PESAWAT C-130 TNI, Hercules TNI AU, Jumat pagi, 19 Maret  lalu baru saja hendak lepas landas dari Bandara Dipati Amir, Pangkalpinang, Bangka. Tujuan Bandar Lampung. Dari jendela pesawat, saya simak langit biru, perkiraan jarak pandang  lebih dari 10  km. Letjen. Doni Monardo, Kepala Badan Nasional Penanggulangan  Bencana (BNPB), baru saja duduk, memegang gadget, membaca  pesan, tak lama,  berdiri, membalikkan badan.
"Saya barusan mendapatkan kabar, bahwa WHO Â belum bisa memastikan kapan Covid-19 ini akan berakhir?"
Sebagai figur dipercayakan negara memimpin penanggulangan bencana, tentulah ia dapat berkomunikasi dengan badan kesehatan dunia itu.Â
Mendengar  kalimatnya, beberapa  sosok  di kabin utama itu diam.  Gelagar  mesin,  propeler berputar mendenging,  lepas landas menjelang.  Ada Indra Gunawan, Sesditjen Bina Adwil Kemandagri; Faisal, Direktur Pertahanan Keamanan, BPKP; juga ada Egy Masadiah, Tenaga Ahli Ka BNPB - - banyak menulis konten feature tentang Doni, dan penanggulangan bencana, sudah pula dibukukan.
Saya tak ingat siapa dari nama-nama di atas  berkomentar duluan. Namun kata, "Waduhhh," seakan bersamaan terucap oleh kami. Begitu mengangkasa, kian tinggi,  saya melihat bayangan badan utuh pesawat  bergerak maju di antara hijaunya daratan. Bila momen itu direkam, teringat akan karya seorang videografer Eropa, mendapatkan banyak like di Instagram.
Sebagaimana lazimnya pesawat baru mengangkasa, masing-masing penumpang bergumam dengan hati dan pikirannya sendiri. Sebelum kemudian ada membuka kata  memecah keheningan.
"Saya bersemangat bekerja  bareng  Pak Doni, orangnya tulus, ikhlas," kata Faisal, BPKP, duduk semeja  di sebelah saya.
"Ia melibatkan lintas kementrian, lembaga, dan daerah, harmonis, seperti rapat kordinasi di dua  propinsi Pontianak dan Bangka, kemarin sudah kita lalui," ujarnya.
Pemimpin memang menggerakkan, memotivasi. Dari saya amati perjalanan bersama Kepala BNPB ini, di setiap memaparkan sesuatu, dalam penyampaiannya  selalu memberikan kesempatan berbicara kepada rombongan.
"Silakan Pak Indra dari Kemendagri, " ujarnya pula, "Nanti dilanjutkan dari BPKP, Mabes TNI, Mabes Polri dan seterusnya." Tampaknya wakil instansi terkait Satgas Nasional Covid-19 semacam wajib bicara.  Dari Mabes TNI, dokter Didi  dan  dari Polri Endi Sutendi, keduanya bintang satu.
Ketika di luar agenda resmi di Pangkalpinang,  Bangka, Doni, Kamis siang sempat meninjau pabrik Sagu.  Pabrik itu sudah mampu mengolah Sagu menjadi Mie. Usai meninjau pabrik pengolahan, mulai dari pemotongan Sagu, merendam  penggalan ke dalam kolam air panjang setinggi pinggang dewasa, hingga  digiling diproses ke ban berjalan,  lalu menjadi  mie instan siap santap.
"Kalau kita buka lembaran sejarah, tak ada ditemukan prasasti tentang padi"
"Yang ada, Sagu, Sukun, Â bukan begitu Pak Iwan?" Â Doni melihat ke saya.
Spontan disebut nama,  saya menjawab sigap: seratus  persen akurat Pak.
Begitulah Doni.Â
Saya berani menyebut angka 100%,  karena  tahun  lalu, Yudi Prabangkara, Asdep Infrastruktur dan Pertambangan Kemenko Maritim dan Investasi, bekunjung ke Bangka Selatan, meninjau proyek pelabuhan  dan kawasan industri Sadai,  mengatakan bahwa tanaman rerumputan bernama padi itu, bukan asli Nusantara. "Beras makanan raja-raja," katanya menuturkan.Â
Mungkin karena faktor psikologi looking up, maka warga beralih dari tanaman  keras tropis Rumbia atau Sagu, Sukun,  ke padi.
"Sagu tak perlu dipupuk saban saat tanam."
"Sagu juga lebih rendah kadar gulanya."
"Sagu mengandung banyak serat."
Begitu Doni.
Saya telusuri ke belakang, jatuh cinta Doni kepada Sagu sudah lama. Sejak ia Panglima di Maluku, sudah mensosialisasikan makanan Sagu lebih menyehatkan. Â "Lebih dari itu, kalau kita galakkan produksi Sagu, kita akan menghemat sebelas sampai dua belas triliun devisa setiap tahun. Karena Sagu bisa mensubtitusi gandum, terigu," paparnya.
Saya cek di online, pada 2019 impor gandum kita  hampir 11 juta ton.  Satu Bushel gandum (satuan untuk  bahan pertanian dari Barat), mencapai US $ 5,27. Satu bushel setara 27,3 kg gandum.
Akan tetapi, dukungan  murni dengan spirit nasionalisme berkunjung ke pabrik Sagu  di Bangka itu, berujung pesan Whatsapp ke Doni dari warga bermunculan. Mereka memprotes, karena pabrik ini dianggap warga mencemari lingkungan, baunya menganggu kesehatan masyarakat. Tentulah, Doni tak mengetahui latar itu sama sekali. Â
Kamis petang, ia kordinasi dengan  tim dari BNPB, memfasilitasi pertemuan warga dengan pabrikan. Maka Jumat pagi itu sedianya pukul 07.30 sudah take off ke Lampung, namun di salah satu ruangan hotel menginap, Doni memimpin langsung pertemuan  dua sisi itu dengan dihadiri Gubernur Erzaldi.
"Ini di luar tugas Covid, saya sangat peduli soal tanaman pangan ini," kata Doni membuka kata.
Ia bercerita sempat bertemu dengan Anthony Salim,  menyimak pabrik pengolahan  mie terbesar Grup Salim. Tetapi mereka belum mampu bikin Sagu menjadi mie. "Karena itu saya tertarik ke pabrik," katanya pula, "Saya tak ikutan di masalah hukum  jika ada."
Lagi-lagi gerak ketulusan.
Doni juga menceritakan singkat bagaimana kumuh-kusutnya kali Citarum dulu, akibat lebih 3.000 pabrik  tekstil di  Bandung membuang limbah silam. Publik masih ingat program Citarum Harum dicetuskannya, awalnya begitu alot berjalan, namun kemudian berhasil.
Doni tak mau ditawar, misalnya dengan "upeti" agar ada kelonggaran bagi industri tetap membuang limbah. Bila kini Citarum Harum dapat dikatakan sukses, diawali tekadnya. "Kalau saya terima  satu miliar dari satu pabrik, lalu saya kendor, diam, tentu Citarum tak harum-harum," katanya tersenyum.
"Nah ini satu pabrik, harusnya bisa diselesaikan soal limbah dan bau ini," katanya.
Doni punya jaringan ternyata ke pembuat Eco Enzym, senyawa penghilang bau, pembersih limbah. Produk ini tidak diperjual-belikan bebas, tapi bisa diproduksi dengan pemberdayaan warga setempat dengan supervisi teknis  dari jaringan Doni.
Sudah jelang pukul setengah sepuluh kami di ruangan VIP Bandara Dipati Amir, Pangkalpinang. Saya simak konsen Letjen ini masih soal pabrik Sagu. Maka ketika ada Vindyarto Purbalinarko, pemilik pelabuhan dan kawasan industri Sadai, saya minta memberikan lahan di kawasannya untuk diberikan cuma-cuma ke pabrik Sagu, mungkin pabrik bisa dipindahkan ke sana. Doni mengajak bicara khusus, apalagi ia pun kemudian paham, selain Sagu, pabrik di Bangka itu, juga membuat Tapioka. Konon  Tapioka ini memang sulit dihilangkan baunya. Saya duga hingga tulisan ini diupload, Doni saya pastikan masih memantau ihwal pabrik Sagu, Bangka, ini.
