Mohon tunggu...
Iwan Murtiono
Iwan Murtiono Mohon Tunggu... Lainnya - Google-YouTube project contractor

Pembela hak asasi dan demokrasi dengan bias sebagai orang Indonesia dalam memakai kacamata untuk melihat dunia, termasuk dalam memupuk demokrasi yang agak membingungkan antara demokrasi murni atau demokrasi a la Indonesia. Bahwa kita sering melihatnya dalam perspektif yang berbeda, karena demokrasi itu juga adalah sebuah karya kreatif dalam pembentukannya yang tidak pernah rampung, termasuk yang anti demokrasi juga tidak pernah lelah berusaha terus menguasai demi kepentingan sebagian kecil atau oligarki

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Aturan & Pengawasan Konten Media

29 Juni 2024   04:59 Diperbarui: 30 Juni 2024   19:10 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malas Membuat Podcast di YouTube Lagi

Setelah selesai debat cawapres Amerika Serikat antara Presiden Joe Biden dan mantan Presiden Donald Trump tadi malam pada 27 Juni 2024, banyak anggota Partai Demokrat mulai panik. Mereka mulai mencari-cari "siapakah yang layak menggantikan Joe Biden yang semakin menunjukkan tanda-tanda penuaan? Atau siapakah seharusnya yang berterus terang menyampaikan pesan kepada Biden, kalau performanya dalam debat menunjukkan kebenaran kekhawatiran orang akan kelancarannya berbicara, yang semakin parah?.  Perbincangan dan pencarian ini terus berlangsung dalam berbagai pembicaraan dan opini di segala media seperti TV, YouTube, TikTok, maupun berbagai macam podcast.

Perubahan Platform YouTube. 

Untuk sementara, saya belum membuat podcast di YouTube seperti biasanya yang langsung tanpa menunggu sejampun. Atau mungkin sebaiknya tidak usah saja membuat lagi podcast untuk menghindari segala macam kerepotan membuat konten yang kemudian di-take down. 

Banyak teman saya yang dulu aktif di YouTube sekarang mulai digantikan oleh agen-agen dari Polandia atau Malaysia. Kalau YouTube Malaysia mungkin masih banyak yang saya kenal, tapi mereka sekarang lebih kaku, karena mengikuti aturan yang ditetapkan oleh AI. Berbeda dengan dulu, saat kami semua menganalisis konten dengan hati nurani dan menyimpulkan secara keseluruhan, bukan memilih penggalan tertentu untuk melakukan blok atau demonetisasi.

Tantangan Analisis Konten

Sekarang banyak newbee atau pekerja baru di puluhan kantor YouTube di berbagai negara yang belum cukup berpengalaman menjadi analis yang bijak. Mereka lebih mengadopsi whisper hints dari robot AI milik Google. Mereka ini adalah generasi pekerja yang rencananya akan di-AI-kan untuk efisiensi, karena AI sudah belajar banyak tentang Large Language Model (LLM).

Kebijakan YouTube

Menganalisis dan membuat aturan policy di YouTube disesuaikan dengan kebijakan situasi terkini tidaklah sukar, pertama harus mementingkan norma etika atau localized situation. Karena pusatnya di Amerika, maka harus sesuai dengan norma masyarakat di Amerika atau global. Di Amerika, masyarakat menggunakan ukuran global karena penduduknya berasal dari seluruh penjuru dunia. Atau kalau mau dilacak, mereka yang nekat dan berilmu saja yang pasti senang mengadu nasib di AS yang jelas menjanjikan kesempatan terbesar untuk mengembangkan kepandaian dan inovasinya. Maka aturan yang berakar dari semua penjuru dunia ini ini dikenal sebagai global policy, yang semacam Bhineka Tunggal Ika tetapi untuk kelas dunia.

Diversitas dan Pengaturan Kebijakan

Dulu ada yang mengatakan AS tempat melting pot atau dianggap semuanya meleburkan diri bersenyawa menjadi satu. Rupanya mereka sekarang tidak suka disuruh masuk ke dalam tungku melting pot. Karena setiap orang adalah individu yang merdeka dan maunya secara merdeka kalau bisa mentereng sendiri sebagai pribadi yang komplit termasuk dengan kultur agung yang dibawanya, orang Jawa menyebutnya di-uwongke. Untuk menjembatani itu semua, maka sekarang banyak organisasi dan perusahaan yang menggunakan istilah diversity ketimbang peleburan budaya bawaan ke dalam tungku api peleburan. Di dalam diversity ini ada berbagai kultur dan suku yang berasal dari seluruh pelosok dunia, yang secara individu sangat mentereng dan indah untuk dikagumi dan dibanggakan, bahkan sering dijadikan business atau dipakai untuk mempermanis produk dan jasa. Termasuk YouTube, TikTok, Telegram, dan X-Twitter kini menjadi bisnis yang berlandaskan diversitas, menyebarkan berbagai budaya adi luhung ke seluruh dunia. Bahkan nilai warna budaya exotis yang mentereng ini juga sudah mulai ditunjukkan dalam media formal TV ataupun karya dokumenter lainnya, untuk memenuhi permintaan pasarnya sudah ada disini semua. Agar diterima secara global dan tidak menyinggung norma serta etika, dibuatlah kebijakan yang ketat. Meski begitu, sering terjadi pelanggaran kepatutan untuk meningkatkan jumlah viewer.

Sejarah Aturan Policy Perusahaan Platform

Supaya model ini dapat diterima di seluruh dunia dan tidak menyinggung kapatutan norma dan etika lokal maka dibuatlah rambu rambu policy yang dicanangkan oleh pimpinan YouTube. Awalnya, sering  terjadi pelanggaran kepatutan, bahkan pelanggaran yang paling serius pun pernah terjadi. Apalagi mengingat bahwa semakin viral ketidak patutan kontennya, maka akan mendorong  pertambahan viewer yang makin berjutaan jumlahnya. Ini adalah model traffic viewers, yang sebetulnya dalam sejarahnya YouTube telah meroketkan jumlah subscribernya pada awal pendiriannya. Rupanya setelah tenar, besar dan sangat menguntungkan, mereka mulai menerapkan policy untuk mengklasifikasikan skala kepatutan umur dan masih memonetisasi semuanya. 

Baru setelah banyak boikot dari perusahaan besar beretika yang menolak untuk beriklan pada konten tak berakhlak, yang akhirnya menuntut atau meminta ada jaminan etika konten, maka dibuatlah aturan atau policy kategori skala kepatutan umur. Karena menurut pemikiran kewajaran pengiklan, mereka tidak akan menempatkan iklan di kategori umur dewasa atau konten yang menabrak semua norma dan etika. Ini akhirnya diterima oleh pengusaha platform, sehingga diikutilah keengganan pengiklan dengan menerapkan Block Ads (BA) atau artinya Tidak untuk Iklan. Dan pengonten itu banyak akalnya dan ini dimanfaatkan oleh pengonten yang sengaja tidak suka kontennya ditunggangi iklan dan menciptakan channel non iklan (BA). 

Pengetatan Aturan Policy di Musim Kampanye

Setiap 4 tahun sekali sesuai dengan siklus pemilu di AS, maka aturan atau policy dalam suasana kampanye ini juga mengalami pengetatan secara sementara atau 8 - 9 bulan sebelum dimulainya, dan 3 bulan sesudah adanya hasil presiden terpilih.  Dan nantinya setelah kampanye usai maka aturan ini akan dilonggarkan kembali, karena dana iklan kampanye sudah habis, dan perlu revenue yang konstan atau lebih. Dana kampanye, biasanya besar sekali sampai bisa mencapai lebih dari 50% penghasilan. Platform media sosial sekarang ini malah menjadi sarana utama untuk beriklan dengan cara memanfaatkan platform media yang didasari konten beretika atau sealiran dengan partai afiliasi platformnya. Atau, kalau tidak,  platform ini bakal tidak akan dipilih untuk iklan kampanye sama sekali, kalau terlalu ekstrim atau tidak fair. Maka mayoritas memilih menjadi platform yang banyak isi kontennya non partisan. Konten non partisan ini banyak diminati, karena diyakini viewersnya pasti kaum moderat atau independen yang belum masuk perangkap captive market atau keanggotaan partai, cocok sekali untuk memenangkan pemilu dari sisa pemilih yang belum yakin mau nyoblos.

Sekitar tahun kampanye Amerika Serikat 2019, banyak disinformasi dan misinformasi yang beredar, terutama dari pihak pendukung Trump. Untuk itu, YouTube mulai mengetatkan kebijakan monetisasi, mengkategorikan konten dalam berbagai skala kepatutan umur. Misalnya, konten untuk pendidikan atau lagu anak kecil (G), anak gede (PG), remaja (T), hingga dewasa (MA).

Kebijakan Fleksibel

Sebagai cara meningkatkan pendapatan yang sempat mengalami penurunan pada suatu saat sekitar tahun 2021 an, maka dibuatlah aturan fleksibilitas atau aturan yang memungkinkan dilonggarkannya aturan policy yang mencekik penghasilan. Fleksibilitas aturan adalah bentuk inovasi baru dalam platform media. Pada prinsipnya adalah mendorong kepatutan etika sampai keujung atau ambang batasnya, yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Ini sejauh yang memungkinkan dan etis karena masih merupakan gray area, atau area mengambang atau abu abu. Dengan pengertian dasar ini, maka dibuatlah trik dan strategi tweaking policies untuk mengatur fleksibilitas aturan. Misalnya, konten kategori MA bisa diturunkan menjadi kategori teen dengan tambahan syarat, seperti tempo singkat atau tidak fokus (blurred). Atau dalam karya seni musik, kata jorok bisa dibatasi 3 kali untuk bisa masuk kategori PG. Berarti kalau anak anak pada usia kategori anak geda yang dulunya tidak boleh ngomong jorok sebelumnya, sejak tahapan policy baru PG ini mulai diperkenalkan dan dibiasakan mendengar kata kata jorok sejauh F words. Untungnya atau ruginya, tergantung yang melihat, rupanya mengaburkan salah pengertian dari analis yang bukan lokal misalnya analis Malaysia mulai membolehkan F word dalam bahasa Indonesia yang dulunya diartikan oleh bangsa Malaysia sangat jorok.

Proyek Trust & Safety

Dalam situasi kampanye seperti suasana AS pada saat ini, maka semua konten menjadi lebih dianalisa lebih jauh dengan aturan policy yang disesuaikan dengan jargon jargon misinformasi dan disinformasi. Ini berlaku bagi semua konten berbagai bahasa dan negara karena kantor pusat di AS.  Berarti sekarang ini sedang ada pengetatan, supaya kelihatan fair, non partisan dan para pengiklan bisa lebih percaya, kalau iklannya akan aman. Maka mulailah rame rame mereka semua perusahan platform media menyebut proyek dan perusahaan mereka ini sebagai proyek dan perusahaan  berdasarkan Trust & Safety. Atau kalau jaman dulu terkenal dengan sertifikasi ISO 9000. Gunanya untuk memberikan kesadaran pada para pekerja dan analis konten untuk menjaga kualitas konten yang beretika dan penuh norma, yang bisa dipercaya dan aman untuk masyarakat global. Jadi semua pengiklan juga merasa aman dan bisa mempercayai kalau perusahaan platform akan menjaganya sesuai dengan nama proyeknya. Sekaligus juga untuk mengurangi dan memagari diri omelan dan pemanggilan Congress AS.  Untuk pegawainya pun sampai dibuat seolah olah Trust & Safety ini nafasnya, jadi sampai menyebut ruang kerja mereka adalah controlled area, yang dijaga ketat dengan satpam dan bahkan tidak diperbolehkan membawa masuk atau keluar peralatan electronic, seperti smartwatch atau earbud sekalipun. Padahal tujuan utamanya hanya untuk menjaga kualitas konten yang beretika dan penuh norma dan non partisan. Ini semua bukan berarti bahwa kita tidak akan menemukan konten ekstrim, karena para pembuat konten juga sudah sangat pintar dengan berbagai triknya yang pasti bisa lolos. Makanya jangan heran kalau pernah menemukan konten yang sangat mengerikan.

Pengaruh Kebijakan terhadap Penghasilan

Pengiklan dan viewers menjadi faktor penting dalam penentuan kebijakan konten. Kekhawatiran resiko terbesar para pemimpin platform terlihat dari cara mengetatkan aturan yang bahkan sangat keterlaluan, dan dalam keadaan playsafe atau cari amannya saja, maka akan lebih berpihak pada konten dari label Authorized News Channel. Authorized News ini biasa juga dilabelkan pada channel yang terkenal atau yang mempunyai subscriber jutaan. Oleh karena itu, untuk sembarang konten akan diatur dengan lebih ketat, maklum karena mereka merasa "memikul tanggung jawab penuh". Ini juga hanya angan angan, karena nyatanya mereka tidak pernah bertanggung jawab. Jadi, semata mata hanya  lebih memilih meloloskan isi berita ngawur dari Berita stasiun TV terkenal, misalnya OAN, yang biasanya mau menanggung sendiri akibatnya dan  YouTube selalu terhindar dengan menggunakan alasan free speech. Atau, mungkin lebih bisa dipercaya karena stasiun TV terkenal memiliki editor dan penasehat hukum yang selalu menganalisa seberapa jauh bisa didorong pelanggarannya ke limit tertinggi. Atau sudah berhitung antara jumlah ketenaran, jumlah viewers dan subscribers yang akhirnya menghasilkan prime sponsor atau prime AD(vertisement). 

