Mohon tunggu...
!wan Jemad!
!wan Jemad! Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Tuhan menciptakan dunia dengan kata, dan manusia menciptakan Tuhan juga dengan kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melawat Tuhan

9 Maret 2017   16:04 Diperbarui: 9 Maret 2017   16:14 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tuhan barangkali lahir dari rangkuman kisah. Seperti juga dunia diciptakan Tuhan dari kumpulan sabda dan cerita. Mungkin itu sebab mengapa ada banyak cerita tentang Tuhan. Aku mengenal beberapa di antaranya.

Aku pernah mendengar cerita seorang pastor muda tentang Tuhan di misa minggu pagi. “Tuhan itu menyayangi kita, meskipun dengan cara yang seringkali tidak kita pahami,” katanya. Pamanku yang duduk di pojok belakang mengangguk-angguk, merasa diteguhkan. Ia yang baru seminggu meninggalkan lapas, perlahan mungkin percaya penjara adalah cinta Tuhan yang gagal ia pahami.

Di minggu lain, aku mendengar cerita yang berbeda perihal Tuhan. Seorang pastor tua berkisah tentang jarak yang mesti dipangkas untuk menjumpai-Nya. “Mengunjungi Tuhan tak semudah menjumpai seseorang bila akhir pekan tiba,” katanya. “Ia tersembunyi namun nyata. Jauh namun selalu menyentuh. Tuhan ada dalam tatapan rapuh seorang miskin yang ringkih di sebuah rel kereta api. Atau pun ada dalam rayuan genit seorang waria di taman Lawang. Ia ada dalam senyum tanggung seorang muda yang bibirnya sumbing. Ia barangkali hadir, juga dalam gelisah seorang pelacur muda di sebuah rumah prostitusi. Tuhan, seperti juga angin, ada di tempat yang tak terpahami manusia.”

Begitulah ternyata ada banyak rahasia tentang Tuhan yang disingkapkan oleh para pastor atau juga yang sering kudengar dari toa-toa di menara masjid ibukota. Tentu saja aku penasaran.

Atas nama rasa penasaran, aku berniat menjumpai Tuhan, berharap rahasia-Nya bisa kusingkapkan. Namun, seperti kata para pastor, Tuhan tidak mudah dijumpai. Aku tak peduli. Pada suatu hari Natal, aku memutuskan untuk menjumpai-Nya.

***

Natal datang padaku seperti upacara ulang tahun atau perayaan tahunan lainnya. Menyalakan lilin, sedikit refleksi lalu merumuskan niat, walau segera sesudahnya lupa. Kemudian menunggu setahun, Natal pasti datang lagi. Tak ada Natal yang benar-benar berkesan, selain karena hujan bulan Desember yang turun dengan lebat.

Seperti juga Natal, tak ada Paskah yang benar-benar istimewa. Tuhan, barangkali terlanjur lahir dan mati dengan cara yang sama dan bangkit dengan gerak yang persis, pikirku. Sehingga tak ada Natal atau Paskah yang dirayakan dengan cara selain ke Gereja, mendengarkan pastor berkotbah tentang dosa-dosa masa lalu dan harapan-harapan masa depan. Sementara penindasan dan penderitaan tak letih-letihnya melawat di sekitar Natal. Seberapa biasanya natal dirayakan, aku  pun tahu, Natal tetap datang tiap tahun dan selalu tepat waktu.

Di tahun ke 21 usia imanku, aku ingin merayakan Natal dengan cara yang lain. Di pekan pertama ketika umat Nasrani sibuk mempersiapkan Natal aku membuat ikrar, ingin melawat ke tempat Tuhan dan merayakan Natal bersama-Nya di sana. Aku pun membaca ulang Kitab Suci, mencari-cari rahasia rumah Tuhan. Apakah ia ada di selatan atau utara, atau seperti matahari yang selalu muncul di timur, mungkin rumah Tuhan sebenarnya ada di Timur. Atau mungkin rumah Tuhan sebenarnya adalah kandang binatang, seperti ribuan tahun silam Ia lahir di sebuah kandang setelah terusir dari rumah penginapan.

Barangkali, setelah ribuan tahun lewat,  Tuhan sudah jenuh lahir di sebuah kandang lalu memilih lahir di istana negara. Atau mungkin ia enggan lahir di istana Negara, lalu memilih lahir lagi di sebuah Rumah Singgah di dekat Stasiun Senen, Jakarta Pusat.

Ahhh, Tuhan pasti harus berpikir dua kali lahir di rumah penampungan orang-orang yang tak berumah itu. Ia pasti segera ingat, ini Desember. Jakarta tak bersalju tetapi dipenuhi lumpur dan air. Kemudian Tuhan mungkin bingung memilih tempat lahir-Nya. Di tahun ke 21 usia imanku, Ia mungkin memilih untuk tidak lahir lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun