Mohon tunggu...
Iwan Murtiono
Iwan Murtiono Mohon Tunggu... Lainnya - Google-YouTube project contractor

Pembela hak asasi dan demokrasi dengan bias sebagai orang Indonesia dalam memakai kacamata untuk melihat dunia, termasuk dalam memupuk demokrasi yang agak membingungkan antara demokrasi murni atau demokrasi a la Indonesia. Bahwa kita sering melihatnya dalam perspektif yang berbeda, karena demokrasi itu juga adalah sebuah karya kreatif dalam pembentukannya yang tidak pernah rampung, termasuk yang anti demokrasi juga tidak pernah lelah berusaha terus menguasai demi kepentingan sebagian kecil atau oligarki

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Menteri Kabinet Parlementer Akan Diteruskan Prabowo, Dari Jokowi?

26 Juli 2024   05:31 Diperbarui: 26 Juli 2024   22:28 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada periode 1950-1959, Indonesia menerapkan sistem pemerintahan parlementer. Sistem ini memiliki karakteristik yang berbeda secara signifikan dari sistem presidensial yang diterapkan saat ini, dan masing-masing sistem menawarkan keuntungan dan tantangan tersendiri.

Analisa Oposisi dalam Sistem Presidensial vs Parlementer

Di era modern, peran oposisi dalam politik sering menjadi bahan diskusi, terutama dalam konteks talk show politik seperti "Rosi" yang menghadirkan tokoh-tokoh partai sebagai narasumber, terdapat pernyataan dari Ahok yang menyebut PDIP sebagai oposisi dalam Pilpres. Namun, mereka juga berperan membantu presiden. Hal serupa terjadi pada oposisi Cawapres Muhaimin yang hanya melihat satu jalan, yaitu kerjasama dengan presiden terpilih. Semua ini menggambarkan bahwa program kampanye semua cawapres mungkin tidak selalu jujur, dan debat-debat hanyalah pertunjukan drama akrobatik yang menciptakan ilusi pesta demokrasi yang sebenarnya tidak sepenuhnya benar atau membingungkan. Dalam bahasa Jawa, kita mungkin mengatakan, "Koyo Iyak Iyak o, jebul ngapusi thok." 

Yang jelas, masyarakat saat ini bingung dengan beragam argumen dan pandangan yang disampaikan dalam acara Debat Capres atau Kampanye, untuk menentukan siapa yang paling hebat atau bisa mencibir serta menghina. Berbagai narasumber di acara talk show di TV dan media sosial, termasuk para pakar dadakan, sering kali menginterpretasikan konstitusi dan merujuk pada konsep-konsep dari tahun 1945 atau setelahnya, bahkan dalam konteks sistem parlementer dengan Perdana Menteri yang pernah kita gunakan dalam eksperimen politik kita. Meskipun model demokrasi pada masa itu sudah maju untuk zamannya, kini terlihat ketinggalan di era ilmu politik, hukum, sosial, dan psikologi sosial yang telah berkembang pesat. Ini hampir seperti perbandingan antara teknologi Hi Tek dan Windows tahun 80-an yang kesannya cuma seperti LoTek atau nasi pecel.

Dalam sistem presidensial seperti yang digunakan Indonesia saat ini, pemilihan umum memilih presiden secara langsung oleh rakyat. Kampanye presiden sering kali menampilkan perbedaan tajam dalam program dan ideologi, menciptakan ekspektasi bahwa kabinet yang terbentuk akan menjalankan visi yang dipilih oleh mayoritas pemilih. Namun, ketika kabinet mencakup anggota dari partai oposisi atau dengan visi yang berbeda, ini dapat menimbulkan perasaan ketidakpuasan di kalangan pemilih, yang merasa bahwa mandat mereka tidak sepenuhnya dihormati.

Sebaliknya, dalam sistem parlementer yang pernah diterapkan di Indonesia (1950-1959), eksekutif dipimpin oleh perdana menteri yang berasal dari partai atau koalisi partai mayoritas di parlemen. Sistem ini memiliki beberapa karakteristik utama: 

Kekacauan dan Kesalahpahaman pada Sistem Presidensial Indonesia

Kritik terhadap sistem presidensial di Indonesia termasuk kurangnya keselarasan antara kampanye dan implementasi kebijakan setelah pemilu, serta fenomena "kutu loncat" di mana politisi berpindah partai untuk keuntungan pribadi, sering kali terkait dengan korupsi. Meskipun pemilu langsung memberikan legitimasi langsung, kenyataannya, pengaruh uang dan donor kampanye dapat mengaburkan representasi demokratis yang sejati, membuat rakyat merasa bahwa suara mereka tidak diwakili dengan baik. Sistem pemerintahan presidensial di Indonesia memiliki kekurangan yang perlu dipahami. 

Menggunakan kerangka berfikir rasional, bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan yang  presidensial bukan parlementer, sehingga pemilu menghasilkan presiden terpilih diantara kontestan Capres. Rakyatpun memilih secara sadar dari antara berbagai perbedaan program kampanye pilihan, Program dan ideologi yang dikampanyekan maupun yang diperdebatkan sangat kelihatan bedanya, bahkan kelihatan sangat bertentangan antara program Capres satu dg oposannya. 

Dalam kontestasi antar Capres tersebut masing masing program disanggah, disalahkan dan bahkan dicemooh. Rakyat pemilihpun setuju, sehingga para pemilih ini sangat yakin dan berkomitmen ikut berjuang memenangkan program yang disodorkan dan telah dipilihnya, termasuk menolak mentah mentah ideologi dan program partai sebelah, karena sudah sangat yakin bahwa negaranya akan gagal kalau menggunakan program "kacau" yang diyakini akan gagal dari Capres pemenang. 

Hukuman Untuk Parpol Yang Berkhianat Pada Pemilih dan Anggotanya

Disini kita masih mendasari pada pengertian sistem presidensial yang dipilih rakyat mayoritas secara langsung dan rakyat pemilih khususnya berharap semua kabinetnya akan terdiri dari orang orang dengan visi misi yang sudah syah dipilih sendiri oleh mereka. Berarti kabinet ini hendaknya bukan datang dari partai dengan platform yang berbeda. Kalau sampai berbeda sama sekali visi misinya, maka logikanya mereka akan merasa terlukai karena ditipu atau kena prank. Terus apa gunanya memilih Capres kalau harus kembali dikacau dengan program kabinet dari menteri yang dulunya capres yang tidak setuju bahkan mencemooh program pembangunan yang didebat sangat jelek, akan gagal dan bahkan dicemooh.  Oleh karena itu, jangan heran kalau ketidak puasan dari pemilih yang dulunya setia berjuang menjadi pemilih atau anggota partai yang sudah jelas kelas ditipu mentah mentah, akibatnya tidak ada anggota partai yang setia mending ikutan sistem partai kutu loncat. Jadi inilah fenomena sistemik dari kutu loncat berjamaah antara semua partai dan semua anggota partai.

Kekuasaan yang mencengkeram partai dan Capres oposan dengan cara menawarkan posisi menteri dalam suatu setting imbal beli. Diberikan seberapa banyak dan seberapa posisi kunci koordinator menteri tetapi harus ikut mendukung walaupun aslinya menentang program dan cara pemerintahan yang salah. Persyaratan mendukung ini sangat sadis, yang meminta untuk semuanya tekuk lutut, dari petinggi partai sampai anggota ranting hanya untuk mendukung yang program pemerintahannya salah. Imbalannya jelas harus tunduk tekuk lutut untuk mendukung sepenuhnya mensukseskan program yang jelas salah dan membangkrutkan negara. Apakah ini termasuk dalam kategori partai yang santun ethical dan menjunjung norma demokrasi yang katanya diperjuangkan demi memajukan bangsa? Kita juga selalu bisa mencatat partai apa saja yang bermetamorfosa menjadi Sengkuni? Catatan ini kita bawa di periode pemilu berikutnya untuk menghukum mereka dengan tidak memberikan satu voting suara pun. Rakyat harus juga mendidik Parpol, jadi bukan hanya Parpol yang mendidik rakyat tetapi tugas kita semua untuk bertanggung jawab memajukan bangsa dan membuang Parpol yang menghambat kemajuan bangsa dari pikiran kita.

Apakah pembuatan kabinet parlementer disengaja by design? Jawabnya bisa kita saksikan bahwa semua model pemerintah sejak dulu sampai presiden terpilih Prabowo tetap akan membentuk kabinet dari perwakilan Parpol di parlemen. Sekarang saja sudah mulai gencar mengadakan negosiasi imbal beli dengan para petinggi parpol oposan untuk mendukung penuh program pemerintahannya walaupun sangat berseberangan sekali waktu debat maupun kampanye. Imbalannya jabatan menteri dengan anggaran departemen yang fantastis. Persis waktu Prabowo-Gerindra ditawari menjadi Menhan dulu. Inilah yang mengajari Prabowo untuk mau dan menyenangi model parlementer ini, ternyata dia melihat sendiri bisa sukses menggerakkan secara kompak kabinet parlementer di bawah Jokowi. Sekaranglah saatnya mengulang kesuksesan model kabinet parlementer. Kalau perlu untuk menjamin kesuksesan penuh maka diperbanyaklah unsur Parpol parlemen di kabinetnya nanti. Apalagi  kalau perlu juga ditambah dengan berbagai menteri muda dan mungkin pembantu menteri lainnya dan BUMN plus BUMD. Ini adalah strategi kekuasaan yang tak terbendung, supaya roda pemerintahan nantinya tanpa harus menghadapi oposisi atau check and balance sama sekali. Jadi satu kaki untuk memenuhi konstitusi yaitu presidensial, sedangkan kaki lainnya di kabinet parlementer untuk menghilangkan hambatan.  Inilah model yang selama ini terbukti sukses “Full Opposition Proof.”

Kalau mau sekalian ikutan model bapak mertua me-normalisasi kampus, maka untuk menjamin hilangnya oposisi jalanan maka bisa saja sekalian dikooptasi ketua BEM dan diberikan kue jabatan strategis dengan anggaran besar juga, termasuk ketua organisasi buruh juga bisa di nego semua. Pertanyaannya, apakah rakyat mau belajar satu tahap lebih maju di depan gerbong kekuasaan yang secara ekstensif menguasai setiap blok dan menelan semuanya? Kedewasaan berdemokrasi orang Indonesia sudah matangkah? Kedewasaan para ketua Parpol apakah sudah juga sampai ke pencegahan kemunduran gerakan anti korupsi jabatan maupun uang? Perlukah kita para pemilih selalu harus lupa setiap 5 tahun dan lagi lagi memaafkan Parpol yang ikut mendukung kemunduran demokrasi lagi. Kalau tahu mereka semua telah setuju berkonspirasi menguasai semuanya, hanya untuk suatu jabatan dan uang yang jelas mengkhianati para pejuang dan pahlawan kemerdekaan?

Indonesia menggunakan sistem presidensial dengan elemen parlementer. Ini tercermin dalam pembentukan kabinet yang melibatkan berbagai partai untuk meminimalkan oposisi, sering kali dengan alasan persatuan. Praktik ini dapat mengarah pada korupsi, baik dalam bentuk uang maupun kekuasaan, dengan mengabaikan prinsip check and balance. Dalam sistem ini:

Praktek Sistem Presidensial Indonesia

  • Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, bukan parlementer.

  • Pemilu menghasilkan presiden terpilih dari antara kontestan Capres.

  • Rakyat memilih dengan sadar berdasarkan perbedaan program kampanye, ideologi, dan visi Capres.

  • Program Capres sering disanggah, diperdebatkan, dan bahkan dicemooh.

  • Para pemilih yakin dan berkomitmen memenangkan program yang telah mereka pilih.

  • Badan legislatif dan eksekutif berdiri independen: Meski secara konstitusional terpisah, praktiknya sering kali terhubung melalui koalisi. 

  • Peran Oposisi: Oposisi sering dianggap sebagai penghalang atau bahkan "kambing hitam", bukan sebagai elemen penting dalam proses demokrasi. 

  • Praktik Korupsi: Pergeseran peran dari oposisi ke pendukung pemerintah sering dikaitkan dengan korupsi, baik untuk keuntungan pribadi maupun partai.

2. Kelebihan dan Kekurangan Sistem Presidensial 

  • Kelebihan: Stabilitas pemerintahan terjaga karena badan eksekutif tidak tergantung pada parlemen. Masa jabatan presiden jelas dan terbatas. Kepala pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat, lebih demokratis.

  • Kekurangan: Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif, berpotensi menjadi kekuasaan mutlak. Keputusan publik seringkali tidak tegas dan memakan waktu karena tawar-menawar antara legislatif dan eksekutif

Dalam sistem presidensial, penting untuk memahami bahwa presiden memiliki peran ganda sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Meskipun ada kelemahan, sistem ini tetap menjadi pilihan meski sejak di zaman reformasi. 

Sistem Pemerintahan Parlementer di Indonesia (1950-1959) vs Sekarang

Pada periode 1950-1959, Indonesia menerapkan sistem pemerintahan parlementer. Sistem ini berbeda secara signifikan dari sistem presidensial yang diterapkan di AS. Sebagai contoh sistem parlementer yang berhasil adalah seperti di Inggris, eksekutif dipimpin oleh perdana menteri yang berasal dari partai mayoritas di parlemen. Sistem ini memiliki kelebihan dan tantangan tersendiri. Esensinya adalah Akuntabilitas, sehingga Perdana Menteri harus mempertahankan dukungan mayoritas dari parlemen. Selama periode resmi parlementer, Indonesia mengalami dinamika politik yang intens, dengan perubahan kabinet yang cukup sering akibat mosi tidak percaya atas kesalahan memerintah atau kekurangan lainnya dari pergeseran koalisi dalam parlemen. Sistem parlementer memberikan ruang untuk beragam partai politik untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, namun juga menciptakan tantangan dalam mempertahankan stabilitas politik dan koalisi yang kuat. Pertanyaannya, apakah stabilitas yang sering mencederai demokrasi lebih penting daripada pembelaan demokrasi dan kesejahteraan rakyat?.

Karakteristik Utama dalam sistem parlementer, struktur kekuasaan dibagi secara khusus:

1.Lembaga Eksekutif dan Badan Legislatif: Lembaga eksekutif, yang terdiri dari perdana menteri dan kabinet, diawasi oleh badan legislatif atau parlemen. Ini berarti parlemen memiliki kekuasaan untuk mengawasi dan mengontrol kebijakan yang dijalankan oleh eksekutif. Berarti fungsi pengawasan dan kontrol menjadi ciri utama atau kalau ada program yang menyimpang dari amanat rakyat maka akan terjadi mosi tidak percaya seketika, tanpa ada tarik ulur, persis seperti tahun 50an. Sehingga, Dalam sistem parlementer, eksekutif lebih mudah diubah jika kehilangan dukungan parlemen, menciptakan lingkungan politik yang dinamis dan responsif. 

2. Kurangnya Legitimasi Langsung: Salah satu tantangan utama adalah adanya ilusi tidak ada legitimasi langsung karena tidak ada pemilihan umum untuk perdana menteri. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan di kalangan rakyat yang merasa tidak memiliki suara langsung dalam pemilihan pemimpin pemerintahan. Padahal melihat pemilu langsung yang hasilnya sama saja kurang mewakili rakyat atau jarang berpihak pada hak dasar rakyat dalam berdemokrasi termasuk kesejahteraan dan kepentingan rakyat yang sering merasa diabaikan, atau semua sumber ekonomi dikuasai oleh kartel atau kelompok pengusaha yang bersepakat mengerjai rakyat, karena rakyat hanya memiliki voting 5 tahun sekali, sedangkan dengan dana pengusaha bisa mengubah kebijakan pemerintah sesempatnya. Inilah ilusi demokrasi yang sarat dengan kepentingan pendonor tetapi kurang membela rakyat pemilihnya. Atau ada ilusi suara yang dikaburkan dengan dana kampanye atau suap.

3. Perdana Menteri dan Kabinet: Perdana menteri, sebagai kepala pemerintahan, diangkat dari partai atau koalisi partai yang memiliki mayoritas kursi di parlemen. Kabinet dibentuk dari anggota partai mayoritas ini, yang bertanggung jawab menjalankan kebijakan pemerintah. Dengan kemudahan parlemen untuk membubarkan eksekutif dalam waktu singkat, maka eksekutif Indonesia benci sekali model ini bahkan presiden Soekarno juga tidak suka, karena mudah digonta ganti PM-nya kalau sampai ketahuan tidak becus, dalam hitungan waktu real time sedetik, atau bentuk pengawasan yang seketika. 

Mosi tidak percaya tidak memerlukan acara pemakzulan segala, kalau ada kesalahan, maka harus bubar. Harus diganti yang baru atau yang belum atau tidak melakukan kesalahan atau merusak demokrasi atau mengkorupsi uang rakyat. Ini sebetulnya cocok dengan karakteristik bangsa Indonesia yang suka menyimpang dan melanggar etika dan norma demokrasi dengan tingkat korupsi yang masih tinggi, yang tidak memerlukan prosedur impeachment yang butuh waktu lama dalam proses dan pembuktiannya. Kemudahan diberhentikannya PM, maka tidak ada rasa segan untuk dimakzulkan. Bubar, memilih PM baru dan membentuk kabinet baru adalah seperti orang bernafas, tidak ada kesakralan atau ketakutan sama sekali, jadi tinggal bikin lagi yang baik, sampai bisa membentuk kabinet yang paling bagus, yang tahan tidak salah, tahan tidak korupsi.

4. Tidak Ada Pemilihan Langsung untuk Perdana Menteri: Berbeda dengan sistem presidensial, di mana presiden dipilih langsung oleh rakyat, dalam sistem parlementer, perdana menteri dipilih oleh anggota parlemen dari partai mayoritas. Hal ini menempatkan fokus kekuasaan pada parlemen daripada pemilihan umum langsung. Ini kita sudah sering sejak tahun 1950 hingga tahun 1998. Bahkan sampai sekarangpun porsi komposisi menteri kabinet pemerintahan presidensial kita menggunakan elemen parlementer dalam membentuk kabinet atau porsi terbesar dari parlemen dengan perbandingan 18 dari partai dibanding 16 yang bukan. 

5. Fenomena Kutu Loncat: Perpindahan anggota partai untuk keuntungan pribadi lebih umum terjadi, dan sering kali dikaitkan dengan korupsi jabatan.

Peran Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara

1.Perdana Menteri: Sebagai kepala pemerintahan, perdana menteri memimpin kabinet dan bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan negara. Perdana menteri juga mewakili pemerintah dalam hubungan internasional.

2. Kepala Negara: Dalam sistem parlementer, kepala negara memiliki peran seremonial. Di Indonesia saat itu, presiden Soekarno menjabat sebagai kepala negara, yang terutama bertugas dalam upacara kenegaraan dan simbol-simbol negara.

Keuntungan Sistem Parlementer

1.Stabilitas Koalisi: Karena kabinet berasal dari partai mayoritas di parlemen, ini sering kali menciptakan stabilitas dalam pemerintahan. Partai atau koalisi yang berkuasa memiliki mandat yang kuat untuk menjalankan program-programnya. 

2. Akuntabilitas: Perdana menteri harus mempertahankan dukungan parlemen untuk tetap menjabat. Jika parlemen tidak lagi percaya pada kemampuan atau kebijakan perdana menteri, mereka dapat mengajukan mosi tidak percaya yang dapat mengakibatkan pembubaran kabinet.

Pentingnya Memilih Model Pemerintahan yang Sesuai  

Menurut sejarah pada pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang mengakhiri sistem parlementer ini, menggantikannya dengan Demokrasi terpimpin oleh presiden atau maksudnya presidensial yang lebih terpusat pada peran presiden, bukan parlementer. Periode 1950-1959 tetap menjadi bagian penting dalam sejarah politik Indonesia, sebagai salah satu tonggak bereksperimen dalam berdemokrasi yang memberikan pelajaran berharga yang gagal dimaknai tentang apakah model Inggris yang berhasil maju dan lebih sejahtera adalah lebih jelek dari model Indonesia? Begitu juga dengan model presidensial semurni AS yang super power ekonomi dan militer di dunia juga lebih jelek dari Indonesia? Ini memerlukan pakar penelaah untuk menunjukkan secara ilmiah, mana yang lebih baik? Supaya kita memiliki model yang setidak tidaknya setara dengan Inggris dan AS yang menjadi magnet dunia untuk berinvestasi, berinovasi dan bermigrasi atau mengadu nasib kesana. Atau bisa saja mengikuti model China, tetapi sayangnya semua penduduk China pada bermigrasi ke AS dan Inggris, mengapa?

Untuk menjamin demokrasi dan memajukan kesejahteraan, penting bagi Indonesia untuk mempertimbangkan kelebihan dan tantangan masing-masing sistem pemerintahan. Sistem parlementer menawarkan akuntabilitas tinggi dan stabilitas koalisi, namun bisa kurang memberikan legitimasi langsung. Sementara itu, sistem presidensial menawarkan legitimasi langsung dari pemilih, namun bisa menghadapi tantangan dalam menyelaraskan visi pemerintahan dengan realitas politik.

Dalam menentukan model pemerintahan yang sesuai, penting untuk mengutamakan transparansi, akuntabilitas, dan representasi yang sejati. Pemahaman yang jelas tentang peran oposisi dan tanggung jawab pemerintah, serta mekanisme untuk memastikan suara rakyat benar-benar dihormati, akan menjadi kunci dalam mencapai demokrasi yang sehat dan pemerintahan yang efektif.

Kesimpulan

Perbedaan antara sistem presidensial murni dan sistem dengan elemen parlementer sangat signifikan. Dalam sistem presidensial sejati, oposisi berfungsi sebagai elemen penting dalam pengawasan pemerintah dan menyediakan alternatif kebijakan. Sebaliknya, dalam sistem yang tercampur dengan elemen parlementer, seperti di Indonesia, oposisi sering tidak menjalankan peran kritisnya dengan efektif. Untuk memperkuat demokrasi, penting untuk memahami peran oposisi dan memastikan partai politik memiliki ideologi dan program yang jelas. Ini akan membantu menjaga integritas dan konsistensi politik serta mencegah praktik korupsi dan oportunisme politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun