"Kalau kita buka lembaran sejarah, tak ada ditemukan prasasti tentang padi"
"Yang ada, Sagu, Sukun, Â bukan begitu Pak Iwan?" Â Doni melihat ke saya.
Spontan disebut nama,  saya menjawab sigap: seratus  persen akurat Pak.
Begitulah Doni.Â
Saya berani menyebut angka 100%,  karena  tahun  lalu, Yudi Prabangkara, Asdep Infrastruktur dan Pertambangan Kemenko Maritim dan Investasi, bekunjung ke Bangka Selatan, meninjau proyek pelabuhan  dan kawasan industri Sadai,  mengatakan bahwa tanaman rerumputan bernama padi itu, bukan asli Nusantara. "Beras makanan raja-raja," katanya menuturkan.Â
Mungkin karena faktor psikologi looking up, maka warga beralih dari tanaman  keras tropis Rumbia atau Sagu, Sukun,  ke padi.
"Sagu tak perlu dipupuk saban saat tanam."
"Sagu juga lebih rendah kadar gulanya."
"Sagu mengandung banyak serat."
Begitu Doni.
Saya telusuri ke belakang, jatuh cinta Doni kepada Sagu sudah lama. Sejak ia Panglima di Maluku, sudah mensosialisasikan makanan Sagu lebih menyehatkan. Â "Lebih dari itu, kalau kita galakkan produksi Sagu, kita akan menghemat sebelas sampai dua belas triliun devisa setiap tahun. Karena Sagu bisa mensubtitusi gandum, terigu," paparnya.