Dampak Besar Pelanggaran

Dalam kalkulasi dihitung harusnya hasil keuntungan advertensi masih lebih dari cukup untuk menutupi jumlah uang tuntutan korban berita bohong atau jumlah nilai uang damainya.  Dan ini semua misalnya secara murni ditanggung dan menjadi urusan Fox News saja misalnya, tanpa ada yang mengkaitkan atau mengenai YouTube. Begitupun dalam kasus dengan Alex Jones yang secara ngawur mengarang bahwa korban penembakan Sandy Hook adalah korban settingan atau sandiwara, yang dilengkapi dengan rekayasa ngawur untuk mendukung teori konspirasi yang serba ngawur ini, menunjukkan betapa seriusnya dampak pelanggaran. 

Karangan konspirasi ngawur dalam podcastnya Alex Jones ini, langsung menjadi berita headline yang viral tak beretika yang langsung mengundang kemarahan atau kesedihan luar biasa dan akhirnya mendapat vonis pengadilan Texas dalam jumlah denda $1M yang ditanggung sendiri. Artinya, YouTube tidak mendapat sanksi apapun karena dengan cepat akun Jones diblokir, dan resikonya yang harus dihadapi YouTube adalah hanya diomeli kongress. Di Amerika, tidak ada dewan informasi yang membredel konten, tetapi ada hukum yang memiskinkan pelaku pelanggaran dan memberikan semua kompensasi kepada korban. Yang ada adalah payung hukum untuk benar benar memiskinkan, dan uang hasil sitaannya diberikan sebagai kompensasi kepada korbannya dari pengadilan. Ini jarang dilakukan di Indonesia yang mendenda dan hasilnya disita untuk negara, padahal dalam hukum hanya bisa dihukum kalau ada korbannya. Berarti kalau ada sitaan negara maka korban masih akan terlantar karena semua uang disita negara. Mengikari teori ilmu hukum kah ini?

Dengan semakin besar omset penghasilan perusahaan media pada musim kampanye ini, maka semua penghasilan kecil kecilan yang dirasa tidak signifikan akan diabaikan. Maka otomatis kran pengetatan juga akan semakin rapat, yang mengakibatkan para pengonten  kecil sering kena blok dan akunnya juga bisa diancam ditutup. Apalagi sekarang menjelang pemilu atau musim kampanye di AS, maka krannya menjadi sangat ketat. Konsekuensinya salah ucap dan menyebutkan kata kunci blok maka sia sialah hasil konten podcast berdurasi selama sejam penuh. Konten yang berisi kata jargon tertentu menjadi sasaran AI untuk di blok. Appeal untuk banding atau menyangsikan tindakan blok menjadi sangat sulit kalau akunnya kecil. Untuk Akun yang besar mereka juga menggunakan analis yang lebih moderat, yang tidak hanya asal memvonis sama atau idem dito dengan AI. Apalagi ada kata kata yang tidak diperbolehkan dalam aturan yang dipakai tameng untuk blocking. Tidak hanya kata kata tertentu, tetapi juga nama nama yang dicurigai misalnya membuat konten memuat nama dan fotonya Wagner PMC, maka sudah pasti di blok, kalau sampai dideteksi AI atau analis konten yang berada di pelosok dunia, misalnya di Hyderabad yang tidak berbahasa Indonesia, tetapi mendapati kata kunci untuk di blokir. Juga kalau ada perbedaan arti kalimat dalam bahasa yang dipakai di Malaysia, karena kantor analis YouTube di Malaysia. Ini dulu tidak ada karena ada dukungan penuh analis cerdas yang banyak. Sekarang mereka memakai analis yang lebih murah meriah, dan tidak perlu lagi menggunakan yang cerdas tapi mahal.

Kesimpulan

Saat ini, saya merasa malas membuat podcast di YouTube, karena alasan utama perubahan kebijakan YouTube yang semakin ketat membuat proses pembuatan konten menjadi lebih serba terkendali dan rentan terhadap pemblokiran. Ini mengingatkan kita pada jurnalis yang hidup di Rusia dan China. Banyak teman saya yang dulu aktif di YouTube sekarang sudah tergantikan oleh agen-agen baru dari luar negeri AS, yang mengikuti aturan ketat saklek mirip yang dilakukan oleh AI, berbeda dengan dulu yang lebih manusiawi dalam menganalisa konten.

YouTube, seperti media lainnya, harus menyeimbangkan antara keuntungan finansial dan etika konten. Dengan pengawasan ketat dan pengetatan kebijakan, mereka berusaha menjaga platform tetap aman dan dapat dipercaya oleh pengiklan serta viewers. Namun, tantangan bagi konten kreator menjadi semakin besar, terutama bagi mereka yang mencoba memberikan pandangan yang berbeda dalam suasana politik yang panas seperti saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun