“Sampean, siapa namanya? Lupa saya..” Tanya sang kyai kepada tamunya.
“Kholid, yai..” jawab tamu yang ternyata bernama pak Kholid.
“Oya..ya..pak Kholid penjual sayur-sayuran di pasar Mangu itu to?” lanjut kyai. Pak Kholid hanya menganggukkan kepala.
“Ada perlu apa sampean kemari?” Tanya kyai.
“Begini, yai. Saya itu lagi sumpek, kadang merasa ndak betah dirumah gara-gara istri saya sering marah-marah, ngomel padahal saya hanya melakukan kesalahan kecil. Saya sering juga meladeni kemarahan istri saya. Sebagai lelaki saya ya tidak terima dimarah-marahin terus. Kadang saya sampai akan mengucapkan kata-kata talaq kepada istri saya saking jengkelnya.. Tapi kalau ingat masa lalu, saya sungguh masih mencintainya. Tapi, kalau setiap hari bertengkar begini, saya tidak betah juga, yai..” Jelas pak Kholid dengan mimik wajah menampakkan kejengkelannya dan kegelisahannya.
Kemudian ada khodim kyai (santri yang membantu di rumah kyai) yang membawakan segelas teh hangat ke pak Kholid. Pak kyai kemudian mempersilahkan pak Kholid untuk meminum minuman yang baru saja disuguhkan. Saya pun ikut minum minuman saya yang tinggal beberapa mili sebab sudah satu jam lebih saya ngobrol dengan kyai.
“Oo, jadi itu masalahmu.. Hampir rata-rata manusia yang berumah tangga itu pasti ada cekcok, ada pertentangan yang membikin pertengkaran. Termasuk saya juga. Ha..ha..” kata sang kyai dengan tawa khasnya yang mengingatkan saya kepada almarhum mbah Surip.
Saya pun hanya tersenyum mendengar penjelasan sang kyai karena belum pernah merasakan. Kalau pacaran sih, juga ada pertengkaran. Tapi kalau rumah tangga, saya belum merasakannya.
“Kalau istri sampean sedang marah-marah, jengkel pada sampean jangan sampean ladeni dengan kata-kata juga. Jangan sampean ladeni kemarahannya dengan kemarahan. Tapi ladeni dengan ‘diam’. Diam bukan berarti takut, tapi mengalah. Sayyidina Umar ibn Khottob bila kena ‘semprot’ kemarahan sang istri beliau selalu diam. Kenapa? Ha..” Kata sang kyai sambil melirik pada saya mengisyaratkan agar saya juga tahu masalah ini agar apabila nanti dalam berumah tangga saya juga bisa mensikapi hal tersebut dengan baik.
“Sebab.. Istri kita itu sibuk mengurusi urusan rumah. Apa pekerjaan istri dirumah?” kata kyai seakan-akan memberi pertanyaan padahal yang ditanya tidak perlu menjawab.
“Tugas istri di rumah itu ya, umbah-umbah (mencuci baju), isah-isah (mencuci piring), ngedusi bocah (memandikan anak), nyapu omah, dan mlumah.. ha..ha.(maaf, artinya cari sendiri). saking banyaknya pekerjaan rumah itu, istri juga merasa jenuh, salah satu pelampiasan adalah kepada suami. Karena pelampiasan kejenuhan ya jangan diladeni.”