Upaya pemberantasan terorisme: perjuangan yang terus berlanjut melawan ISIS
Penggerebekan terbaru di Irak Barat yang menewaskan 15 anggota ISIS dan melukai tujuh personel AS menjadi pengingat nyata bahwa perang melawan terorisme masih terus berlangsung dan terus berkembang. Meskipun upaya signifikan telah dilakukan untuk membongkar jaringan ISIS, organisasi ini tetap tangguh dan terus menjadi ancaman bagi keamanan regional dan global.
Sejarah Kelam Kekhalifahan ISIS di Irak
ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) mencapai puncak kekuasaannya antara tahun 2014 dan 2015. Pada saat itu, mereka berhasil menguasai wilayah yang sangat luas di Irak dan Suriah. Puncaknya, pada pertengahan tahun 2015, ISIS menguasai sekitar 90.800 hingga 110.000 kilometer persegi wilayah, termasuk kota-kota besar seperti Mosul di Irak dan Raqqa di Suriah, yang menjadi ibu kota de facto dari kekhalifahan yang mereka deklarasikan.
Di Irak, pada pertengahan tahun 2014, ISIS berhasil menguasai hampir sepertiga wilayah negara itu, termasuk Mosul, kota terbesar kedua di Irak, dan beberapa wilayah di provinsi Anbar. Selama periode ini, ISIS berusaha menerapkan aturan-aturan ekstremis mereka, melakukan eksekusi massal, dan menargetkan kelompok minoritas serta mereka yang dianggap tidak setia pada ideologi mereka.
Memilih ISIS atau Memanggil Kembali Penasehat Militer AS
Namun, setelah serangkaian operasi militer oleh koalisi internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan upaya intensif dari pasukan Irak, wilayah kekuasaan ISIS mulai menyusut secara signifikan. Pada akhir tahun 2017, ISIS telah kehilangan hampir semua wilayah yang pernah mereka kuasai, dan pada 2019, kekhalifahan yang mereka deklarasikan secara resmi runtuh dengan jatuhnya benteng terakhir mereka di Baghouz, Suriah.
Keterlibatan Amerika Serikat dalam membantu Irak sangat penting, terutama setelah penarikan pasukan AS pada tahun 2011. Ketika pasukan AS ditarik, pemerintah Irak di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Nouri al-Maliki menghadapi tantangan besar, termasuk ketegangan sektarian antara mayoritas Syiah dan minoritas Sunni. Ketegangan ini diperburuk oleh kebijakan Maliki yang dianggap diskriminatif terhadap komunitas Sunni, yang sebelumnya mendominasi politik Irak di bawah Saddam Hussein.
Banyak warga Sunni merasa diasingkan dan tidak memiliki hak politik yang signifikan dalam pemerintahan pasca-Saddam. Ketidakpuasan ini membuat beberapa orang Sunni lebih terbuka terhadap ISIS, yang pada awalnya dipandang oleh sebagian orang sebagai kekuatan yang mampu melindungi kepentingan Sunni dan melawan dominasi pemerintah Syiah di Baghdad.
Ketika ISIS mulai merebut wilayah di Irak pada tahun 2014, banyak komunitas Sunni yang, karena merasa terpinggirkan dan kehilangan hak politik, tidak memberikan perlawanan yang kuat terhadap kelompok tersebut. ISIS kemudian memanfaatkan situasi ini untuk memperluas pengaruhnya di wilayah Sunni, mengklaim diri mereka sebagai pelindung kaum Sunni, meskipun pada kenyataannya mereka menerapkan kekuasaan brutal dan represif.
Dengan kemunculan ISIS, Irak menghadapi ancaman eksistensial, dan pemerintah Irak meminta bantuan internasional, termasuk dari Amerika Serikat. Keterlibatan kembali AS dalam bentuk serangan udara, dukungan intelijen, dan bantuan pelatihan untuk pasukan Irak sangat penting dalam menghentikan dan akhirnya membalikkan kemajuan ISIS. Tanpa bantuan ini, kemungkinan besar ISIS akan terus menguasai wilayah yang luas di Irak, dengan konsekuensi yang mengerikan bagi stabilitas regional dan global.