Mohon tunggu...
Narliswandi Piliang
Narliswandi Piliang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Business: Products; Coal Trading; Services: Money Changer, Spin Doctor, Content Director for PR, Private Investigator. Social Activities: Traveller, Bloger. email: iwan.piliang7@yahoo.com\r\nmobile +628128808108\r\nfacebook: Iwan Piliang Dua , Twitter @iwanpiliang7 Instagram @iwanpiliangofficial mobile: +628128808108

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wahid Diplomat Berbudi

1 Januari 2021   16:23 Diperbarui: 1 Januari 2021   16:32 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KETIKA pertama bertemu di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UAE),  penghujung 2008, fisik sosoknya mengingatkan saya kepada Dahlan Iskan, mantan Dirut PLN, Menteri BUMN. Ia memakai sneaker, kaus poloshirt. Postour tubuh mereka setara, juga suka bersahaja.

"Saya membaca tulisan Mas Iwan di blog. Sebelum di sini, saya anak buah Pak Sabam Siagian di Australia," ujar Wahid Supriyadi, membuka kata kala bersua.  Pembawaannya tak lazim seukuran Duta Besar RI , kebanyakan, "Kasus Mas Iwan urus ini butuh waktu lama, tinggal saja di Wisma Duta bersama saya."

Kerja sosial membawa pulang sosok pemuda,Ziad, tertahan 8 tahun di UAE, ibunya meminta saya turun tangan. Sebelumnya, keluarga Ziad, meminta Direktur Perlindungan Warga Kemenlu, belum membuahkan hasil.

Bila bukan sosok diplomat seperti Wahid,  sulit  saya mengurus kasus Ziad. Ia memfasilitas mobil, memberi pendamping staf kedutaan lokal,  Amin Appa. Pak Amin,  rela mendampingi saya duduk menunggu Kadi (Hakim) hingga jam dua dini hari di Mahkamah. Kenyataan di UAE itu berbeda dibanding saya meng-advokasi kasus pembunuhan David Hartanto Wijaya di Singapura, awal 2009.

 SENIN, minggu ketiga Desember 2020, di saat masih membereskan taman  -  -  selama Covid-19 waktu pagi saya isi  bergerak memotong rumput, membereskan tanaman,  - - datang kurir mengantar paket. Isinya buku Diplomasi Ringan dan Lucu Kisah Nyata., ditulis Wahid.

Pekan sebelumnya kami memang bertegur sapa melalui Whatapps (WA). Ia mengaku masih ada jatah buku untuk kawan, sehingga  saya tak harus membeli.  Di dalam hati, kala itu saya berujar seyogyanya karena kawan, kita harus membeli buku diterbitkan, bukan free.

Saya bulak balik isi bukunya. Editornya, wartawan Suradi MS. Mata tertuju ke pengantar dari Tjipta Lesmana, mencapai 14 halaman buku panjangnya. Ini momen langka digoreskan seorang Tjipta.

Tjipta, saya kenal ketika kami pernah sama-sama di majalah SWA, 1986, setelah ia tak lagi  di Kompas. Di saat di Kompas ia pernah menulis buku 50 tahun Kompas. Total-total Kompas ia kuliti.  Sejatinya buku  Tjipta itu wajib dicetak ulang sebagai pembelajaran bagi mahasiswa komunikasi khususnya.

Kuat dugaan saya jajaran teras Kompas-Gramedia tak nyaman dan tak suka kepada Tjipta, karena bunya.

Setelah saya tak menjadi wartawan 1989, saya simak Tiptya pun  bekerja  menjadi pimpinan sebuah rumah sakit, sambil terus menjadi dosen. Ia saya hubungi, menawarkan  jasa desain brosur dan cetakan. Saya ingat, kala itu harga saya kemalahan, dibanding cetakan di Kota, dan agaknya Tjipta marah. Komunikasi kami kemudian seperti tersendat. Saya pun menyesali. Tjipta,  kini sudah Professor, memberi pengantar panjang di buku Wahid,  berjudul Diplomat-Jurnalis yang Piawai Menulis, menjadi  sesuatu. Tiada lama lagi sejatinya layak saya tulis bagi buku Wahid: selain Anda semua wajib baca!

Hingga 1 Januari 2021 ini saya ingin mengulang membaca bukunya. Dari tulisan pengalaman empiriknya, saya menjadi teringat kepada Almarhum Mahbub Junaidi, kolumnis Sketsa, penulis cerdas jenaka. Ambil contoh, setelah berkiprah di Australia, Wahid menjadi Dubes di UAE, di negeri petro dolar itu, ia menemukan bagaimana kata Insya Allah  menjadi tak sahih.

"... saya  mengundang makan  pejabat atau relasi di sana, mereka jawab Insya Allah datang, pada saatnya yang bersangkutan tak datang ..."

Diksi Insya Allah ternyata mengalami dekgradasi di sana.  Pembaca akan  mafhum karena buku Wahid ini.

Saya juga menjadi teringat kepada Almarhum Rosihan Anwar, sosok produktif menulis kolom itu.  Banyak orang menulis tentang Paris, akan tetapi cuma Rosihanlah  memulai kata, " ... banyak orang menulis tentang Paris, dan saya pun menuliskan, satu saja tak saya temukan di Paris: Hansip."

Maka dintara nama-nama di atas saya tulisakan, Dahlan Iskan, kini asyik dengan Disway-nya mengalir tulisan saban hari, Alm., Mahbub, Alm., Rosihan, akrab disapa Haji Waang,  di barisan itulah  kini ada seorang Wahid Supriyadi, semoga ia kian  banyak menulis.

Sebagai diplomat, Wahid berlaku bak seorang sales marketing. Di mana bertugas ia buat Festival Indonesia. Saat menjadi Dubes di Rusia berlangsung hingga empat kali tiap tahun. Ia sukses memsarkan banyak produk kita, kopi sase hingga pakaian dari desainer Indonesia ludes setiap dipegelarkan. Dari tulisan Wahid saya pun tahu kalau produk singkong sangat digemari di Rusia. Wrag Rusia menganggap Indonesia saudaranya, sampai ada lagu Rayuan Pulau Kelapa berbahasa Rusia, diperdengarkan  kepada Wahid oleh warga, konon sangat populer era Bung Karno.

Walaupun kami rutin berkeliling travelling, Rusia belum saya datangi. Padahal ada tekad di saat Wahid menjadi Dubes ingin ke sana. Juga saya ada kawan baik, Aexander Popov, Indonesianis, banyak menjembatani  komunikasi budaya bahkan bisnis berkali menyuruh datang.

Saya  menjadi teringat bagaimana Popov di saat Presiden Jokowi baru terpilih presiden 2014, masih berkantor di Balai Kota DKI Jakarta. Dalam hitungan  2x 24 jam,  kami mendatangkan "tokoh"  Rusia bertemu Presiden belum dilantik. Output pertemuan  komitmen rencana  investasi US $25 miliar; dua kilang Migas 2 x 300 ribu barel, melakukan bottom up grading kilang tua Pertamina senilai US $ 5 miliar, plus masih ada bonus minat CSR merenovasi Gelora Bung Karno, karena 2018, empat tahun lagi kala itu, Indonesia tuan  rumah ASIAN Games.

Rencana investasi Rusia itu batal, seiring sejak 6 hari Presiden Jokowi di Istana, dipertemukanlah seorang Sam Pa, China Sonangol, oleh salah satu pimpinan  partai. Di kemudian hari kita mengenal produk Pertalite, lalu dibangun gedung Thamrin One, kini dalam proses digugat pailit oleh para vendor. Bagi Amerika Serikat, konon, Sam Pa,  dicatat terindikasi pernah melakukan kejahatan kemanusiaan di Afrika.

Dari Wahid Supriyadi pula saya pertama  tahu nama Joko Widodo, pengusaha Furniture,  waktu itu Walikota Solo, 2008. Kala Wahid Dubes di UAE, rumah kayu produksi perusahaan Jokowi di Solo, laku di Global Village (GV), kawasan pameran laksana PRJ Jakarta, berlangsung tiga bulan kala itu di Dubai, UAE. Pulang ke tanah air saya mendatangi sosok Walikota Solo kala itu, tulas-tulis, gadang-gadang.

MASIH  di penghujung Desember 2008 hingga awal 2009.  Sebelum berangkat ke kantor dari Kediaman Duta Besar, di ruang makan sudah tersedia sarapan pagi. Nasi, tempe, bahkan lodeh ada, juga sambal tak ketinggalan. Saya melongok ke jendela di taman belakang,  tananam kunyit, jahe,  bahkan Singkong, diupayakan Ibu Wahid tampak hijau. Bagi saya kala itu surprise di daerah padang pasir gersang, tanaman menghijau.

Kawasan kota di UAE bertaman hijau segar  di bawah rerumputan hijaunya berlapis selang air besar hingga kecil,  otomatis hidup mengalirkan air. Di atasnya baru ditimbun tanah, pupuk, hingga pecahan butiran kayu lunak, semuanya diimpor demi kota hijau dan kawasan  trotoar dan pembatas jalan dominan hidup Kurma.

Di meja makan  keluarga Duta Besar ini,  setiap pagi  saya meng-update perkembangan kerja sosial, upaya kami mengurus kasus anak Indonesia tertahan. Wahid memberikan petunjuk ini itu, apa harus saya lakukan di tengah dominan waktu  kedutaan kita di Jazirah Arab, dominan terfokus ke banyak kasus Tenaga Kerja Wanita (TKW)  bermasalah.

Saya pun menyimak bagaimana Wahid kemudian berupaya mencoba mengganti mengirim TKW kelas PRT menjadi kasir di Lulu Department Store.

Ada 33 hari total saya terlibat dalam kerja memulangkan Ziad, dan semua itu didukung penuh kedutaan dimotori Wahid.

Sejak itu kami selalu berkomunikasi. Ketika ia akan mengakhiri jabatan di UAE saya sempat bersama isteri, Sandra, ke sana. Kami pun menginap di  Wisma Duta, tidur di kamar di bawah, di mana bebarapa hari sebelumnya, menginap Alm., BJ Habibie di kamar sama. Di salah satu laci meja rias di kamar itu ada potongan tiket pesawat  mantan Presiden RI itu. Rupanya ia TIDAK  duduk di first class, cuma di business class saja. Potongan tiket itu masih kami simpan hingga kini.

"Pak Habibie diangkat anak oleh Keluarga Syekh Zayed."

"Karenanya kalau beliau kemari mendapat pengawalan khusus."

Dari Wahid pula saya mendapatkan kisah bagaimana Alm. Syekh Zayed sejatinya bangga kepada Habibie, karena membuat pesawat. Dan CN 235 produksi  PT Dirgantara Indonesia, ada dijadikan pesawat VVIP mereka berbadan bercat putih.

Banyak literair tentu dapat dituliskan.

Apalagi oleh seorang diplomat karir bertugas di beberapa negara, seperti Wahid.  Dalam posisi keduta-besaran, acap berlanggam amtenar, Wahid  ke luar pakem. Ia tak segan mengantar perpanjangan Passport sastrawan Achdiat Karta Mihardja, telah lama mukim  dan berpulang di Melbourne, Australia. Ia pun tak sungkan mendatangi mahasiswa tanah air fokal di Australia, di mana mereka acap "dipersulit" oleh kedutaan. Bagi Wahid semuanya kawan. Ia rajin bersilaturahim.

Indonesia butuh ribuan Wahid Supriyadi.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun