Pertempuran Digital Antara Twitter-X, Telegram dan Mullvad VPN
Mantan pemilik Twitter versi orisinil X, Jack Dorsey sedang duduk menerawang di kantornya yang remang-remang, cahaya dari beberapa monitor memancarkan bayangan suram di dinding. Ia menatap tajuk berita yang terpampang di layar: "Brasil Melarang X, Hakim Moraes Memerintahkan Penangguhan."Â
Langkah ini sudah diperkirakan, tetapi kecepatan tindakannya mengejutkan bahkan para raksasa teknologi paling berpengalaman sekalipun. Jari-jari Dorsey melayang di atas keyboard sebelum akhirnya ia mengklik tautan Mullvad VPN, membagikannya di akun X-nya dengan keterangan sederhana: "Kendalikan privasi Anda."
Di belahan dunia lain, di sebuah pusat komando futuristik yang canggih, Elon Musk mengamati perkembangan peristiwa dengan campuran rasa geli dan frustasi. Keputusan Mahkamah Agung Brasil untuk menangguhkan operasi X adalah tantangan langsung, dan Musk bukanlah orang yang mudah menyerah.Â
Tindakannya yang memberikan akses gratis Starlink kepada warga Brasil adalah pernyataan penolakan, sekaligus demonstrasi kekuatan. Namun, Musk tahu bahwa ini lebih dari sekadar Brasil. Perebutan hak digital di seluruh dunia semakin memanas, dan garis-garis pertempuran mulai ditarik.
Dalam saluran komunikasi yang aman, Musk menghubungi sekutu lamanya: Pavel Durov, pendiri Telegram yang misterius. Durov sudah lama menjadi duri dalam daging rezim diktator otoriter Putin, platformnya menjadi tempat berlindung bagi kebebasan berbicara di negara-negara di mana kebebasan itu ditekan.Â
Sayangnya dia tidak melakukan screening konten free speech yang kebablasan dan ekstrim yang merusak hak asasi, norma dan etika, termasuk memberikan platform pada penjahat bahkan penjahat seksual anak, menurut kejaksaan Perancis. Sekarang, dengan X di bawah serangan, Musk membutuhkan keahlian dan sumber daya Durov untuk memastikan arus informasi di Brasil tetap tidak terhalang.
"Moraes telah bertindak terlalu jauh," tulis Musk. "Kita bisa mengubah ini menjadi isu global."
Balasan Durov datang dengan cepat: "Setuju. Kami akan mendukung upaya Anda. Mari kita pastikan mereka menyesali ini."
Sementara itu, di Stockholm, promosi Jack Dorsey atas Mullvad VPN semakin populer. Pengguna di seluruh Brasil berbagi tautan tersebut, melewati upaya pemerintah untuk mengendalikan kehadiran online mereka. Bagi Dorsey, ini bukan hanya tentang Brasil; ini adalah pesan yang lebih besar kepada dunia. Kontrol terpusat atas internet semakin berbahaya, dan satu-satunya cara untuk mempertahankan kebebasan adalah melalui blockchain atau desentralisasi.Â
Di tengah ketegangan yang meningkat, Musk menerima pesan dari seorang temannya di California yang mengeluhkan bahwa feed X mereka menjadi "lebih toksik akhir-akhir ini." Musk, yang tak pernah jauh dari percakapan semacam ini, segera merespons di platformnya. "Algoritma X mengasumsikan bahwa Anda ingin melihat lebih banyak konten yang sama dengan yang Anda interaksi," tulis Musk. "Sayangnya, jika alasan sebenarnya Anda membagikan konten itu kepada teman-teman adalah karena Anda marah atau terkejut, algoritma kami belum cukup cerdas untuk menyadari semuanya."Â
Seolah menggarisbawahi pentingnya masalah ini, Musk menambahkan dalam postingan terpisah, "Benar. Saya baru saja bersama beberapa teman yang mengatakan feed mereka menjadi lebih toksik belakangan ini. Ternyata mereka sering berbagi contoh postingan toksik satu sama lain, yang membuat algoritma berpikir Anda menyukai konten toksik." Â Ini adalah bukti ketidakkonsistenan Musk atas AI yang dia katakan belum siap karena sangat berbahaya.Â
Atau benarkah Musk berpendapat sesuai hati nuraninya atau sedang berulah untuk bisa menjadi viral kembali dan setiap hari ulahnya harus diliput terus, bak Donald Trump. Secara resmi Musk selalu mengatakan AI belum siap memenuhi tantangan teknis karena sangat sensitif terhadap penyalahgunaan. Padahal produk twitter-X secara praktis sedang melakukan ini secara real time. Sama sekali Musk selalu saja tidak konsekuen dan mengada ada dalam mencari kesempatan mengambil keuntungan.
Dalam dunia yang semakin terhubung ini, algoritma menjadi pedang bermata dua. Mereka dapat menghubungkan dan memberdayakan, tetapi juga bisa salah memahami dan menyebarkan kebencian. Musk, dengan pemahamannya yang seolah olah atau benar dalam pemahaman selektif (buble) yang mendalam tentang teknologi dan pengaruhnya, tahu bahwa tantangan ini tidak akan mudah diatasi. Tetapi di sinilah letak taruhannya---di dunia di mana kebebasan berbicara bertabrakan dengan kontrol algoritmik, siapa yang akan keluar sebagai pemenang?Â
Ketika situasi di Brasil semakin memanas, begitu pula ketegangan antara Musk dan Dorsey. Keduanya pernah sependapat tentang masa depan platform digital, tetapi sekarang, pendekatan mereka berbeda. Sikap agresif Musk, termasuk langkah Starlink-nya, memang berani tetapi berisiko. Dorsey, di sisi lain, percaya pada pemberdayaan pengguna untuk melindungi diri mereka sendiri, menekankan privasi daripada konfrontasi.Â
Komunitas teknologi global menyaksikan saat para raksasa industri ini menavigasi lanskap kompleks hak digital dan kekuatan korporat. Di Washington, desas-desus tentang peringatan Musk terhadap Wakil Presiden Kamala Harris semakin keras. Apakah tantangan yang dihadapi X di Brasil dapat menjadi bayangan bagi perjuangan serupa di AS? Saat pemilu semakin dekat, implikasi dari perebutan kekuatan ini semakin jelas.Â
Jack Dorsey tahu bahwa tindakannya akan membawa dampak yang luas. Dengan mempromosikan VPN dan teknologi desentralisasi, ia mendorong gerakan global, yang suatu hari nanti mungkin akan menantang dasar-dasar kontrol atas internet. Dan ketika Brasil berdiri di garis depan perang digital ini, dunia lainnya bersiap untuk pertempuran yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H