Perjalanan ketiga kota, Rabu, dua jam di kota Pontianak, rapat kordinasi penanggulan Covid-19. Â Di Kalimantan Barat itu, mengemuka bagaimana TKI kita yang masuk dari luar, seperti di Entikong, dapat terpantau. Pemerintah punya program 3 T; tracking, tracing dan treatment. Dan program 3 M; mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, di semua wilayah dapat berjalan baik.
 Di saat iring-iringan mobil dari kantor gubernur Kalbar menuju bandara, kami langsung ke Bangka, di mobil kepada Roso Daras, Tim Komunikasi Satgas Covid, antara lain, saya sampaikan bahwa sejak lama saya juga sosialisasikan tiga em; mata air, matahari, mata hati. Kawan-kawan netizen pasti bosan menyimak kalimat saya  bahwa lebih 50% badan sehat karena hati senang, 20% makanan, 20% olahraga dan tambahan 10% eling; 60% ranah intangible. Saya tentu bukan pakar kesehatan.  Maka ketika Dokter Riswandi, Dokter BNPB, juga semobil menyimak soal 3M saya, ia usulkan kepada Roso Daras, dapat  dikomunikasikan.
Terkait Sagu tadi,  adalah makanan pokok sehat, rendah gula. Dari membaca, saya yakini mereka sudah di atas 40 tahun, seyogyanya mengurangi gula.  Sejak tujuh tahun terakhir saya  minum kopi, teh, tanpa gula, dampaknya lumayan tak gampang  flu.
Akan halnya, ihwal keriang-gembiraan, perjalanan tiga kota, tiga hari bersama BNPB ini, membukakan juga keyakinan saya bahwa di tengah kesibukan padat, serius, formal, kita harus menyenangkan hati. Saya tak tahu-menahu soal agenda di Kamis malam, Letjen Doni akan pergi memancing ke laut. Difasilitasi oleh Gubernur Erzaldi, kebetulan juga sudah lama saya kenal, momen itu saya tunggu. Â Maka Magrib berlalu, jelang Isya, rombongan menuju laut Pulau Semujur, dua jam menggunakan kapal dengan mesin 800 PK.
Jelang pukul 01 dini hari ketika sampai di loby hotel wajah Kepala BNPB masih segar.  Ia saya simak sangat menikmati pelayaran pp 4 jam, plus memancing di laut tadi. Saya menjadi teringat kala dulu 1984-85 ikut tim mengubah Majalah Zaman menjadi Matra, ada Rubrik Pria dan Kesenggangan. Entah Anda Pembaca sependapat atau tidak, dominan pria memiliki hobby, kesenggangan, lebih awet muda dan happy, dan simaklah wajah Doni.
Nah akan halnya saya ikut serta dalam rombongan BNPB, adalah berkat komunikasi dengan Egy Masadiah, Â Saya mengapresiasi kegiatannya membuat konten, menulis feature tentang BNPB, tentang Doni.
Di tengah dunia Sosmed di kekinian, membuat konten sendiri bagi setiap lembaga, keniscayaan.  "Sesekali ikut ya, Bapak Kepala mengajak, " katanya. Dan  tanpa direncanakan saya turut serta ke Pontianak, Bangka dan Lampung. Di Bangka dua malam. Bangka sudah menjadi kampung kedua saya, karena sejak lama kami punya perhatian ke lingkungan dalam program #SaveBabel, juga pemberdayaan ekonomi warga melalui penikatan pertanian, khususnya lada.
Berita online hanya  hard news, sementara literair apalagi perjalanan pandemi Covid ini suatu dahsyat terjadi, tidak mudah bergerak dalam tuntutan kilat, harus prudent mengelola dana, kudu presisi.  Tidak berlebihan bila saya katakan, Presiden Jokowi, telah menunjuk sosok  Doni, sangat tepat memimpin penanggulangan bencana.
Di tengah komunikasi  publik bak kata Bill Covach, dalam buku Blur, di mana informasi mengalir hari-hari bak tsunami, men-tapis atau memfilter kebenaran  kini juga menjadi bagian pekerjaan, maka ketulusan bekerja, ikhlas, seperti kata Faisal dari BPKP,  memang menjadi kunci solusi. Di sanalah agaknya, Letjen Doni Monardo, ada untuk bangsa dan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H