Mohon tunggu...
Iwan Murtiono
Iwan Murtiono Mohon Tunggu... Lainnya - Google-YouTube project contractor

Pembela hak asasi dan demokrasi dengan bias sebagai orang Indonesia dalam memakai kacamata untuk melihat dunia, termasuk dalam memupuk demokrasi yang agak membingungkan antara demokrasi murni atau demokrasi a la Indonesia. Bahwa kita sering melihatnya dalam perspektif yang berbeda, karena demokrasi itu juga adalah sebuah karya kreatif dalam pembentukannya yang tidak pernah rampung, termasuk yang anti demokrasi juga tidak pernah lelah berusaha terus menguasai demi kepentingan sebagian kecil atau oligarki

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Hukuman Durov dan Elon Musk vs Kebebasan Berekspresi Digital

1 September 2024   22:13 Diperbarui: 1 September 2024   22:55 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum vs Demokrasi di Era Kebablasan Berekspresi Digital

Cerita hot hari ini masih bersambung mengenai Elon Musk yang sangat kontroversial, bahkan tadi pagi di AS atau malam di Indonesia 1/9/2024 muncul tuntutan keadilan bagi Elon Musk yang banyak melakukan pelanggaran aturan, norma dan etika. 

Mantan Menteri Tenaga Kerja AS Robert Reich, yang menjabat selama pemerintahan Bill Clinton, baru-baru ini menyerukan penangkapan Elon Musk. Dalam kolom yang diterbitkan pada hari Jumat, Reich menulis bahwa Elon Musk sudah "tidak terkendali" dan menekankan perlunya tindakan tegas untuk mengendalikan perilakunya.

"Dia mungkin orang terkaya di dunia. Dia mungkin memiliki salah satu platform media sosial paling berpengaruh di dunia. Namun, itu tidak berarti kita tidak berdaya untuk menghentikannya," tulis Reich, seraya mencantumkan enam langkah yang bisa diambil untuk mengendalikan Musk.

Setelah Musk membeli Twitter pada tahun 2022, yang kini dikenal sebagai X, Reich menyebut pembelian tersebut sebagai "omong kosong yang berbahaya." Dia berpendapat bahwa pembelian ini bukan tentang kebebasan berbicara, melainkan semata-mata tentang kekuasaan.

Reich juga menyerukan agar masyarakat memboikot Tesla dan X, serta mendesak para regulator di seluruh dunia untuk mengancam akan menangkap Musk jika dia tidak menghentikan penyebaran kebohongan dan kebencian di platform X.

Reich menyebutkan bahwa para regulator global mungkin sudah mempertimbangkan untuk mengancam penangkapan Musk, merujuk pada penangkapan CEO Telegram, Pavel Durov, oleh otoritas Prancis.

Durov ditangkap di bandara Le Bourget di luar Paris minggu lalu sebagai bagian dari investigasi besar yang dibuka awal tahun ini. Jaksa Prancis menuduhnya mengizinkan aktivitas kriminal di aplikasi pesan instan miliknya, dan hakim memerintahkan Durov untuk membayar uang jaminan sebesar 5 juta euro. Tuduhan terhadap Durov termasuk bahwa platformnya digunakan untuk penyebaran materi pelecehan seksual anak dan perdagangan narkoba, serta Telegram menolak memberikan informasi atau dokumen kepada penyidik saat diminta oleh hukum.

"Di Amerika Serikat, Komisi Perdagangan Federal (FTC) harus menuntut agar Musk menghapus kebohongan yang berpotensi membahayakan individu – dan jika tidak, menggugatnya berdasarkan Pasal Lima dari Undang-Undang FTC," tegas Reich. "Hak kebebasan berbicara Musk berdasarkan Amandemen Pertama tidak lebih penting daripada kepentingan publik."

Mantan Menteri Tenaga Kerja itu juga menyarankan agar pemerintah AS menghentikan kontrak mereka dengan SpaceX milik Musk. "Mengapa pemerintah AS mengizinkan satelit dan peluncur roket milik Musk menjadi krusial bagi keamanan negara ketika dia telah menunjukkan sikap tidak peduli terhadap kepentingan publik? Mengapa memberi Musk lebih banyak kekuatan ekonomi ketika dia terus-menerus menyalahgunakannya dan menunjukkan penghinaan terhadap kebaikan publik?" tulis Reich.

