Perihal itu akan berbeda bila seorang Jokowi memberikan perhatian ke minoritas di sini. Tudingan ia tak Islami diuarkan. Saya menjadi teringat 2009 lalu. Ketika pernah beberapa kali dalam perjalanan  luar kota bersama Jokowi. Di terminal F Bandara Soekarno Hatta, begitu hendak ke gate di sebelah kanan  ada Mushalla. Kepada petugas penitipan sepatu saya bertanya, apakah Jokowi sering shalat di waktu sembahyang di situ? Jawabannya, lebih. "Jokowi sering shalat di sini, sebagaimana warga biasa."
Maka belakangan ada berita hoax di media sosial diragukan keislaman Jokowi, saya hanya senyum-senyum. Di tengah jurnalisme  di Indonesia seakan mati, sosial media diisi oleh insan kurang membaca buku, tak mengenal prinsip verifikasi dalam komunikasi publik, kebenaran menjadi mengarah parah:  blur. Perihal memprihatinkan itu sudah terlebih dahulu dikupas Mbah Jurnalis Amerika, Bill Kovach. Ia menulis buku Blur juga buku The Element of Journalism. Tidak mudah menapis kebenaran di tengah tsunami kabar dan info mengalir deras.
Di Minggu siang kemarin di saat di Bandara lll Changi, Singapura saya menyimak foto dan video parade warga memakai kaus #2019GantiPresiden. Pertanyaan saya apakah mereka terlibat, memahami gerakan mengapa presiden harus diganti? Dalam hal ini Jokowi. Beberapa video mencerminkan wajah marah kepada rejim saat ini, harus diganti.
Saya juga pernah marah, tetapi bukan kepada Jokowi. Saya marah kepada  pebijakan pemerintahannya. Contoh awal ia menjabat, beberapa situs internet Islam ditutup, di antaranya Tarbiyah. Saya pernah membuat kultwit keras. Seingat saya tak berapa lama setelah itu  beberapa situs internet itu dihidupkan kembali. Apakah saya personal benci ke Jokowi? Tidak. Dalam pertemuan dengannya ketika di Palembang 21 Januari 2018 ia mengatakan ke saya,"Mas Iwan sudah berbunyi soal Petral, sejak lama, saya sudah bubarkan, eeehh di KPK belum dituntaskan!?"
Saya kaget dengan kalimat itu. Di hadapan saya ia seperti kawan biasa.  Menjadi terenyuh juga mendengarkan kalimat presiden. Kala itu saya sarankan bebaskan Ustad Baasyir karena sudah uzur.  Ia jawab saran dari inteleijen; jangan! Saya ingat betul kala itu,  bagaimana Jokowi  sebelum menutup pintu kamar tidur sengaja mengulang soal Ustad Abubakar Baasyir, akan ia pikirkan. Hati kecilnya setuju dengan saya.
Menjadi presiden di alam Orba berbeda sekali dengan alam reformasi. Duduk menjadi presiden membutuhkan dukungan partai, dan harus beberapa partai, karena tak ada satu pun partai bisa mendukung satu calon. Mesin partai dominan bergerak karena tersedianya bahan bakar dalam hal ini uang.
Maka dalam bahasa kelakar saya mengtakan bahwa  demokrasi kita terjerumus ke dalam oligarki fulus-mulus, maka dalam sikon itu pula kita mendengar istilah PETUGAS PARTAI. Saya yakin bila saya presiden negeri ini, ada pimpinan partai bilang demikian, saya keburu baper. Tidak demikian kecerdasan hati Jokowi. Ia tak berkecil hati. Ia terus bekerja.
Dalam kerjanya,  menurut saya, Jokowi  baru menemui formatnya di jelang dua tahun ini, khususnya dalam program PTSL, percepatan pembuatan sertifikat tanah, di luar insfrastruktur.  Lalu suara ingin menggantinya sebagai presiden melalui kaus bergema. Gaungnya menjadi-jadi karena kesalahan Jokowi sendiri pakai mengomentarinya. Dua pekan lalu ketika saya di Fresno, California, AS, seorang anak Indonesia mengabari ia membeli kaus ganti presiden  di Amazon.com.
Kaus memang tidak bisa mengganti presiden.
Tetapi di dalam sikon komunikasi publlik saat ini, kampanye  itu bisa dikatakan jitu. Persoalan benarkah kita ingin mengganti Jokowi? Bekerja di tengah sistem politik lari dari Pancasila, memerlukan pondamen hati amat bersiih. Jika pendekatan kejernihan hati, saya mencoba verifikasi beberapa hal.
Pertama soal tenaga kerja asing. Dua tahun lalu saya sempat ke Las Vegas, bahkan tiga pekan lalu mengulang pergi ke West Cost, AS itu. Di sana saya sempat verifikasi bagaimana tenaga kerja asal Cina melakukan over stay,  untuk bisa  bekerja sebagai pelayan, koki di restoran.Â