Seperti biasa, sepulang kerja saya sempatkan sowan ke kyai saya yang belum begitu sepuh dalam umur tapi sudah sepuh masalah ilmu. Sampai di tempat beliau saya langsung menuju gubug tempat beliau istirahat sambil muthola’ah beberapa kitab. Bukan hanya kitab-kitab kuning, tapi saya lihat beliau juga membaca ‘kitab-kitab putih’ alias buku kontemporer. Melihat saya yang baru datang beliau langsung mempersilahkan, “sini, duduk sini dekat saya”
Saya meletakkan tas dan duduk disamping beliau. Tak lupa saya mengeluarkan sesuatu dari kantong saya, sebungkus rokok untuk beliau. Disebuah gubuk surau tempat beliau biasa melakukan dzikir, kami duduk bersama ditemani secangkir kopi, dua bungkus rokok dan sebuah benda yang tampak sudah kuno. Apabila dilihat sekilas benda itu mirip al-Qur'an yang sering dibaca karena kelihatan kumal. Sebelum aku tanya mengenai benda itu sang guru menyuruhku membuka dan membaca isinya. Ku pegang lalu ku buka perlahan-lahan ternyata kertasnya terbuat dari kulit binatang. Di dalamnya terdapat tulisan Arab. Tapi ketika dibaca isinya bukan bahasa Arab melainkan bahasa Jawa atau istilahnya Arab Pegon. Ketika aku baca halaman awal aku paham kalau ini adalah kitab tauhid. Mengetahui kalau itu kitab tauhid langsung aku tutup karena aku takut akan salah tafsir.
Lalu aku bilang, "Ini kitab tauhid, kyai.."
Lagi-lagi beliau menjawab, "Jangan kau panggil aku seperti itu. Berat rasanya kalau membawa sebutan itu (kyai). Tidak maqomnya saya. Ya, kalau kamu buka halaman awal disitu menjelaskan masalah tauhid. Coba kamu buka halaman berikutnya..!!" Kubuka halaman berikutnya. Kubaca, kupahami, ternyata dihalaman tengah menjelaskan tentang syari'at.
"Halaman tengah menjelaskan tentang syari'at..." Kataku agak terbata-bata karena aku takut kalau sang guru menyuruhku untuk menjalankan syari'at yang benar. Sedang aku sendiri masih amburadul dalam melaksanakan syari'at dan belum tahu syari'at yang benar itu bagaimana. Karena menurutku kebenaran hanya milik Allah. Bukan milik segelintir orang.
" Lanjutkan sampai akhir.." kata sang guru sambil menyeruput kopinya.Kubaca halaman selanjutnya sampai akhir halaman. Pada halaman akhir disebutkan kembali tentang ajaran tauhid.
"Lho, kok tauhid kembali?" pikirku."Sudah selesai?"
"Sudah.."
"Apa yang kau ketahui?"
"Saya tidak mengetahui apa-apa kecuali sebuah pertanyaan tentang kitab ini."
"Apa?"
"Kenapa kitab ini diawali dengan membahas masalah tauhid dan diakhiri dengan membahas masalah tauhid? Dan pada halaman tengah menjelaskan tentang syari'at? Kenapa kok tidak masalah tauhid saja?" tanyaku.
"Begini, kitab ini aku peroleh dari guruku. Tidak sembarang orang bisa memahami isi kitab ini. Kitab ini bukan kitab ajaran agama baru. Tidak sembarang orang aku tunjukkan kitab ini. Kamu adalah orang yang beruntung bisa aku tunjukkan kitab ini. Kenapa isi kitab ini diawali dan diakhiri tentang tauhid dan di tengah-tengah menjelaskan tentang syari'at? Nuwun sewu, itu adalah gambaran kehidupan kita di dunia ini. Kita hidup di dunia ini seharusnya diawali dengan tauhid dan diakhiri dengan tauhid dan diantaranya kita harus menjalankan syari'at. Paham maksudnya?"
"Ketika kita lahir, sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW kita sebaiknya dikenalkan asma Allah dengan diadzani telinga kanan kita dan diiqomati telinga kiri. Setelah baligh kita diwajibkan melaksanakan syari'at dan ketika kita dipanggil oleh Sang Maha Kuasa kita seyogyanya membawa tauhid dengan membaca lailaha illallah.." jawabku.
"Iya, begitulah seharusnya kita hidup.." jawab sang kyai sambil menghisap rokoknya...
“Oya, sekarang gimana hubunganmu dengan yang itu?? Jadi nggak??”
Hmm......
“Ada 4 kriteria dalam memilih calon istri sebagaimana yang disabdakan oleh baginda Nabi Muhammad SAW. Tapi, saya menambahi satu lagi. Jadi, ada lima..” terang sang kyai sambil menyedot rokoknya.
“Yang satu apa, kyai?” tanyaku penasaran.
“Yang pertama apa?” sang kyai melempar pertanyaan.