Di tengah era digital yang semakin berkembang pesat, kebebasan berekspresi---salah satu pilar utama demokrasi---telah berubah menjadi arena pertempuran baru. Kebebasan yang berlebihan atau "kebablasan" menjadi ancaman nyata terhadap norma dan etika masyarakat sipil yang damai. 

Dalam konteks Jawa, istilah "kebablasan" mencerminkan ekses yang tidak terkendali dan merusak norma dan etika dalam kerangka keseimbangan. Fenomena ini semakin jelas terlihat dalam kasus yang melibatkan para raksasa teknologi seperti Pavel Durov, CEO Telegram, di Prancis, dan Elon Musk dengan platform X-nya di Brasil.

Fenomena Kebablasan Digital

Kedua kasus ini menggambarkan bagaimana kebebasan berekspresi yang tak terkendali telah melampaui batas-batas hukum dan etika, menantang pemerintah dan masyarakat global. Di Prancis, Telegram telah menjadi platform bagi aktivitas ilegal seperti perdagangan narkoba, senjata, serta penyebaran konten pelecehan seksual terhadap anak. 

Pavel Durov, yang sering dipandang sebagai pejuang kebebasan berbicara, kini menghadapi tuduhan berat yang bisa mengakibatkan hukuman serius. Di Brasil, Elon Musk terlibat konflik hukum setelah menolak mematuhi perintah pemerintah untuk menunjuk perwakilan hukum di negara tersebut, yang dianggap sebagai pelanggaran serius oleh pemerintah Brasil. Langkah ini akhirnya memicu penangguhan layanan X di negara tersebut.

Kebebasan yang Menyerang Demokrasi

Kebebasan berekspresi yang kebablasan ini tidak hanya berdampak pada aspek hukum, tetapi juga mengancam pilar-pilar demokrasi. Di Brasil, perlawanan Musk terhadap regulasi dilihat oleh banyak pihak sebagai upaya untuk melindungi kepentingan politik, terutama mengingat hubungan erat antara Jair Bolsonaro dan Donald Trump. 

Bolsonaro sendiri menggunakan platform seperti X untuk menyebarkan narasi palsu tentang kecurangan pemilu, yang memicu kerusuhan besar di Brasilia, mirip dengan peristiwa 6 Januari di Amerika Serikat. Ini menunjukkan bahwa kebebasan berbicara di internet, jika tidak diatur dengan baik, dapat menjadi senjata politik yang berbahaya.

Kebebasan yang Menyerang Demokrasi Di AS

Keseriusan pelanggaran hukum oleh media di Amerika Serikat, khususnya terkait platform digital besar, telah menjadi perhatian yang semakin mendalam dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun Amerika Serikat secara tradisional dikenal sebagai negara yang sangat mendukung kebebasan berbicara dan berekspresi, beberapa kejadian menunjukkan bahwa kebebasan ini telah digunakan untuk tujuan yang merusak, dan pelanggaran hukum yang serius oleh media dan platform digital semakin menjadi sorotan.

1. Penyebaran Misinformasi dan Disinformasi

Salah satu pelanggaran paling serius yang terjadi di media sosial di Amerika Serikat adalah penyebaran misinformasi dan disinformasi. Kasus paling menonjol adalah peran yang dimainkan oleh platform seperti Facebook, Twitter (sekarang X), dan YouTube dalam menyebarkan teori konspirasi, termasuk klaim palsu tentang pemilu 2020 dan pandemi COVID-19. Penyelidikan Kongres dan laporan dari berbagai lembaga independen menunjukkan bahwa algoritma di balik platform ini sering memprioritaskan konten yang memicu keterlibatan tinggi, yang sering kali adalah konten yang menyesatkan atau bahkan sepenuhnya salah.

2. Kebocoran Data Pribadi dan Pelanggaran Privasi

Kasus seperti skandal Cambridge Analytica menunjukkan bagaimana platform digital di AS telah melanggar privasi pengguna secara serius. Data jutaan pengguna Facebook dikumpulkan tanpa izin yang memadai dan digunakan untuk memanipulasi pemilih dalam pemilu, tidak hanya di AS tetapi juga di negara-negara lain. Pelanggaran ini menunjukkan kurangnya perlindungan yang diberikan oleh perusahaan media sosial terhadap data pribadi pengguna, yang pada akhirnya merusak kepercayaan publik dan memicu seruan untuk regulasi yang lebih ketat.

3. Penyalahgunaan Platform untuk Aktivitas Ilegal

Selain itu, platform seperti Twitter, Telegram, dan lainnya telah digunakan untuk mendukung aktivitas ilegal, termasuk perdagangan manusia, eksploitasi anak, dan penyebaran materi ilegal lainnya. Di Amerika Serikat, ada sejumlah kasus di mana platform ini tidak cukup cepat dalam merespons atau menghapus konten yang melanggar hukum, yang menunjukkan kelalaian dalam tanggung jawab sosial mereka.

4. Pemanfaatan Media Sosial untuk Polarisasi Politik

Media sosial di Amerika Serikat juga dituduh memfasilitasi polarisasi politik yang mendalam. Contoh paling mencolok adalah insiden kerusuhan di Capitol pada 6 Januari 2021, di mana platform seperti Parler, Twitter, dan Facebook dituduh berperan dalam mengorganisir dan memobilisasi massa yang akhirnya menyerang gedung Capitol. Kejadian ini menunjukkan bagaimana media sosial dapat digunakan untuk memanipulasi opini publik dan menciptakan ketegangan politik yang dapat mengancam demokrasi.

5. Kurangnya Akuntabilitas dan Transparansi

Meskipun berbagai pelanggaran ini telah disorot, perusahaan-perusahaan teknologi besar di AS sering kali menanggapi dengan perlahan dan defensif, menunjukkan kurangnya akuntabilitas. Mereka sering kali mengandalkan argumen kebebasan berbicara untuk menghindari tanggung jawab atas konten yang diposting di platform mereka. Namun, ketegangan ini menunjukkan kebutuhan mendesak akan regulasi yang lebih kuat yang dapat memastikan bahwa kebebasan berekspresi di dunia digital tidak melanggar hukum dan hak asasi manusia.

Durov dan Telegram: Kebebasan Tanpa Batas

Sementara itu, Durov menghadapi kritik bahwa Telegram telah menjadi surga bagi aktivitas ilegal, dengan sedikit atau bahkan tanpa upaya untuk mencegah penyalahgunaan platformnya. Meskipun argumen bahwa sebuah platform tidak bisa sepenuhnya bertanggung jawab atas perilaku penggunanya memiliki validitas, dalam kasus Telegram, ketidakpedulian terhadap aktivitas ilegal di platform tersebut meragukan itikad baik Durov.

Elon Musk Menghadapi Konsekuensi Hukum 

Ketakutan Elon Musk untuk bepergian karena konsekuensi hukum adalah masalah yang cukup serius dan tidak boleh dianggap enteng. Sebagai CEO dari beberapa perusahaan teknologi terbesar di dunia, seperti Tesla, SpaceX, dan Twitter (sekarang X), Musk berada di bawah pengawasan hukum yang intens di berbagai negara.

1. Konflik Hukum di Berbagai Negara

Musk terlibat dalam beberapa konflik hukum di berbagai yurisdiksi, yang dapat mempengaruhi kebebasan bergeraknya secara internasional. Misalnya:

  • Brasil: Konflik hukum antara Musk dan pemerintah Brasil terkait penolakan perusahaannya, X, untuk menunjuk perwakilan hukum di negara tersebut. Ini memicu ancaman penangguhan platform dan menunjukkan betapa seriusnya konsekuensi hukum yang dihadapi oleh Musk di luar negeri. Dalam konteks seperti ini, ketakutan untuk bepergian ke Brasil menjadi sangat relevan, terutama jika ada risiko penangkapan atau tindakan hukum lainnya.

  • Eropa: Musk juga menghadapi tekanan hukum di Eropa, terutama terkait dengan peraturan perlindungan data yang ketat seperti GDPR. Pelanggaran privasi atau data pengguna di negara-negara Eropa bisa menimbulkan sanksi yang berat dan bahkan tuntutan pidana dalam kasus yang serius.

2. Risiko Penangkapan Internasional

Meskipun Musk belum secara langsung menghadapi ancaman penangkapan di negara tertentu, potensi risiko ini tidak dapat diabaikan. Dalam dunia di mana hukum internasional dan perjanjian ekstradisi dapat mempengaruhi kebebasan seseorang untuk bepergian, Musk harus berhati-hati. Jika ia dianggap melanggar hukum secara serius di suatu negara, seperti yang dituduhkan pada beberapa platform yang ia miliki, pemerintah negara tersebut bisa mencari cara untuk menahan atau menuntutnya.

