Sementara bahasa Kamboja yang dikenal sebagai bahasa paling royal menggunakan aksara, total sekarang mereka menggunakan 74 huruf, hampir tiga kali lipat dari jumlah huruf yang kita pakai. Dalam 150 tahun terakhir mereka hanya menambah tiga huruf baru. Bisa dipastikan semuanya tidak ada dalam keypad telepon genggam dan keyboard laptop kita.
Dalam kondisi demikian, bisa kita bayangkan betapa kalang-kabutnya bahasa-bahasa itu –termasuk bahasa Indonesia– menjaga pakemnya dari rongrongan para maniak SMS dan pengguna media jejaring sosial yang sangat agresif meproduksi kata dan istilah-istilah “ilegal”.
Adakah zaman tengah menuntut lahirnya kata-kata dan huruf baru? Atau jangan-jangan sebenarnya peradaban sudah cukup puas sekadar kita suguhi daur ulang kata-kata jadul (jaman dulu) macam “gulau“ dan sebagainya yang belakang meroket kepopulerannya?
Tugas para ahli bahasa untuk menjawabnya. Tetapi yang jelas, bahasa adalah salah satu indentitas sebuah bangsa. Bahasa adalah salah satu elemen perekat nasionalisme dan pruralisme yang sesungguhnya, bukan sekadar nasionalisme imajiner yang dibangun atas doktrin senggol bacok atau doktrin bambu runcing.
Karena menyadari begitu pentingnya peran bahasa nasional inilah, tahun lalu anggota parlemen Ukraina merasa perlu baku hantam. Bentrokan itu terjadi antara kubu pro pemerintah versus oposisi disaat sidang parlemen tengah membahas undang-undang yang memperbolehkan penggunaan bahasa Rusia di pengadilan, rumah sakit dan institusi publik lain di wilayah Ukraina yang sehari-hari sudah “terlanjur“menggunakan bahasa Rusia.
Bisa jadi ini adalah salah satu “pemberontakan“ harga diri dan nasionalisme Ukraina yang pernah begitu lama diinjak-injak Rusia atas nama hegemoni Beruang Merah Uni Soviet. Maklum, ada banyak kebencian terpendam begitu lama dalam dada warga negara-negara pecahan Uni Soviet terhadap Rusia. Dua diantaranya adalah keharusan untuk berbahasa Rusia dan keharusan memasang patung kamerad Joseph Stalin di titik-titik strategis simpul arus lalu lintas di kota-kota mereka. Selama berkuasa dari tahun 1930 sampai 1953, Stalin memaksa mesin politiknya membangun lebih dari 6.000 patung dirinya di ribuan kota wilayah Uni Soviet di daratan Eropa Timur.
Masalahnya kemudian, sudah sedemikian gentingkah persoalan bahasa di planet ini?
Ada begitu banyak bahasa nasional di dunia ini, melebihi jumlah negara yang punya tentara. Diantara yang yang minimal agak familiar di telinga satu juta orang ada sekitar 178 bahasa, tidak termasuk bahasa Prancis, Inggris, Spanyol dan China yang familiar di telinga ratusan juta hingga miliaran orang. Di luar itu, ada belasan ribu bahasa lokal semacam bahasa Jawa, Batak, Sunda, Minang, Madura dan lain-lainnya.
Dahulu kala, semuanya ini dimulai dari sebuah kata yang terucap. Kemudian kata demi kata itu terangkai menjadi narasi demi narasi, melahirkan dongeng demi dongeng dari generasi ke generasi. Dibuat sedemikian rupa agar mudah diingat dan difahami dalam berbagai bahasa, lahirlah apa yang kemudian mereka sebut “bahasa lisan“.
Kemudian, secara misterius, pada lima milenium sebelum Masehi, narasi demi narasi itu dituliskan dalam bentuk huruf demi huruf, zaman literatur pun menyapa peradaban. Lahirlah apa yang kemudian mereka sebut “bahasa tulis“. Dari Yunani ke Persia ke India ke China, ke mana-mana, bahasa tulis itu ternyata justru melahirkan banyak kontroversi besar.
Lebih dari dua milenium, dari Homer ke Aeschylus ke Dante ke Shakespeare ke Tolstoy, bahasa tulis itu nyaris selalu memunculkan asumsi kontra asumsi. Kenapa? Karena bahasa tulislah yang melahirkan sejarah, sementara bahasa lisan melahirkan dongeng dan mitos. Orang merasa perlu berdebat soal kebenaran dan penyelewengan sejarah, tapi tidak merasa perlu melakukan hal serupa terhadap legenda.