“Apa kenangan dan angan yang masih menjadi milikmu, Mama?” tanyaku yang disambut hening yang panjang. Aku menduga kenangan dan angan ibu adalah Ayah. Mungkin itu sebab mengapa ia malu menuturkannya padaku. Malam makin menjauh, dan ibu membentangkan selimut setelah sebuah dongeng perihal dara yang terselamatkan dari tangan raksasa.
“Nak, angan dan kenangan ibu adalah milik Tuhan,” kata ibu seraya pergi meninggalkanku. Dari balik selimut aku membayangkan ibu, perempuan sederhana yang bibirnya tak pernah dihiasi gincu. Baginya, kosmetik hanyalah dusta.
Ibu benar. Barangkali itu sebab mengapa ia masih bersimpuh di sudut kamar, berbicara kepada angan dan kenangannya ketika malam makin kelam. Setelah malam menjauh, aku beranjak hendak mengintip ibu berdoa kepada Tuhannya. Aku merangkak dalam gelap dan memandang ibu dari jarak yang terjaga. Aku melihat, dalam kegelapan, dari mulut ibu tumbuh ribuan kunang-kunang.
Sejak malam aku menyaksikan kunang-kunang tumbuh dari mulut ibu, aku tak takut pada gelap. Selama angan dan kenangan masih ada, aku tak perlu takut pada pekat. Angan dan kenangan pada masanya menjadi kunang-kunang. Seperti doa ibu kepada Tuhannya. Juga Tuhanku. Dengan kenangan dan angan yang sama, aku masih terus melangkah mencari Tuhan. Juga ketika orang-orang beragama terus-terusan mengasah kata, memadahkan pujian pada Tuhan dan mengumbarkan kebencian pada sesama. Aku masih saja mencari Tuhan, di bilik paling sunyi hatiku sendiri.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI