketika melihat pohon itu?”, tanyaku mencoba menunda kepergiannya.
“Aku bersyukur setiap kali aku merenung, dan itu kulakukan tiap sore di tempat ini, karena pohon itu”. Jawabnya sambil berlalu, sementara aku masih berusaha mencerna jawabannya. Kusadari pikiranku sangat lambat bekerja. Tapi aku berhasil menemukan sebuah jawaban, “perempuan pengagum semesta”. Dan untuk kata-kata terakhirnya aku pikirkan lagi nanti malam. Hem..
To Be Continu...
Gina (3) : Sang Pengagum Semesta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H