3. Tantangan Terhadap Kekebalan Hukum

Biasanya, tokoh terkenal seperti Elon Musk mungkin memiliki akses ke tim hukum yang kuat yang dapat melindungi mereka dari banyak ancaman hukum. Namun, dalam kasus pelanggaran serius, terutama yang melibatkan pelanggaran hak asasi manusia, keamanan data, atau integritas pemilu, hukum internasional mungkin tidak lagi memberikan kekebalan penuh. Misalnya, jika sebuah negara merasa bahwa tindakan Musk melalui platform X atau perusahaan lain telah menyebabkan kerusuhan atau ketidakstabilan, mereka mungkin berupaya mengajukan tuntutan hukum yang serius.

4. Dampak Terhadap Bisnis Globalnya

Ketakutan Musk untuk bepergian mungkin juga berdampak pada operasional bisnisnya secara global. Ketidakmampuannya untuk secara langsung mengelola atau menghadiri pertemuan penting di luar negeri karena risiko hukum bisa membatasi pertumbuhan dan inovasi perusahaan-perusahaannya. Ini juga dapat mempengaruhi hubungan internasional yang krusial bagi keberhasilan proyek-proyek seperti SpaceX dan Tesla, yang memiliki kepentingan global yang luas.

Mengingat berbagai tantangan hukum yang dihadapi Musk di berbagai belahan dunia, ketakutan untuk bepergian karena resiko konsekuensi hukum adalah hal yang beralasan. Dia harus berhati-hati dalam merencanakan perjalanannya dan memastikan bahwa dia tidak menghadapi risiko hukum yang signifikan di negara-negara yang mungkin memiliki konflik hukum dengannya. 

Ketidakpastian hukum di era digital ini membuat situasi semakin kompleks, terutama bagi tokoh-tokoh seperti Elon Musk yang berada di garis depan inovasi teknologi dan kontroversi. Untungnya Elon Musk berkewarganegaraan AS sehingga banyak negara yang enggan mengganggu hubungannya dengan AS, bandingkan dengan Pavel Durov.

Regulasi yang Diperlukan untuk Menjaga Hak Asasi

Fenomena ini menandakan berakhirnya era di mana raksasa teknologi bebas membentuk dunia online tanpa konsekuensi nyata di dunia nyata. Regulasi yang semakin ketat dan tindakan hukum yang diambil terhadap perusahaan seperti X dan Telegram mencerminkan pergeseran dari melihat internet sebagai alat kebebasan menjadi ancaman yang harus diatasi. Namun, upaya untuk menegakkan supremasi hukum di dunia digital ini juga menimbulkan pertanyaan penting tentang keseimbangan antara melindungi kebebasan berbicara dan menjaga stabilitas sosial.

PBB dan Regulasi Global: Sebuah Keharusan

Di tengah realitas ini, PBB dan badan dunia lainnya harus segera mengambil langkah konkret dalam mengatur kebebasan digital. Langkah ini diperlukan tidak hanya untuk melindungi hak asasi manusia, tetapi juga untuk memastikan bahwa inovasi teknologi dan seni digital futuristik dapat berkembang tanpa melanggar batas-batas etika dan hukum. 

Dengan meningkatnya ancaman terhadap demokrasi dan hak asasi manusia, regulasi global yang jelas dan tegas menjadi semakin mendesak. Ini bukan hanya tentang menegakkan hukum; ini tentang memastikan bahwa kebebasan digital tidak menjadi alat untuk kebablasan yang merusak pondasi masyarakat sipil.

Kesimpulan: Demokrasi dan Hak Asasi Tidak Bisa Menunggu

Pada akhirnya, baik Musk maupun Durov mungkin masih memiliki peluang untuk keluar dari masalah hukum mereka, tetapi peringatan ini menandakan bahwa para pemimpin teknologi harus lebih berhati-hati dalam memilih pasar yang ingin mereka masuki dan dalam mematuhi hukum yang berlaku. 

Kasus ini juga menggarisbawahi betapa pentingnya keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial---sebuah keseimbangan yang semakin sulit dicapai di era digital ini. Demokrasi dan hak asasi tidak bisa menunggu aturan media yang jelas membela hak asasi; hukuman menanti bagi mereka yang kebablasan dalam berekspresi, sementara masyarakat global menuntut regulasi yang memastikan kebebasan tidak lagi menjadi ancaman bagi nilai-nilai fundamental yang dijunjung tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun