Mohon tunggu...
Iwan Murtiono
Iwan Murtiono Mohon Tunggu... Lainnya - Google-YouTube project contractor

Pembela hak asasi dan demokrasi dengan bias sebagai orang Indonesia dalam memakai kacamata untuk melihat dunia, termasuk dalam memupuk demokrasi yang agak membingungkan antara demokrasi murni atau demokrasi a la Indonesia. Bahwa kita sering melihatnya dalam perspektif yang berbeda, karena demokrasi itu juga adalah sebuah karya kreatif dalam pembentukannya yang tidak pernah rampung, termasuk yang anti demokrasi juga tidak pernah lelah berusaha terus menguasai demi kepentingan sebagian kecil atau oligarki

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pertempuran Perebutan Kekuasaan Platform Global

2 September 2024   22:05 Diperbarui: 3 September 2024   02:56 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musk halloween costume/nz.news.yahoo

Seolah menggarisbawahi pentingnya masalah ini, Musk menambahkan dalam postingan terpisah, "Benar. Saya baru saja bersama beberapa teman yang mengatakan feed mereka menjadi lebih toksik belakangan ini. Ternyata mereka sering berbagi contoh postingan toksik satu sama lain, yang membuat algoritma berpikir Anda menyukai konten toksik."  Ini adalah bukti ketidakkonsistenan Musk atas AI yang dia katakan belum siap karena sangat berbahaya. 

Atau benarkah Musk berpendapat sesuai hati nuraninya atau sedang berulah untuk bisa menjadi viral kembali dan setiap hari ulahnya harus diliput terus, bak Donald Trump. Secara resmi Musk selalu mengatakan AI belum siap memenuhi tantangan teknis karena sangat sensitif terhadap penyalahgunaan. Padahal produk twitter-X secara praktis sedang melakukan ini secara real time. Sama sekali Musk selalu saja tidak konsekuen dan mengada ada dalam mencari kesempatan mengambil keuntungan.

Dalam dunia yang semakin terhubung ini, algoritma menjadi pedang bermata dua. Mereka dapat menghubungkan dan memberdayakan, tetapi juga bisa salah memahami dan menyebarkan kebencian. Musk, dengan pemahamannya yang seolah olah atau benar dalam pemahaman selektif (buble) yang mendalam tentang teknologi dan pengaruhnya, tahu bahwa tantangan ini tidak akan mudah diatasi. Tetapi di sinilah letak taruhannya---di dunia di mana kebebasan berbicara bertabrakan dengan kontrol algoritmik, siapa yang akan keluar sebagai pemenang? 

Ketika situasi di Brasil semakin memanas, begitu pula ketegangan antara Musk dan Dorsey. Keduanya pernah sependapat tentang masa depan platform digital, tetapi sekarang, pendekatan mereka berbeda. Sikap agresif Musk, termasuk langkah Starlink-nya, memang berani tetapi berisiko. Dorsey, di sisi lain, percaya pada pemberdayaan pengguna untuk melindungi diri mereka sendiri, menekankan privasi daripada konfrontasi. 

Komunitas teknologi global menyaksikan saat para raksasa industri ini menavigasi lanskap kompleks hak digital dan kekuatan korporat. Di Washington, desas-desus tentang peringatan Musk terhadap Wakil Presiden Kamala Harris semakin keras. Apakah tantangan yang dihadapi X di Brasil dapat menjadi bayangan bagi perjuangan serupa di AS? Saat pemilu semakin dekat, implikasi dari perebutan kekuatan ini semakin jelas. 

Jack Dorsey tahu bahwa tindakannya akan membawa dampak yang luas. Dengan mempromosikan VPN dan teknologi desentralisasi, ia mendorong gerakan global, yang suatu hari nanti mungkin akan menantang dasar-dasar kontrol atas internet. Dan ketika Brasil berdiri di garis depan perang digital ini, dunia lainnya bersiap untuk pertempuran yang akan datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun