Mohon tunggu...
!wan Jemad!
!wan Jemad! Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Tuhan menciptakan dunia dengan kata, dan manusia menciptakan Tuhan juga dengan kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melawat Tuhan

9 Maret 2017   16:04 Diperbarui: 9 Maret 2017   16:14 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa pedulinya manusia jika Tuhan tidak datang lagi pada Natal kali ini? Manusia masih akan tetap merayakan Natal, mungkin untuk sekadar menunjukkan baju baru dan mobil baru. Atau sekadar menegaskan siapa yang paling kaya setelah setahun bumi letih berputar mengelilingi matahari. Entahlahhh, apapun keputusan Tuhan, aku tak akan ikut campur. Aku hanya ingin melawat ke tempat-Nya sebelum tahun baru tiba.

Tuhan sendiri sudah lama tak mampir ke tempatku yang kumuh. Atau, barangkali ia terlampau sering mampir, sehingga seperti debu-debu kamar, tak lagi kuhiraukan. Mungkin saja.

Tentang Tuhan, tak ada yang benar-benar kuketahui dengan pasti. Hanya ada hasrat yang lain, ingin bertandang ke tempat-Nya. Aku ingin merasakan sensasi tempat Tuhan. Apakah ada secangkir kopi yang dihidangkan atau sebatang rokok. Hemmm, sepertinya Tuhan membenci rokok. Satu-satunya asap yang disukai Tuhan hanyalah yang muncul dari mulut wiruk. Tidak dari pengorbanan diri tembakau.

Maka tibalah hari yang dinantikan itu, sebuah senja yang tidak mewah. Aku melawat ke tempat Tuhan, dengan setangkup haru bercampur ragu. Ada seribu tanya yang terucap dalam derap langkah. Tuhan, barangkali sudah tahu aku akan melawat. Ia akan senang dan aku pasti riang. Melawat ke tempat Tuhan adalah menjemput sukacita dari iman yang tanggung sekalipun. 

Aku berkunjung ke tempat Tuhan, senja itu. Bersama tiga kawanku yang lain. Seperti juga Tuhan yang selalu datang bertiga mengunjungiku, aku pun ingin menjumpai-Nya bertiga bersama dua kawanku. Seperti juga ia yang datang tanpa membawa apa-apa, aku pun pergi melawat-Nya tanpa apa-apa, selain tubuh berbalut kain yang menjuntai ke tanah. Perjumpaan adalah rahmat terbesar meskipun tiada yang istimewa untuk dirayakan, pikirku. Aku mencoba meniru cara yang sama ketika Ia melawat aku. Seperti sebuah pembalasan. Aku berharap ia tak mencoba mengabaikanku seperti aku sering mengacuhkan-Nya ketika ia melawat. Tuhan tidak pandai membalas dendam.

Senja di gerbang tempat Tuhan nampak muram. Penjaga di gerbang depan menawar keramahan dengan rupiah. Dan, kami membelinya dengan beberapa lembar uang kertas. Semoga saja di tempat Tuhan, rupiah tetap laku meskipun lemah, aku berharap. Penjaga itu pun bersukacita seraya membukakan gerbang. Menjumpai Tuhan seperti juga ke bioskop, mahal. Tak ada uang, tak ada jumpa. Tak ada sukacita. Kami membeli sukacita sore itu dengan rupiah, meskipun sukacita itu terlalu ringkih untuk dirayakan. Sukacita yang ditukar murah dengan rupiah. Namun, rupiah selalu istimewa bagi kami yang tidak karib dengan segala jenis mata uang.

Aku pun tahu, tak ada yang benar-benar istimewa di tempat Tuhan. Duka bergelantungan di dinding-dinding ruangan. Tembok menjulang tinggi yang seakan menunjukkan kebesaran-Nya, seperti sebuah usaha untuk menjaga-Nya tak pergi.

Ada ratusan orang di tempat Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang dijebak nasib. Sebagian merasa Tuhan yang memikat mereka. Sebagian lain menduga Tuhan hendak membinasakan mereka di tempat-Nya sendiri.

“Sedari kecil aku tak pernah membayangkan akan menghabiskan satu moment dari kehidupan di tempat ini. Tuhan yang menuntunku ke sini” ujar lelaki jangkung, salah seorang penghuni rumah Tuhan.

“Ada banyak hal ajaib yang kualami di tempat ini. Tuhan yang berjaga bersamaku. Aku yang terlelap dalam dekapan-Nya. Ia bercakap-cakap denganku di kamar. Tuhan menjadi begitu dekat di sini,” kata yang lain.

Sementara seorang lelaki, yang usianya belum seperempat abad bertutur begini. “Dulu, sebelum aku di sini, kematian adalah hal yang paling menakutkan. Tapi, di sini kematian menjadi semacam teman yang dapat dikaribkan”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun