Setelah selesai debat cawapres Amerika Serikat antara Presiden Joe Biden dan mantan Presiden Donald Trump tadi malam pada 27 Juni 2024, banyak anggota Partai Demokrat mulai panik. Mereka mulai mencari-cari "siapakah yang layak menggantikan Joe Biden yang semakin menunjukkan tanda-tanda penuaan? Atau siapakah seharusnya yang berterus terang menyampaikan pesan kepada Biden, kalau performanya dalam debat menunjukkan kebenaran kekhawatiran orang akan kelancarannya berbicara, yang semakin parah?. Â Perbincangan dan pencarian ini terus berlangsung dalam berbagai pembicaraan dan opini di segala media seperti TV, YouTube, TikTok, maupun berbagai macam podcast.
Perubahan Platform YouTube.Â
Untuk sementara, saya belum membuat podcast di YouTube seperti biasanya yang langsung tanpa menunggu sejampun. Atau mungkin sebaiknya tidak usah saja membuat lagi podcast untuk menghindari segala macam kerepotan membuat konten yang kemudian di-take down.Â
Banyak teman saya yang dulu aktif di YouTube sekarang mulai digantikan oleh agen-agen dari Polandia atau Malaysia. Kalau YouTube Malaysia mungkin masih banyak yang saya kenal, tapi mereka sekarang lebih kaku, karena mengikuti aturan yang ditetapkan oleh AI. Berbeda dengan dulu, saat kami semua menganalisis konten dengan hati nurani dan menyimpulkan secara keseluruhan, bukan memilih penggalan tertentu untuk melakukan blok atau demonetisasi.
Tantangan Analisis Konten
Sekarang banyak newbee atau pekerja baru di puluhan kantor YouTube di berbagai negara yang belum cukup berpengalaman menjadi analis yang bijak. Mereka lebih mengadopsi whisper hints dari robot AI milik Google. Mereka ini adalah generasi pekerja yang rencananya akan di-AI-kan untuk efisiensi, karena AI sudah belajar banyak tentang Large Language Model (LLM).
Kebijakan YouTube
Menganalisis dan membuat aturan policy di YouTube disesuaikan dengan kebijakan situasi terkini tidaklah sukar, pertama harus mementingkan norma etika atau localized situation. Karena pusatnya di Amerika, maka harus sesuai dengan norma masyarakat di Amerika atau global. Di Amerika, masyarakat menggunakan ukuran global karena penduduknya berasal dari seluruh penjuru dunia. Atau kalau mau dilacak, mereka yang nekat dan berilmu saja yang pasti senang mengadu nasib di AS yang jelas menjanjikan kesempatan terbesar untuk mengembangkan kepandaian dan inovasinya. Maka aturan yang berakar dari semua penjuru dunia ini ini dikenal sebagai global policy, yang semacam Bhineka Tunggal Ika tetapi untuk kelas dunia.
Diversitas dan Pengaturan Kebijakan
Dulu ada yang mengatakan AS tempat melting pot atau dianggap semuanya meleburkan diri bersenyawa menjadi satu. Rupanya mereka sekarang tidak suka disuruh masuk ke dalam tungku melting pot. Karena setiap orang adalah individu yang merdeka dan maunya secara merdeka kalau bisa mentereng sendiri sebagai pribadi yang komplit termasuk dengan kultur agung yang dibawanya, orang Jawa menyebutnya di-uwongke. Untuk menjembatani itu semua, maka sekarang banyak organisasi dan perusahaan yang menggunakan istilah diversity ketimbang peleburan budaya bawaan ke dalam tungku api peleburan. Di dalam diversity ini ada berbagai kultur dan suku yang berasal dari seluruh pelosok dunia, yang secara individu sangat mentereng dan indah untuk dikagumi dan dibanggakan, bahkan sering dijadikan business atau dipakai untuk mempermanis produk dan jasa. Termasuk YouTube, TikTok, Telegram, dan X-Twitter kini menjadi bisnis yang berlandaskan diversitas, menyebarkan berbagai budaya adi luhung ke seluruh dunia. Bahkan nilai warna budaya exotis yang mentereng ini juga sudah mulai ditunjukkan dalam media formal TV ataupun karya dokumenter lainnya, untuk memenuhi permintaan pasarnya sudah ada disini semua. Agar diterima secara global dan tidak menyinggung norma serta etika, dibuatlah kebijakan yang ketat. Meski begitu, sering terjadi pelanggaran kepatutan untuk meningkatkan jumlah viewer.