Mohon tunggu...
!wan Jemad!
!wan Jemad! Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Tuhan menciptakan dunia dengan kata, dan manusia menciptakan Tuhan juga dengan kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mencari Tuhan

11 Maret 2017   08:40 Diperbarui: 11 Maret 2017   18:00 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
nelayan di Pantai Ketebe, Flores. Sumber: hidupsastradantuhan.blogspot.com

“Adakah suatu hari kita akan kembali kepada Tuhan, Mama?” tanyaku dulu kepada ibu selepas ia menceritakan perihal surga milik Tuhan. Ibu tak menjawab seperti juga banyak pertanyaan perihal Tuhan yang tak sanggup ia jawab. Meski begitu, ibu selalu menyimpan jawaban yang meski tak benar-benar menjawab pertanyaan.

“Dunia dan hidup manusia cuma sebentar. Kau perlu bersandar pada yang baka, dan itu cuma Tuhan.”

“Bagaimana bersandar pada Tuhan yang tak fana itu, Mama?” 

Ibu seketika menjawab dengan ceramah panjang yang gagal aku pahami. Aku hanya mengingat nasihat yang ia sisihkan pada akhir ceramah.

“Kau perlu mencari Tuhan, nak. Ia senang ditemui.”

 “Bagaimana aku bisa mencari Tuhan, Mama?” Pertanyaan ini tidak kukatakan. Aku menyimpannya dalam hati seakan hati adalah perpustakaan maha luas untuk menyimpan semua hal yang tak sanggup ditanyakan. Sayangnya, aku keliru. Seperti semua ibu di dunia ini, ia mengetahui isi hati anaknya sendiri. Ia memandangku dengan tatapan teduh, seolah-olah matanya adalah hulu sebuah sungai dan alisnya adalah rindang pohon.  Ibu memegang kedua telapak tanganku dan meletakkannya di ulu hati.

“Nak,” kata ibu, “manusia boleh menyembah Tuhan di semua rumah ibadah, tapi kalau ia tak hirau dengan suara dari dadanya sendiri, ia tak akan pernah bertemu dengan Tuhan.”

Aku terdiam. Terkenang suatu ketika dadaku pernah membisikkan kata jangan lakukan, manakala aku melihat ranum mangga milik tetangga dan air liurku meleleh. Beberapa butir batu telah siaga untuk kulemparkan dengan sasaran tunggal, buah mangga yang matang. Mendadak suara dari bilik dada berbisik dan berisik, jangan lakukan, jangan lakukan. Air liur meleleh, butir batu dilepaskan, dan aku pergi membiarkan mangga tetap pada tangkainya. Hari berikutnya aku melihat bangkai mangga di tangkai yang sama. Mungkin ia telah dibantai kawanan kelelawar pada senyap malam sebelumnya. Aku kira kawanan burung itu tak hirau pada suara dari balik dadanya, atau mungkin tak ada suara yang membisiknya jangan lakukan. Di kemudian hari aku paham, ketika ibu menceritakan perihal mencari Tuhan dan suara dari balik dada.

“Kalau kau mau bertemu Tuhan, dengarkan hatimu berbicara. Ia akan menuntunmu ke mana kau harus pergi dan apa yang perlu kau lakukan.”

“Tapi, Mama, bagaimana kalau aku tidak mendengarkan suara itu atau tak menghiraukannya?”

Ibu terdiam. Di ujung cakrawala, seorang penggembala sedang asik menggiring kawanan sapi kembali ke kandangnya.

“Nak, kau lihat kawanan sapi itu. Mereka tak punya suara dari balik dada. Binatang lain pun tidak. Kalau kau tak hirau dengan suara di dasar hatimu, kau bisa menjadi semena-mena seperti kawanan sapi itu. Kau bisa membunuh atau membenci tanpa perlu alasan.”

Ibu mengakhiri ceramahnya dengan sebuah ciuman yang mendarat di keningku. Tak semua yang dikatakan ibu mampu kupahami. Tetapi ceritanya perihal mencari Tuhan dan suara dari balik dada, selalu membekas seperti ciuman yang pernah ia daratkan ke jidat seraya merengkuh tubuhku yang ringkih.

Sejak hari aku menerima nasihat itu, hidup bagiku adalah sebuah pencarian akan Tuhan. Entahkah ini sebuah petualangan yang sia-sia seperti kata penulis J. Slauerhoff dalam Pemberontakan Guadalajara. “Ada pencari Tuhan, ada pencari rakyat, dan biasanya keduanya mencari sia-sia seumur hidup,” tulisnya begitu. Aku kira penulis itu keliru, tak ada yang benar-benar sia-sia di bawah langit, semua yang bisa dicari pasti akan ditemukan, bahkan Tuhan. Manusia atau pencari Tuhan hanya butuh mata hati yang tajam untuk melihat Tuhan yang sering berkarya dalam senyap, yang sederhana dalam segala kemewahan-Nya. Butuh kesungguhan untuk mendengar suara yang berbisik dalam kegaduhan, yang muncul dari balik dada, jadilah orang baik.

Bertahun-tahun kemudian hidup bagiku adalah perjalanan kembali kepada Tuhan, mencari rumah-Nya berdiam. Aku kira Tuhan tidak tinggal di sebuah tempat yang jauh. Ia berdiam di bilik dada. Tetapi, entah mengapa manusia mudah marah pada rumah ibadah yang terbakar dan membakar rumah ibadah yang belum terbakar, sementara mereka selalu lupa untuk mengasah dan mendengar bisik lembut suara hati.

“Aku tidak menetap di sana. Aku  tinggal di hatimu. Jangan marah karena rumah ibadah yang terbakar, tetapi hiraulah pada hatimu yang seringkali terbakar oleh amarah. Aku kepanasan di sini.”

Aku membayangkan Tuhan berseru demikian dari balik dada manusia yang seringkali mengaku mencintai Tuhan dan membenci sesama. Apakah mungkin mereka masih akan bertemu dengan Tuhan, jika tak hirau pada suara dari balik dada? Ahh, entahlah. Mungkin mereka membutuhkan ibu (seorang perempuan) untuk memahami ke mana perlu mencari Tuhan.

Aku tak lagi hirau bagaimana bersaksi tentang Tuhan. Aku ingat di sebuah kuliah filsafat, seorang professor bersaksi tentang Tuhan. “Kita tak bisa berbicara tentang Tuhan,” katanya, “Ia hanya bisa ditemui.” Aku sepakat dan mereka yang lantang bersuara mencari Tuhan, barangkali sedang membual, jika suara dari balik dada terus-terusan disumbat.

Aku ingin pulang. Ke rumah kenangan. Ke rumah milik Tuhan. Ke dalam hatiku sendiri. Aku kira rumah bukan lagi sesuatu yang di luar, tetapi sebuah tempat di dalam hati manusia. Kalau hati bisa damai, segala tempat bisa menjadi rumah, meski ia tak punya ruang untuk meletakkan kepala. Hingga suatu waktu, bilik kecil itu direhab dan manusia pergi ke hati Tuhan, berdiam di sana selamanya. Bukankah itu surga???

Aku kira selama masih mengembara, seorang manusia bisa mencari Tuhan dengan bantuan ibu. Aku bersyukur memiliki ibu, seorang perempuan yang membantuku mencari dan mencintai Tuhan dengan mendengarkan kata hati. Ibu bagiku adalah seorang perempuan. Ibu adalah sebuah rumah yang atapnya bisa mencakar langit. Ibu adalah gubuk milik pemerintah yang tak goyah diterpa badai. Ibu adalah sahabat terdekat Tuhan.

Meskipun yah, Ibu perempuan yang rumit. Tak selalu mudah dipahami seperti juga Tuhan.  Tetapi, serumit apapun ibu, satu-satunya alasan mengapa aku mudah memahaminya adalah kenangan yang berkali-kali ia ciptakan dalam setiap dongeng pengantar tidur. Ia yang mengisahkan padaku bahwa setiap kenangan pada suatu waktu akan menjadi kunang-kunang yang berpendar pada malam paling kelam dalam hidup.

“Ketika cahaya harapan nyaris padam, nyalakan kenangan. Ia akan menjelma kunang-kunang. Dengan begitu, kau masih bisa menjaga angan untuk terus melangkah ke sebuah entah yang menjadi milik Tuhan,” kata ibu selepas makan malam suatu ketika.

“Apa kenangan dan angan yang masih menjadi milikmu, Mama?” tanyaku yang disambut hening yang panjang. Aku menduga kenangan dan angan ibu adalah Ayah. Mungkin itu sebab mengapa ia malu menuturkannya padaku. Malam makin menjauh, dan ibu membentangkan selimut setelah sebuah dongeng perihal dara yang terselamatkan dari tangan raksasa.

“Nak, angan dan kenangan ibu adalah milik Tuhan,” kata ibu seraya pergi meninggalkanku. Dari balik selimut aku membayangkan ibu, perempuan sederhana yang bibirnya tak pernah dihiasi gincu. Baginya, kosmetik hanyalah dusta.

Ibu benar. Barangkali itu sebab mengapa ia masih bersimpuh di sudut kamar, berbicara kepada angan dan kenangannya ketika malam makin kelam. Setelah malam menjauh, aku beranjak hendak mengintip ibu berdoa kepada Tuhannya. Aku merangkak dalam gelap dan memandang ibu dari jarak yang terjaga. Aku melihat, dalam kegelapan, dari mulut ibu tumbuh ribuan kunang-kunang.

Sejak malam aku menyaksikan kunang-kunang tumbuh dari mulut ibu, aku tak takut pada gelap. Selama angan dan kenangan masih ada, aku tak perlu takut pada pekat. Angan dan kenangan pada masanya menjadi kunang-kunang. Seperti doa ibu kepada Tuhannya. Juga Tuhanku. Dengan kenangan dan angan yang sama, aku masih terus melangkah mencari Tuhan. Juga ketika orang-orang beragama terus-terusan mengasah kata, memadahkan pujian pada Tuhan dan mengumbarkan kebencian pada sesama. Aku masih saja mencari Tuhan, di bilik paling sunyi hatiku sendiri.

*** 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun