“Nak, kau lihat kawanan sapi itu. Mereka tak punya suara dari balik dada. Binatang lain pun tidak. Kalau kau tak hirau dengan suara di dasar hatimu, kau bisa menjadi semena-mena seperti kawanan sapi itu. Kau bisa membunuh atau membenci tanpa perlu alasan.”
Ibu mengakhiri ceramahnya dengan sebuah ciuman yang mendarat di keningku. Tak semua yang dikatakan ibu mampu kupahami. Tetapi ceritanya perihal mencari Tuhan dan suara dari balik dada, selalu membekas seperti ciuman yang pernah ia daratkan ke jidat seraya merengkuh tubuhku yang ringkih.
Sejak hari aku menerima nasihat itu, hidup bagiku adalah sebuah pencarian akan Tuhan. Entahkah ini sebuah petualangan yang sia-sia seperti kata penulis J. Slauerhoff dalam Pemberontakan Guadalajara. “Ada pencari Tuhan, ada pencari rakyat, dan biasanya keduanya mencari sia-sia seumur hidup,” tulisnya begitu. Aku kira penulis itu keliru, tak ada yang benar-benar sia-sia di bawah langit, semua yang bisa dicari pasti akan ditemukan, bahkan Tuhan. Manusia atau pencari Tuhan hanya butuh mata hati yang tajam untuk melihat Tuhan yang sering berkarya dalam senyap, yang sederhana dalam segala kemewahan-Nya. Butuh kesungguhan untuk mendengar suara yang berbisik dalam kegaduhan, yang muncul dari balik dada, jadilah orang baik.
Bertahun-tahun kemudian hidup bagiku adalah perjalanan kembali kepada Tuhan, mencari rumah-Nya berdiam. Aku kira Tuhan tidak tinggal di sebuah tempat yang jauh. Ia berdiam di bilik dada. Tetapi, entah mengapa manusia mudah marah pada rumah ibadah yang terbakar dan membakar rumah ibadah yang belum terbakar, sementara mereka selalu lupa untuk mengasah dan mendengar bisik lembut suara hati.
“Aku tidak menetap di sana. Aku tinggal di hatimu. Jangan marah karena rumah ibadah yang terbakar, tetapi hiraulah pada hatimu yang seringkali terbakar oleh amarah. Aku kepanasan di sini.”
Aku membayangkan Tuhan berseru demikian dari balik dada manusia yang seringkali mengaku mencintai Tuhan dan membenci sesama. Apakah mungkin mereka masih akan bertemu dengan Tuhan, jika tak hirau pada suara dari balik dada? Ahh, entahlah. Mungkin mereka membutuhkan ibu (seorang perempuan) untuk memahami ke mana perlu mencari Tuhan.
Aku tak lagi hirau bagaimana bersaksi tentang Tuhan. Aku ingat di sebuah kuliah filsafat, seorang professor bersaksi tentang Tuhan. “Kita tak bisa berbicara tentang Tuhan,” katanya, “Ia hanya bisa ditemui.” Aku sepakat dan mereka yang lantang bersuara mencari Tuhan, barangkali sedang membual, jika suara dari balik dada terus-terusan disumbat.
Aku ingin pulang. Ke rumah kenangan. Ke rumah milik Tuhan. Ke dalam hatiku sendiri. Aku kira rumah bukan lagi sesuatu yang di luar, tetapi sebuah tempat di dalam hati manusia. Kalau hati bisa damai, segala tempat bisa menjadi rumah, meski ia tak punya ruang untuk meletakkan kepala. Hingga suatu waktu, bilik kecil itu direhab dan manusia pergi ke hati Tuhan, berdiam di sana selamanya. Bukankah itu surga???
Aku kira selama masih mengembara, seorang manusia bisa mencari Tuhan dengan bantuan ibu. Aku bersyukur memiliki ibu, seorang perempuan yang membantuku mencari dan mencintai Tuhan dengan mendengarkan kata hati. Ibu bagiku adalah seorang perempuan. Ibu adalah sebuah rumah yang atapnya bisa mencakar langit. Ibu adalah gubuk milik pemerintah yang tak goyah diterpa badai. Ibu adalah sahabat terdekat Tuhan.
Meskipun yah, Ibu perempuan yang rumit. Tak selalu mudah dipahami seperti juga Tuhan. Tetapi, serumit apapun ibu, satu-satunya alasan mengapa aku mudah memahaminya adalah kenangan yang berkali-kali ia ciptakan dalam setiap dongeng pengantar tidur. Ia yang mengisahkan padaku bahwa setiap kenangan pada suatu waktu akan menjadi kunang-kunang yang berpendar pada malam paling kelam dalam hidup.
“Ketika cahaya harapan nyaris padam, nyalakan kenangan. Ia akan menjelma kunang-kunang. Dengan begitu, kau masih bisa menjaga angan untuk terus melangkah ke sebuah entah yang menjadi milik Tuhan,” kata ibu selepas makan malam suatu ketika.