Mohon tunggu...
Narliswandi Piliang
Narliswandi Piliang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Business: Products; Coal Trading; Services: Money Changer, Spin Doctor, Content Director for PR, Private Investigator. Social Activities: Traveller, Bloger. email: iwan.piliang7@yahoo.com\r\nmobile +628128808108\r\nfacebook: Iwan Piliang Dua , Twitter @iwanpiliang7 Instagram @iwanpiliangofficial mobile: +628128808108

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Azan dan Investasi Kenangan

12 September 2018   11:08 Diperbarui: 12 September 2018   14:02 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SEBELUM  tahun baru Hijriah kemarin, seorang kawan mengirimi saya sebuah video. Dalam penggalan tayangan itu, Alm. Anthony Bourdain, pembawa acara program televisi kuliner dan perjalanan terkenal dunia itu,  mampir ke kawasan persawahan, di Jawa Tengah, jelang Ashar. Ia deskripsikan sekilas soal terasiring, alam hijau, langit biru, angin, dan tak lama, "Allahu Akbar ...."

Waktu shalat Ashar pun tiba. Bagi Bourdain, pengalaman itu liturgi tersendiri.

Pengalaman batin.  

Mungkin ia  tak  menemukan di wilayah lain; panorama; hijau berbeda, padi di alam tropis, suara air di selokan pematang sawah, berbelok ke tikungan patah, air jatuh perlahan mengalir ke bawah, dan: Azan.  Bagi Bourdain bisa jadi penggalan perjalanan wah.

Ya Perjalanan.  

Dalam lima tahun terakhir, kami: saya dan isteri, Sandra,  mengartikan perjalanan sebagai investasi. Investasi kenangan. Beberapa kawan mendengar keterangan kami, berpikir, "Kenangan, kok,  investasi?!"

Investasi kenangan, dua lema. Kedua diksi itu tak muncul di benak saya seketika. Perjalanan riil, lika-liku kehidupanlah mengantar ke pilahan-pilihan kata itu. Cobalah kenang masa sebelum sekolah dasar. Ingatan kepada sesuatu menyenangkan paling duluan muncul di benak. Saya masih mengenang bagaimana Kakek dulu mengajak jalan-jalan ke kawasan air terjun, di Padang Panjang, Sumbar. Ayah mengajak menyimak pacuan kuda. Masih lekat sorak-sorai penonton. Memori tak pernah pergi.

Ketika era bersekolah dasar, ingatan menempel tentulah kepada guru-guru menyenangkan memberi pelajaran. Guru mengajak tertawa, canda, riang, paling duluan tampil di kepala. Suasana, sesuatu melekat di alam bawah sadar, panjang pendeknya terletak dari keriang-gembiraan kita kala momen terjadi. Maka kini kepada anak-anak, saya selalu berpesan happy-happy di sekolah ya 'Nak. Enjoy. Taka ada lagi perintah juara, nilai 10. 

Rasa senang pada akhirnya menjadi siraman investasi kehidupan. Setelah umur bertambah, pengalaman batin pun meningkat. Saya kemudian memahami bahwa doa diterima Tuhan dari insan hatinya riang gembira. Keriang-gembiraan mensucikan hati memberi aura positif. Dari lubuk hati bersih, segalanya menjadi benderang.

Bagaikan Bourdain menyimak Azan. Kami pun punya liturgi. Syahdan dua tahun lalu kami ke Kathmandu, Nepal. Di sebuah hotel, saya berdialog  dengan seorang bell boy. Saya bertanya ihwal banyaknya Gurka dari Nepal, polisi, tentara bayaran, bekerja di negara lain. 

Di luar dugaan pegawai hotel bernama Sangkar, bertutur tiga kali ikut tes menjadi Gurka, untuk menjadi polisi di Inggris. Ketiga kalinya  ia tak lulus. Tes ketiga  catatan waktunya berlari 25 km, membawa beban 25 kg, telat hanya tiga sekon. Ia tetap tak lulus. Sangkar menceritakan banyak orang kampungnya pensiunan Gurka.

Tertarik akan kisahnya, kami mengajak Sangkar mudik. Kami hitung biaya. Sebuah perjalanan non mainstream. Katanya baru ada 4 turis  Perancis ke Taprek, desa di kawasan pegunungan Himalaya, kampung halamannya itu. Kami turis kelima dan enam. Walaupun bukan menuju puncak Himalaya, jalan berbukit berpendakian terjal. Bis bersuara mesin bak kapal tempel nelayan ber-klotok-klotok kasar, melewati tebing terkadang bannya naas sesenti ke tubir jurang. Debu, tanjakan, ditingkahi sesekali suara Elang bersiul menghiasi carawala biru.

Di jelang petang kami tiba di pemukiman kampung Sangkar. Masyarakatnya Bergama Budha. Rumah berlantai tanah, warga ramah-ramah. Setiap pagi mereka mem-pel lantai dengan kotoran sapi atau kerbau. Semula rasa hiiiiii  datang, tetapi saya mengingat cara membersihkan lantai tanah demikian juga ada dalam peradaban Sasak, Nusa Tenggara Barat. Lantai menjadi higienis.

Sekitar dua jam menjelang Magrib. Sangkar mengajak kami berjalan kaki menaiki bukit. "Di ujung sana ada perkampungan Muslim, yuk kita ke sana," katanya. Walaupun masih lelah, semangat anak jebolan tes Gurka berlebih-lebih itu kami beli. Kami melangkah di jalanan berdebu berbatu menanjak-nanjak.

taprek-2-5b98a613c112fe3654204752.jpg
taprek-2-5b98a613c112fe3654204752.jpg
Benar saja  jelang sejam berjalan dua menara masjid di atas bukit tampak dari kejauahan. Di lokasi ada sekitar 100 kepala keluarga Muslim. Mumpung waktu Ashar belum habis, kami shalat di masjid berbentuk kotak, dua lantai. Shalat di lantai atas, usai itu melangkah ke berandanya, dua kubah hijau dengan dua menara belogo bulan sabit menyambut. Bulan sabit itu seakan membelah-belah gunung-gunung salju berlapis-lapis di kejauhan. Nun di sana pun puncak Himalaya menyapa, dingin mencubit-cubit. Hembusan angin di rona jelang senja. Tak lama, "Allahu Akbar Allahu Akabar..." bulu di badan saya berdiri. Di puncak-puncak bukit, di ketinggian langit, Azan magrib berkumandang.

Imam masjid mengajak bercakap-cakap akrab.

"Indonesia, ya. Saya ingin sekali ke Indonesia..."

Usai  Magrib hari gelap. Imam, muazin, beserta tokoh masyarakat, masih mengajak berbincang. Mereka menawarkan mampir dan bersantap malam. Karena sudah berjanji dengan keluarga Sangkar, kami memutuskan turun dalam keremangan malam. Langit cerah. Cahaya bintang memindai langkah tertatah.

Ketika esok  jelang subuh, saya mendengar lamat-lamat suara Azan. Mungkin dibawa hembusan angin. Entah dari suara pengeras nun Masjid di perkambungan Muslim kami kunjungi semalam atau hanya sekelebat ingatan akan waktu wajib beribadah.

Di jelang pukul enam, matahari pagi memerah terbit di sela bukit. Saya sengaja mendekat ke tubir jurang menyimak panorama alam tiada dua. Rona pagi, hijau dedaunan, tanah basah, di kejauhan putih salju masih menghiasi pegunungan, seakan membalut alam kian dingin. 

Tak lama saya menyimak dari jauh  di pematang petak sawah belum ditanami, tiga pria berjalan beriring, dalam pakaian tebal. Makin lama, mereka kian dekat. Mereka menuju ke rumah keluarga Sangkar, tempat kami menginap. Imam masjid semalam rupanya. Ia menyerahkan sebotol minuman ringan, dan bungkusan berisi kue kering.

"Karena kalian tak makan di rumah kami semalam, isteri saya membuat kue kering untuk bekal pulang."

Suara Ustad menggetarkan hati.

"Kembalilah ke Taprek."

Jabatan tangan Muazin tadi malam, merontokkan air mata jatuh.

Dari sana kami menyimak alam, keberagaman peradaban, tidak menganggu perbedaan agama. Suara Azan. Nyanyian tarian umat Budha semalam, menyatu dengan suara alam.

Mengingat video dikirim kawan itu, sosok  Bourdain, mengaku tak beragama sudah berpulang itu, mengenang  sahabat muda Sangkar, jebolan tes Gurka itu, hati seakan kembali kampung halaman Taprek. Kecerdasan lokal di sana tidak pernah mengatur suara Azan.

Mungkin jika ada peradaban lain, ingin mengatur-atur suara Azan, bisa jadi kurang berjalan-jalan.  Tidak melakukan investasi kenangan. Juga, agaknya, tak memahami berkeliling ke mana-mana  adalah investasi. Investasi kenangan.

Azan mengingatkan insan kepada kewajiban.

Hanya di dada mereka  berhati bersih paham mana premis mayor, mana premis minor, mafhum sekali bahasa logika, dipastikan mengerti Azan.

Dalam bahasa Indonesia ada subjek, predikat, objek dan keterangan, membentuk kalimat. Kata Syaidina Ali, kata, words, adalah ruh. Dalam text book pengantar ilmu komunikasi dasar, ruh dasar komunikasi: hati nurani, akal, budi. Mara ke berbagai alam membersihkan hati, menggembirakan nurani. Azan mengalirkan spirit ber-iqra. Kesemuanya itu membentuk kita menjadi makhluk berbudi.  Budi bahasa naluriah  soal Azan pastilah amanah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun