Tertarik akan kisahnya, kami mengajak Sangkar mudik. Kami hitung biaya. Sebuah perjalanan non mainstream. Katanya baru ada 4 turis  Perancis ke Taprek, desa di kawasan pegunungan Himalaya, kampung halamannya itu. Kami turis kelima dan enam. Walaupun bukan menuju puncak Himalaya, jalan berbukit berpendakian terjal. Bis bersuara mesin bak kapal tempel nelayan ber-klotok-klotok kasar, melewati tebing terkadang bannya naas sesenti ke tubir jurang. Debu, tanjakan, ditingkahi sesekali suara Elang bersiul menghiasi carawala biru.
Di jelang petang kami tiba di pemukiman kampung Sangkar. Masyarakatnya Bergama Budha. Rumah berlantai tanah, warga ramah-ramah. Setiap pagi mereka mem-pel lantai dengan kotoran sapi atau kerbau. Semula rasa hiiiiii datang, tetapi saya mengingat cara membersihkan lantai tanah demikian juga ada dalam peradaban Sasak, Nusa Tenggara Barat. Lantai menjadi higienis.
Sekitar dua jam menjelang Magrib. Sangkar mengajak kami berjalan kaki menaiki bukit. "Di ujung sana ada perkampungan Muslim, yuk kita ke sana," katanya. Walaupun masih lelah, semangat anak jebolan tes Gurka berlebih-lebih itu kami beli. Kami melangkah di jalanan berdebu berbatu menanjak-nanjak.
Imam masjid mengajak bercakap-cakap akrab.
"Indonesia, ya. Saya ingin sekali ke Indonesia..."
Usai  Magrib hari gelap. Imam, muazin, beserta tokoh masyarakat, masih mengajak berbincang. Mereka menawarkan mampir dan bersantap malam. Karena sudah berjanji dengan keluarga Sangkar, kami memutuskan turun dalam keremangan malam. Langit cerah. Cahaya bintang memindai langkah tertatah.
Ketika esok  jelang subuh, saya mendengar lamat-lamat suara Azan. Mungkin dibawa hembusan angin. Entah dari suara pengeras nun Masjid di perkambungan Muslim kami kunjungi semalam atau hanya sekelebat ingatan akan waktu wajib beribadah.
Di jelang pukul enam, matahari pagi memerah terbit di sela bukit. Saya sengaja mendekat ke tubir jurang menyimak panorama alam tiada dua. Rona pagi, hijau dedaunan, tanah basah, di kejauhan putih salju masih menghiasi pegunungan, seakan membalut alam kian dingin.Â
Tak lama saya menyimak dari jauh  di pematang petak sawah belum ditanami, tiga pria berjalan beriring, dalam pakaian tebal. Makin lama, mereka kian dekat. Mereka menuju ke rumah keluarga Sangkar, tempat kami menginap. Imam masjid semalam rupanya. Ia menyerahkan sebotol minuman ringan, dan bungkusan berisi kue kering.
"Karena kalian tak makan di rumah kami semalam, isteri saya membuat kue kering untuk bekal pulang."