“aku kan tidak lagi berteduh di bawah pohon itu, apa yang harus saya syukurin”, ucapku mencoba untuk mengetahui sejauh mana ia mendefisikan rasa syukur. Mendengar pertanyaanku ia kemudian menurunkan tangannya dan menatapku tajam, tapi rasanya ini pandangan aneh. Dia seakan menembus isi hati dan pikirkanku melalui mataku.
“Kenapa menatapku begitu.? Ada yang aneh?” tanyaku kemudian, dan tidak enak ditatap lama-lama perempuan menarik dengan tatapan yang menyelidik.
“Aneh..!” ucapnya singkat. Tapi tegangan pandangannya sudah mulai menurun, sepertinya dia sudah mulai normal lagi.
“Apanya yang aneh?” tanyaku.
“Pertanyaanmu,”. Ucapnya. “Apa yang mesti aku syukurin? Itu pertanyaanmu, dan itu pertanyaan yang sangat aneh menurutku,”
“Dimana letak keanehannya?” tanyaku lagi. Aku semakin penasaran apa jawaban selanjutnya yang ia berikan.
“Pertanyaanmu itu semakin membuatmu lebih aneh lagi?, Selama ini kamu kemana? Dan hidup dimana? Bagaimana kamu bisa hidup? Hingga kamu tak tahu apa yang mesti kamu syukurin?” dia membalasnya dengan berondongan pertanyaan yang menyelidik. Aku hanya bingung, mataku muter-muter tak jelas. Pertanyaan ini benar-benar membunuhku dan membuatku menyadari kesalahku. Pertanyaannya terlalu filosofis.
“Hidupku Menyedihkan” jawabku singkat. Karena aku tak ingin banyak bercerita kesedihanku pada orang lain, aku hanya sekilas mengingat dan mengasihi diriku sendiri. Itulah salah satu alasan aku ke taman ini. Mencoba memindah rasa sedih, dengan mencari rasa yang indah.
“itu tidak berarti kamu tidak harus bersyukur” jawabnya.
“tapi apa yang harus aku syukurin kalau hidupku menyedihkan”.
“ya....seperti yang kamu bilang, kamu harus mensyukuri ‘Hidupmu’, maka kamu tidak akan ‘menyedihkan’ lagi”? jawabanya lagi. Tapi jawaban ini membuka kran baru dalam pemikiranku. Aku sadari bahwa kata “Hidupku Menyedihkan” itu memang harus aku syukuri. Aku mensyukuri “hidupku” maka aku tak akan lagi “menyedihkan”.