Mohon tunggu...
Narliswandi Piliang
Narliswandi Piliang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Business: Products; Coal Trading; Services: Money Changer, Spin Doctor, Content Director for PR, Private Investigator. Social Activities: Traveller, Bloger. email: iwan.piliang7@yahoo.com\r\nmobile +628128808108\r\nfacebook: Iwan Piliang Dua , Twitter @iwanpiliang7 Instagram @iwanpiliangofficial mobile: +628128808108

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Repot Ilusi ke Solusi Reformasi

13 Mei 2020   11:46 Diperbarui: 13 Mei 2020   11:58 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

DALAM sebuah forum, 2019 lalu, pendiri Partai Nasdem, Surya Paloh (SP), berpidato berapi-api.

Khas.

"Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.., dalam berkompetisi praktek yang saya tahu wani piro."

"Dalam praktek saya tahu money is power, bukan kepribadian, bukan attitude, bukan akhlak, bukan juga ilmu pengatahuan."

"Artinya kita sebenarnya malu-malu kucing mengakui bahwa kita negara kapitalis yang liberal," tuturnya pula, "You tahu nggak bangsa kita super kapitalis hari ini, you tahu nggak bangsa kita super liberal hari ini?"

"Ngomong Pancasila, mana itu Pancasila?"

Mata Surya Paloh membelalak, tangannya menunjuk-nunjuk.

Saya pernah memverikasi SP. Jika partai itu ibarat perusahaan, karena ia bukan pendana utama - - dugaan saya "saham" Surya tinggal 20% di partainya - - maka pidato bergemuruh itu sebagai pamor saja. Selebihnya larut dalam istilah saya ke oligarki fulus mulus. Diksi ini terilhami, setelah membaca buku Oligarchy, Jeffrey Winter. Ia menyebut demokrasi Indonesia Sultanistic Oligarchy.

Kawan seangkatan saya dilantik di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) pada 1991, Bambang Soesatyo (BS) kini sudah menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Latarnya pun rada mirip dengan saya, pernah menjadi wartawan di majalah diprakarsai HIPMI, Info Bisnis, lalu Pemred Suara Karya, sebelum full, terjun bisnis. Ia kepada media di tahun ini mengatakan untuk menguasai partai cukup butuh uang Rp 1 triliun.

Dua topik di atas sejatinya obrolan di lepau-lepau sejak awal reformasi 1998. Di ranah lembaga swadaya masyarakat menjadi obrolan warung. Ota, istilah Minang, dan itu hanya menjadi pelarut kopi mengunyah gorengan, lantas menguap.

Omongan kedua sosok tadi saya ungkap sangat penting. Basis mereka sama; pernah di HIPMI, anggota Forum Komunikasi Putera Puteri Purnawiran ABRI (FKPPI). 

Organisasi itu plus KADIN Indonesia di era Orba, secara langsung masuk ke dalam Partai Golkar. Artinya mereka bajunya semula sama. BS tetap di Golkar. Kalau mau ditambahkan, saya pun menulis, akhirnya dari ranah sama, wong dulu begitu HIPMI otomatis Golkar.

Kalimat SP dan BS tidak boleh dilarung basi. Saya abadikan dalam menulis memperingati Reformasi 1998 kali ini, menjadi catatan dan aksi.

Mempersingkat topik. Kemarin, 12 Mei 2020. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mengesahkan Perpu Penanggulangan Kasus Covid-19. Di dalam Perpu disahkan menjadi Undang-Undang itu, jelas ada kalimat penggunaan dananya tidak boleh ada tuntutan. Anda nalar sendiri.

Kedua, RUU Mineral dan Batubara (Minerba), hingga pagi ini masih simpang siur entah sudah disahkan atau belum - - sama dengan dengan sengkarutnya sulit mendapatkan draft RUU-nya - - tapi fix dibawa ke paripurna untuk disahkan.

Membaca di media, ada anggota Komisi VII DPR, membawahi pertambangan, berkabar ke seorang wartawan. Ia mengaku tak kuasa dengan keputusan fraksinya di DPR, walau secara hati nurani ia tak setuju dengan keputusan menyetujui RUU itu.

RUU Minerba itu terindikasi tajam order oligarki Batubara. Terutama pemilik Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B) perijianan pada habis. Sesuai ketentuan seyogyanya begitu habis kembali ke negara. Namun di RUU itu bisa diperpanjang.

Bukan rahasia lagi, eksportir batubara, telah menggelembungkan pundi pemegang PKP2B maupun IUP-nya. Mereka pesta selama ini. Saya sendiri memverifikasi kasus pemindah-bukuan mengakali pajak, melalui pola transfer pricing; antara lain merendahkan harga jual serendahnya ke perusahaan afiliasi di negara bebas pajak, seperti di British Virgin Island, tapi barang secara riil masuk ke pasar bebas sesuai harga pasar: dan ini menjadi mainan sejak lama.

Hampir 65% transaksi perdagangan Indonesia terindikasi tiap tahunnya TP. Secara angka menguap, Indonesia kaya itu bisa dibuktikan telanjang. Namun TP ini tak diurus, akibat ranah Trias Politika kita terjerumus ke dalam oligarki fulus mulus, istilah saya tadi.

Mineral disediakan alam. Kalau mengacu ke UUD 1945, maka sejatinya mutlak dikuasai negara untuk kepentingan rakyat seluasnya. Antara kata dalam UU, mengutip kalimat SP, "Mana Pancasila?", akhirnya kita berjalan sejak 1998 itu dengan lampu remang di kegelapan; hanya repot dalam ilusi, berharap di ujung ada cahaya terang, tapi fatamorgana.

Lantas apa solusi? Berharap ke trias politika tak ada solusi. Berharap ke tokoh seperti Refly Harun, Rizal Ramli, Din Syamsudin, sempat saya baca ada meme diunggulkan namanya kini membawa perubahan, bagi saya itu hanya bak menggergaji angin.

Refly, saya beri catatan khusus. Ia mengkritik tajam pemerintahan setelah di luar, baru bunyi kalau PEMILU 2019 bermasalah.

Mereka pernah memakan uang negara, menerima gaji.

Dalam kelonan income itu mereka juga membiayai opini diri.

Maka, menurut saya, jika kita memang mau menuju refomasi riil, bukan repot ilusi, sebagaimana judul tulisan ini: bangkiti keadasaran dalam tindak-aksi: pilih kawan, pilah gerakan; telaah bio data kawan seperjuangan; riil berjuang dengan kantung sendiri sebagai rakyat apa tidak? Kalau iya telusuri betul sekali lagi latar sang tokoh, ada kaitan dengan oligarki apa tidak? Kalau masih ada kaitan berhenti sajalah bergerak.

Indonesia Berpancasila Riil akan tegak, diperlukan kekuatan keempat, the fourth estate.

Apa itu?

Bukan pers. 

Karena kita paham, jurnalisme Indonesia, bak kata Alm., Budiman S Hartoyo, redaktur senior TEMPO, "Jurnalisme ludah." Dan pers juga terjerembab ke dalam oligarki fulus mulus, sehingga bukan mereka.

Berharap ke TNI? Tampaknya juga bukan. Baru pekan lalu seorang jenderal purnawirawan mengirim pesan pribadi ke saya, mengatakan Undang-Undang telah membuat TNI seperti hari ini, sama halnya, Undang-Undang telah membuat teve negara, TVRI, seperti hari ini, lalu teve swasta menjadi negara dalam negara - - satu-satunya di dunia.

Lantas siapa kekuatan keempat?

Rakyat.

Rakyat memiliki hati nurani suci, jernih tutur tulis dan lisannya, bersih hidupnya. Ada? Banyak.

Dalam zikir dan doa mereka berhimpun. Sejarah telah membuktikan, bangsa dan negara ini warganya sangat taft; dalam analogi saya, dihisap darahnya, dikikir tulangnya, mereka masih diem. Contoh terhangat di harga BBM tak turun-turun, warga mboh walau harga minyak dunia sudah sangat rendah. Bahkan ditimpuk kepalanya bocor, juga ra popo.

Akan tetapi ada waktunya jeruk nipis menetes ke kepala bocor tadi. Di momen itulah agaknya, Reformasi Riil Indonesia akan ada. Di situlah kekuatan keempat nyata dan tak ada  lagi sipapun dapat membendung, termasuk kawan saya BS dan senior saya SP cuma pidato.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun