Nah, jika bahasa Inggris yang telah begitu mundial penggunaannya saja tersengal-sengal mengibangi fenomena itu, lantas bagaimana dengan bahasa lainnya macam bahasa China yang merupakan bahasa paling banyak –bukan paling luas– digunakan? Bagaimana dengan bahasa “Ample” milik orang-orang Papua New Guinea (PNG) yang disebut-sebut sebagai bahasa paling tidak konsisten dari segala bahasa nasional yang pernah dikenal manusia? Bagaimana pula dengan bahasa nasional Kamboja yang merupakan bahasa paling royal menggunakan alphabet?
Salah satu jagoan bahasa dari Amerika, Alexander Schwartz yang sehari-hari menggunakan 31 bahasa saat bekerja di PBB pada 1986, berpendapat bahwa para maniak SMS dan pengguna media jejaring sosial adalah produsen kata-kata baru yang agresif, kreatif dan produktif. Jauh lebih produktif dari orang PNG yang dikenal paling ekstrim dan memusingkan dalam berbahasa.
PNG berbatasan dengan Provinsi Papua, berpenduduk sekitar 5,1 juta, sebagian tinggal di daerah-daerah terisolir. Sejak tahun 1884 negara bermata-uang Kina ini jadi jajahan empat nagara. Wilayah barat di jajah Belanda, wilayah utara di jajah Jerman, wilayah timur dan dan selatannya dijajah Inggris dan Australia.
Sejak merdeka pada 16 September 1975, bahasa Inggris menjadi bahasa resmi pemerintah, disamping bahasa Melanesian Pidgin, bahasa Police Motu dan beberapa lagi bahasa pendatang. Tetapi mayoritas pribumi PNG tak peduli. Mereka tetap pada bahasa nenek moyang sendiri, dan karena mereka tinggal di begitu banyak desa terisolir, membuat bahasa “Ample” mereka jadi tercerai berai dalam 869 bahasa lokal yang berlainan kata dan dialek. Setiap bahasa lokal rata-rata digunakan oleh 4000 orang dalam komunikasi sehari-harinya.
Bertahun-tahun para tokoh pribumi berjuang keras menyatukan 869 bahasa lokal itu, mengadopsi dan “menasionalisasi” kata demi kata agar layak jadi bahasa nasional. Kerja keras itu membuahkan hasil, terkumpullah lebih dari 69.000 kata yang bisa difahami dan disepakati artinya ke dalam vocabulary “calon” bahasa nasional mereka.
Standar pemakaian kata dan maknanya telah ditetapkan, para kepala suku dan tetua adat disatukan, dikondisikan dan disefahamkan. Tetapi toh tetap saja, bahasa “Ampul” adalah bahasa paling tidak konsisten. Kata dan istilah baru muncul setiap saat, kadang berupa padanan atau sekadar akronim dari standar kata yang sudah ditetapkan, kadang malah hanya bisa difahami barang 5000 orang. Bagi kelompok (suku) tertentu, seringkali sebuah kata yang sudah distandarkan, justru mereka ubah artinya menjadi kontradiksi.
Sesungguhnya, masalah tibul bukan sekadar karena bahasa “Ampul” PNG hanya mengenal 69.000 kata dalam vocabularynya. Kelompok-kelompok 869 bahasa lokal penduduk aslinya itu suka mengartikan kata demi kata yang telah dibakukan dengan motifasi dan asumsinya sendiri. Suka tak peduli akan arti kata demi kata bahasa lokal tetangganya.
Pada sepuluh tahun lalu, menurut Ziad Fazah (Brazil) yang fasih ber-57 bahasa dan salah satunya adalah bahasa “Ampul”, pribumi PNG sangat royal melahirkan kata-kata baru setiap tahunnya. Bisa dijamin, setiap kata baru tak dipahami oleh kelompok bahasa lokal satu dan lainnya. Padahal artinya mungkin bisa sama, atau sebenarnya sudah ada dalam standar kata mereka. Akibatnya, kadang pembicaraan mereka terdengar layaknya bahasa prokem bagi kelompok yang satu dan lainnya.
Tetapi yang paling parah tentulah tak adanya standar alphabet dalam bahasa mereka. Suka-suka mereka! Di distrik Rotokas di pusat pulau Bougainville misalnya, penduduknya bertahan untuk hanya mengenal dan menggunakan 11 huruf (A,B,E,G,I,K,O,P,R,T dan U). Sementara di lain distrik, ada yang agresif menggunakan huruf-huruf baru, sampai ada yang menggunakan 21 jenis huruf!
Bisa jadi, kesamaannya dalam 869 kelompok bahasa lokal dan resmi di PNG itu adalah pada penggunaan huruf “A” dan “O”. Memang, tak satupun bahasa di planet ini yang tak menggunakan huruf “A”. Sementara dalam sejarahnya, huruf “O” adalah huruf yang tak pernah berubah bentuknya, sejak huruf itu diadopsi dalam sistem alphabet Phoenician pada 1.300 tahun sebelum Masehi.
Luar biasa memang orang PNG. Inggris saja, dalam empat abad terakhir ini hanya menambah dua huruf dalam perbendaharaan alphabetnya. Itu terjadi pada tahun 1630 pasca era Shakespearean. Dua huruf itu adalah “J” dan “V”. Total bahasa Inggris menggunakan 26 aksara– sama dengan yang saat ini kita pakai dalam bahasa Indonesia. Sebelumnya orang Inggris hanya mengenal 24 aksara, cukup memakai huruf “I” dan “U” untuk mewakili “J” dan “V” dalam tulisan maupun ucapannya.