Mohon tunggu...
Narliswandi Piliang
Narliswandi Piliang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Business: Products; Coal Trading; Services: Money Changer, Spin Doctor, Content Director for PR, Private Investigator. Social Activities: Traveller, Bloger. email: iwan.piliang7@yahoo.com\r\nmobile +628128808108\r\nfacebook: Iwan Piliang Dua , Twitter @iwanpiliang7 Instagram @iwanpiliangofficial mobile: +628128808108

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Baca Dulu, Betul Mau Ganti Jokowi?

30 April 2018   15:15 Diperbarui: 30 April 2018   18:35 9657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: tribunnews.com/Herudin

Singapura jelang petang. Dari jembatan eksotik Hendersen Wave,  dibuat dari  susunan bilah kayu dan baja berbentuk liukan Liong,  saya menatap ke gedung-gedung nun tak jauh dari tempat berdiri. Petang merembang. Panorama memberi kesan tersendiri.  Sekitar sejam lalu kami baru saja berpisah dengan Presiden Joko Widodo, usai ia mengikuti KTT ASEAN, di Hotel Shangrilla, Singapura.  

Pak Jokowi, sempat mengobrol singkat, berfoto dengan Tim Echo, relawan #JokowiLanjut2019 Singapura. Di negeri jiran itu jaringan relawan sudah terbentuk. Idenya hari itu, kami mengusulkan kepada protokol Kemenlu, agar Jokowi shalat di Masjid Sultan di Arab Street, lalu makan atau ngopi di Resroran Minang berdiri 1950 di depan masjid. Kongkow  bentar di sana sekadar makan Lupis, snack ketan khas Minang. Ada juga  bubur kacang ijo ketan. Ketan serikaya, tersedia. Urusan lauk, mereka punya Sambalado Tanak, kini sulit dicari di restoran Padang di Jakarta.

Kami membawa dummy Al Quran Emas, desain Pak Jokowi, untuk program sejuta wakaf Al Quran Jokowi, sebagaimana pernah saya tulis Making Indonesia 4.0 Sukses di AlQuranWakaf

Melalui terobosan pemasaran via Instagram, sudah lebih  30 artis papan atas Indonesia tanpa mengeluarkan uang bisa berwakaf Alquran. Maka usulan kami hal sama dilakukan presiden, bukankah Ramadan sudah dekat? 

Maka optimis sejuta wakaf Al Quran desain Jokowi diminati.

Setelah protokol Kemenlu berkordinasi dengan pihak Istana, acara bertemu presiden hanya dapat dilakukan di Shangrilla. Sementara di momen kami bersama presiden, di Lucky Plaza di bilangan Orchad Road,  Singapura,  sedang terjadi kehebohan. Plaza itu dipenuhi oleh warga Fillipina mukim di Singapura.

Mereka mendapatkan sajian beberapa sosok mirip Presiden Duterte datang. Maka segenap hadirin dipenuhi Filipino itu, berteriak histeris. Ternyata Duterte palsu.  Sulit membedakan mana Duterte asli dan palsu.  Tentunya kejadian itu bak suguhan teater dadakan. Warga Filipina tebak-tebakkan di Singapura, mencari Duterte asli, penghiburan tersendiri.

Suasana plaza membahana dengan teriakan,"Du ter te!" berulang-tiada henti. Gauman kerumunan orang terdengar ke gedung dan plaza sebelah-menyebelah.  Salah seorang Tim Echo,Sandra IP,  kebetulan berada di lokasi, melaporkan bagaimana meriahnya sambutan terhadap Presiden Duterte. Ia bagaikan Jokowi awal dulu dari Solo, hendak maju Pilgup   ke Jakarta, 2012,  disambut begitu hangat.

Kepada saya pada 21 Januri 2018 lalu ketika kami bertemu empat mata di Palembang, Jokowi mengatakan sangat dekat dengan Duterte. Saya mengusulkaan kala itu untuk bersama  Duterte, meninjau kota Marawi hancur karena perang saudara. Jokowi akan  disaksikan oleh Duterte bisa meletakkan pembangunan masjid di  rencana kota baru akan dibangun Marawi Islamic Smart City.

Menurut Kivlan Zen, sosok jenderal  kita dekat dengan tokoh Muslim di Mindanao, Duterte memang menjadi  presiden karena dukungn dari 10 juta suara Muslim. Seperti dituturkan Kivlan kepada saya, "Duterte bila ke Marawi selalu mengawali pidato dengan Allahu Akbar!" Dukungan kepadanya agar menembaki saja gembong Narkoba dilontarkan oleh tokoh Muslim Noor Misuari.

Kendati mayoritas Filipina beragama Kristen-Katolik, warga tidak alergi terhadap Duterte memberikan porsi besar perhatian ke minoritas Muslim kini. Justeru kini Duterte begitu diterima warga, seperti semaraknya LuckyPlaza, Singapura Sabtu, 28 April, akhir pekan kemarin.

Perihal itu akan berbeda bila seorang Jokowi memberikan perhatian ke minoritas di sini. Tudingan ia tak Islami diuarkan. Saya menjadi teringat 2009 lalu. Ketika pernah beberapa kali dalam perjalanan  luar kota bersama Jokowi. Di terminal F Bandara Soekarno Hatta, begitu hendak ke gate di sebelah kanan  ada Mushalla. Kepada petugas penitipan sepatu saya bertanya, apakah Jokowi sering shalat di waktu sembahyang di situ? Jawabannya, lebih. "Jokowi sering shalat di sini, sebagaimana warga biasa."

Maka belakangan ada berita hoax di media sosial diragukan keislaman Jokowi, saya hanya senyum-senyum. Di tengah jurnalisme  di Indonesia seakan mati, sosial media diisi oleh insan kurang membaca buku, tak mengenal prinsip verifikasi dalam komunikasi publik, kebenaran menjadi mengarah parah:  blur. Perihal memprihatinkan itu sudah terlebih dahulu dikupas Mbah Jurnalis Amerika, Bill Kovach. Ia menulis buku Blur juga buku The Element of Journalism. Tidak mudah menapis kebenaran di tengah tsunami kabar dan info mengalir deras.

Di Minggu siang kemarin di saat di Bandara lll Changi, Singapura saya menyimak foto dan video parade warga memakai kaus #2019GantiPresiden. Pertanyaan saya apakah mereka terlibat, memahami gerakan mengapa presiden harus diganti? Dalam hal ini Jokowi. Beberapa video mencerminkan wajah marah kepada rejim saat ini, harus diganti.

Saya juga pernah marah, tetapi bukan kepada Jokowi. Saya marah kepada  pebijakan pemerintahannya. Contoh awal ia menjabat, beberapa situs internet Islam ditutup, di antaranya Tarbiyah. Saya pernah membuat kultwit keras. Seingat saya tak berapa lama setelah itu  beberapa situs internet itu dihidupkan kembali. Apakah saya personal benci ke Jokowi? Tidak. Dalam pertemuan dengannya ketika di Palembang 21 Januari 2018 ia mengatakan ke saya,"Mas Iwan sudah berbunyi soal Petral, sejak lama, saya sudah bubarkan, eeehh di KPK belum dituntaskan!?"

Saya kaget dengan kalimat itu. Di hadapan saya ia seperti kawan biasa.  Menjadi terenyuh juga mendengarkan kalimat presiden. Kala itu saya sarankan bebaskan Ustad Baasyir karena sudah uzur.  Ia jawab saran dari inteleijen; jangan! Saya ingat betul kala itu,  bagaimana Jokowi  sebelum menutup pintu kamar tidur sengaja mengulang soal Ustad Abubakar Baasyir, akan ia pikirkan. Hati kecilnya setuju dengan saya.

Menjadi presiden di alam Orba berbeda sekali dengan alam reformasi. Duduk menjadi presiden membutuhkan dukungan partai, dan harus beberapa partai, karena tak ada satu pun partai bisa mendukung satu calon. Mesin partai dominan bergerak karena tersedianya bahan bakar dalam hal ini uang.

Maka dalam bahasa kelakar saya mengtakan bahwa  demokrasi kita terjerumus ke dalam oligarki fulus-mulus, maka dalam sikon itu pula kita mendengar istilah PETUGAS PARTAI. Saya yakin bila saya presiden negeri ini, ada pimpinan partai bilang demikian, saya keburu baper. Tidak demikian kecerdasan hati Jokowi. Ia tak berkecil hati. Ia terus bekerja.

Dalam kerjanya,  menurut saya, Jokowi  baru menemui formatnya di jelang dua tahun ini, khususnya dalam program PTSL, percepatan pembuatan sertifikat tanah, di luar insfrastruktur.  Lalu suara ingin menggantinya sebagai presiden melalui kaus bergema. Gaungnya menjadi-jadi karena kesalahan Jokowi sendiri pakai mengomentarinya. Dua pekan lalu ketika saya di Fresno, California, AS, seorang anak Indonesia mengabari ia membeli kaus ganti presiden  di Amazon.com.

Kaus memang tidak bisa mengganti presiden.

Tetapi di dalam sikon komunikasi publlik saat ini, kampanye  itu bisa dikatakan jitu. Persoalan benarkah kita ingin mengganti Jokowi? Bekerja di tengah sistem politik lari dari Pancasila, memerlukan pondamen hati amat bersiih. Jika pendekatan kejernihan hati, saya mencoba verifikasi beberapa hal.

Pertama soal tenaga kerja asing. Dua tahun lalu saya sempat ke Las Vegas, bahkan tiga pekan lalu mengulang pergi ke West Cost, AS itu. Di sana saya sempat verifikasi bagaimana tenaga kerja asal Cina melakukan over stay,  untuk bisa  bekerja sebagai pelayan, koki di restoran. 

Awal masuk  AS mereka membayar di muka US $ 80 ribu per orang. Mereka dipalaki jaringan terindikasi Triad. Namun angka besar dibayar di muka itu, oleh mereka bisa dilunasi dalam 5 tahun bekerja. "Lalu kami over stay kerja lima belas hingga dua puluh tahun. Maka  bisa bawa uang pulang ke Cina, lebih dari Rp 10 miliar," kata Thio, sebut saja namanya demikian. Pemerintah Amerika juga tak pernah melakukan razia terhadap para over stay. Mereka setelah melanggar ketentuan,  tak akan bisa lagi masuk Amerika seumur hidup.

Bagaimana dengan ranah TKA asing Cina ke Indonesia, saya menduga  ada uang masuk juga di awal. Siapa penerima, dugaan saya salah satu partai pendukung Jokowi melakukan kerjasama dengan PKC, juga ada oknum konglomerat dekat dengan  pemerintahan Cina. Marah ke Jokowi, menurut saya, di tengah jurnalisme mati, tiada lagi verifikasi, investigasi dalam, menjadi kurang pas. Lantas siapa bermain? Dalam keadaan inilah  presiden harus bermanuver. Menjuadi presidenn mebutuhkan tiket partai.

Lantas Soal tidak pro umat? Sebagian kecil sudah saya paparkan di atas, contoh kasus soal Baasyir. Sebagai   presiden di lubuk hati ingin membebaskan Baasyir, tetapi lain  kata pejabat terkait, di mana  sang pejabat  juga didukung partai: melarang.

Soal hutang luar negeri? Baru  dua hari sebelum berangkat ke Singapura seorang gubernur dari propinsi kaya mineral bilang ke saya, "Massyarakat adat kami jika diberi kesempatan mengelola sumber daya mineral, jangankan  hutang di era Jokowi, hutang total lebih empat ribu triliun cukup kami saja yang bayar."  Kalimat sesumbar itu bukan tanpa alasan. Saya coba  hitung kadar cooking coal sudah tertakar dan terukur dimilikinya, memang berlipat dari jumlah hutang negara kita. Maha kaya asset satu propinsi saja.

Menurut saya Jokowi tulus, memuliakan keinsanan, telah di-down grade  oleh oknum di sekitarnya. Dua oknum terutama. Pertama, oknum partai mencari keuntungan sempit. Kedua, oknum jenderal masuk ke ranah partai politik, tetapi di-remote hajat hidupnya oleh konglomerat hitam, penyandang dana besar partai. Hal ini dulu sudah saya perkirakan, maka pada  Novembert 2011 saya pernah me-launching Gerakan Krenceng Koin Pemimpin Rakyat. Warga harus membiayai pemimpin pilihannya agar tak dicaplok cukong-garong.

Dikungkung ke dalam kedua temali tadi, kini Jokowi dihadapkan pula dengan rong-rongan ganti presiden. Dalam keadaan inilah Jokowi kini tampil meng-humas-kan diri, ya seakan seorang diri, di tengah humas negara, bangsa, presiden, hampir tak terlihat perannya dilakukan Menteri Komunikasi dan Informasi.

Maka bertanyalah lagi ke lubuk hati terdalam, di tengah pemilik partai bukan rakyat kebanyakan, tetapi berwenang menentukan presiden, melalui tulisan ini saya mengetuk pintu hati Pembaca, untuk  sebaliknya beramai-ramai berada di belakang Jokowi, dari pada Jokowi kian mereka "caplok".

Sebuah ajakan berbeza memang.

Tetapi fix saya tuliskan setelah verifikasi panjang dan berpuluh kali dihambat oknum tertentu bertemu dan tatap muka dengan Presiden Jokowi.  

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun