Patty Hearst menderita Sindrom Stockholm
Supreme Court danPutusan Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung di AS baru-baru ini, yang memberikan kewenangan luas kepada lembaga pemerintah eksekutif di bawah presiden, telah menarik perbandingan dengan sindrom Stockholm, seperti yang terlihat dalam kasus Patty Hearst. Keputusan ini memungkinkan presiden untuk mengizinkan tindakan ekstrim, seperti mengirimkan Tim Navy SEAL 6 untuk membunuh para pemimpin oposisi atau bahkan hakim MK atau MA sendiri, dengan kedok tugas resmi kenegaraan.Â
Kewenangan eksekutif yang baru saja diberikan, apabila tidak terkendali atau jatuh ketangan seorang presiden yang cenderung kriminal dan koruptif akan mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan melemahkan model kekuasaan seimbang yang dikenal sebagai trias politica.Â
Dengan mengkonsolidasikan kendali atas MK atau MA, dan lembaga-lembaga hukum lainnya akan segera membatasi dan menghabisi kritik apabila pilihan presidennya jatuh ketangan individu yang koruptif dan kriminal seperti Donald Trump, atau dari partai republik sayang radikal lainnya yang mau menikmati kekuasaan diktator a la Putin, yang baru saja mengeksekusi oposisinya Navalny.Â
Sejak putusan ini diketok, maka MK atau MA telah mengikis sistem checks and balances dengan sendirinya, sehingga mengorbankan pemisahan kekuasaan yang merupakan hal mendasar bagi demokrasi yang sehat. Tren yang meresahkan ini menyoroti pentingnya menjaga independensi peradilan dan memastikan bahwa tidak ada satupun dari elemen Trias Politika atau dalam hal ini pemerintahan yang mempunyai kekuasaan yang tidak terkendali.
Kesamaan keputusan tersebut dengan sindrom Stockholm, seperti yang terlihat dalam kasus Patty Hearst, menggarisbawahi perlunya kewaspadaan dalam menjaga norma-norma demokrasi. Keputusan MK atau MA yang memberikan kewenangan untuk memberikan kekuasaan seperti raja kepada presiden menimbulkan kekhawatiran serius mengenai potensi terkikisnya prinsip-prinsip demokrasi. Alasan di balik semua tindakan yang sejalan dengan Trump adalah,Â
1) Setelah berkali-kali Trump dan sayap kanan menyerang pengadilan hari demi hari setiap kali dia berurusan dengan pengadilan, karena tindak koruptif atau kriminalnya. Bullying terhadap semua yang terlibat dalam kasus pengadilannya ini rupanya membuat MK atau MA ketakutan untuk membuat putusan yang merugikan Trump.Â
2) Apalagi ketika Leonard Leo sang Federalis menginstruksikan anggota MK atau MA dari faksi Federalis mereka untuk mengikuti arah sayap kanan agar tetap bertahan pada Trump sebagian besar waktu.
 3) Keberhasilan faksi Federalis menguasai kursi MA atau MK dengan perbandingan 5:3 sudah pasti menang dalam semua keputusan yang melawan rasa norma dan etika masyarakat demi membela agenda aneh partai Republik. Â
4) Mereka terus diingatkan bahwa mereka dipilih sebagai Scotus karena Trump atau kewajiban untuk membalas budi. Ini direncanakan oleh Leonard Leo dan Mitch McConnel untuk memperkuat kekuasaan Partai Republik yang dapat mewujudkan putusan anti hak hak atas tubuh wanita yang nyata dan bertentangan dengan kaum wanita liberalis, yang meminta hak privasi atas tubuh mereka.Â
5) Memperkuat Trump dan partainya dalam rancangan besar proyek 2025 untuk menghapuskan badan badan pemerintah yang bertentangan dengan kepentingan anti global warming, ataupun anti pencemaran.
Sudah banyak gerakan yang mulai bersuara keras dan menuntut semuanya untuk menjaga independensi peradilan dengan cara mencoblos partai yang moderat dan santun atau menghormati norma dan etika. Kenetralan peradilan yang dituntut bukan mempengaruhi pengadilan lebih demokratis atau lebih mencerminkan dan mewakili mayoritas penduduk AS.Â
Ini menjadi perjuangan yang menentukan dalam menjaga demokrasi yang sehat dan memastikan bahwa keseimbangan kekuasaan tidak terganggu. Karena sudah dibuktikan oleh presiden dari partai Demokrat yang tidak menyalahgunakan keputusan MA atau MK AS untuk menangkap Trump. Jadi mereka menggunakan kewarasan politik, norma dan etika dan tidak menyalahgunakan kekuasaan seperti yang baru saja diberikan MA atau MK.
Kasus Patty Hearst dan Sindrom Stockholm. Seperti judul diatas, berikut nama yang terkenal dalam cerita korban kekerasan dan perkosaan yang mencintai pelakunya, yaitu Patty Hearst. Kasus Patty yang diculik oleh Symbionese Liberation Army (SLA) pada tahun 1974, menjadi sosok yang kontroversial. Selama dalam penawaran, dia berubah dari seorang korban menjadi buronan yang ikut serta dalam kejahatan bersama para penculiknya.Â
Dalam pembelaan Hearst di pengadilan, dia menyatakan bahwa dia adalah korban sindrom Stockholm---suatu kondisi di mana para sandera mengembangkan aliansi psikologis dengan penculiknya, yang menyebabkan dia berpartisipasi dalam aktivitas SLA di bawah tekanan. Namun, Patty bersaksi bahwa dia telah diperkosa dan diancam akan dibunuh saat disekap. Pada tahun 1976, dia dihukum karena kejahatan perampokan bank dan dijatuhi hukuman 35 tahun penjara, yang kemudian direduksi menjadi tujuh tahun. Hukumannya diringankan oleh Presiden Jimmy Carter, dan dia akhirnya diampuni oleh Presiden Bill Clinton.
Implikasi Kekuasaan Eksekutif yang Tidak Terbatas
Dukungan Mahkamah Agung terhadap kekuasaan presiden yang hampir absolut dapat mengarah pada negara semi-diktator, yang mengingatkan kita pada otokrasi dalam sejarah. Keputusan ini meremehkan kebebasan pribadi dan dapat melegitimasi tindakan ekstrim terhadap lawan politik, seperti yang terlihat dalam perlakuan terhadap tokoh seperti pemimpin oposisi Rusia Alexei Navalny. Inipun suatu ketika akan menimpa semua anggota MK atau MA kalau mulai berani menuntut.Â
Terus bagaimana cara menghentikan kegilaan ini, kalau sudah terlambat dan menjadi diktator egois gila kekuasaan yang tak terkendali?. Apalagi sudah jelas ke 5 anggota Supreme Court Justice sudah menderita Stockholm Syndrome yang nantinya juga akan dengan sukarela untuk seterusnya melaksanakan perintah presiden apapun kriminal dan korupsinya. Untuk menyembuhkan Stockholm Syndrome ini diperlukan kerja berat dan intensif dalam waktu yang lama dari seorang psikolog yang hebat.
Sindrom Stockholm ini tidak bisa dianggap remeh karena pertama terdeteksi pada kejadian perampokan Bank di Swedia dan anehnya ke semua 6 orang pegawai bank tersebut bisa bersama sama sekaligus menderita sindrom ini. Begitu juga dengan Patty Hearst menjadi sangat mudahnya langsung menderita Stockholm syndrome, sebagai istilah yang muncul hanya dua tahun sebelum penangkapannya.Â
Persis seperti ketika empat pekerja bank Swedia disandera cukup selama enam hari dan hasilnya cepat sekali langsung memihak para penculiknya. Walaupun banyak juga orang yang enggan percaya bahwa Hearst telah dicuci otak, karena memang sukar dipercaya bahwa sindrom Stockholm dapat terjadi dalam waktu singkat pada banyak orang sekaligus. Apakah sebetulnya MA atau MK AS secara berjamaah dengan mudahnya telah terkena atau menderita sindrom ini?
Wawasan Sejarah dan Psikologis
Kasus Patty Hearst menyoroti bagaimana individu dapat dipaksa secara psikologis untuk mendukung pelaku kekerasan dan pemerkosanya, yang mencerminkan kekhawatiran terhadap pemerintah yang melampaui batas kewenangannya. Sama seperti transformasi Hearst yang kontroversial, perdebatan mengenai legitimasi dan risiko sindrom Stockholm pada MK atau MA AS juga kontroversial. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis mengenai keseimbangan kekuasaan dan pentingnya menjaga pemeriksaan hukum terhadap tindakan eksekutif.
Perlunya Checks and Balances
Kekuasaan yang tidak terkendali dapat menyebabkan rusaknya prinsip-prinsip demokrasi dan bangkitnya otoritarianisme. Putusan MK atau MA ini menantang konsep dasar checks and balances, sehingga berisiko mengarah pada model pemerintahan yang otokratis. Undang-undang harus bertindak sebagai pencegah, bukan sebagai alat untuk memberikan kekuasaan yang tidak terkendali, memastikan para pemimpin akuntabel dan lembaga-lembaga demokratis tetap terpelihara.
Kesimpulan
Memahami implikasi putusan MK atau MA AS dan kesamaan sejarahnya dengan kasus-kasus seperti kasus Patty Hearst dapat membantu menggarisbawahi pentingnya membatasi kekuasaan eksekutif. Mempertahankan kerangka hukum yang kuat sangat penting untuk melindungi kebebasan individu dan mencegah munculnya pemerintahan otoriter, serta memastikan sistem pemerintahan yang seimbang dan adil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H