Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertemuan Tanpa Hasil

6 Juni 2024   14:45 Diperbarui: 6 Juni 2024   15:34 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
photo ilustrasi diunggah dari Pixabay.com

Lemari kecil di sisi belakang ruang kelas tujuh hampir saja meledak. Dipicu oleh dorongan dan pukulan keras yang berasal dari dalam. Pukulan yang tak ayal menimbulkan suara gaduh.

"Wooi buka!"

"Aku tak bisa bernafas, tahu!"

Pak Lathif yang ketika itu sedang berbicara di depan kelas terkaget-kaget. Perhatiannya  seketika teralihkan. Ia bergegas menuju sumber suara.

"Ada apa ini?"

"Siapa di dalam?"

"Aku pak, Ezi. Riko tadi menyeret aku!"

Pak Lathif segera membuka pintu lemari dengan kunci yang masih menempel. Tangannya dengan cekatan mengeluarkan Ezi. Tubuh anak itu yang terbilang kecil tak menyulitkanya. Ezi tampak lemas. Tetesan keringat membasahi rambut dan kemeja putihnya.

Sejenak Ezi dibaringkan di lantai ruang kelas. Matanya terlihat berair. Tarikan nafasnya terdengar lebih kerap. Teman-temannya membantu sebisanya. Dengan menggenggam buku, mereka mengibas-ibaskannya ke tubuh Ezi. Mereka berusaha memberi udara segar. Keadaan Ezi segera pulih. Kebugaran tubuhnya perlahan telah kembali.

Ezi bangkit dari laintai tempatnya berbaring. Ia berdiri dengan sigap. Dengan langkah tergesa ia menuju bangku tempat Riko duduk. Bagai banteng terluka yang sedang memburu lawan, ia meraih kerah baju Riko.

"Kamu mau membunuh aku?", teriak Ezi.

"Kalau iya, kamu mau apa?" jawab Riko dengan suara tak kalah keras.

"Ayo, kita teruskan di lapangan!"    

"Kamu pikir aku takut?"

Pak Lathif yang langkahnya sedikit terhalang oleh murid yang berkerumun, segera menengahi.

"Sudah, sudah. Kalian berdua ikut bapak ke Ruang BK!"  

Kejadian siang itu terbilang hebat. Peristiwa yang menjadi klimaks dari perseteruan dua siswa teman sekelas. Ezi yang masuk sebagai siswa baru di awal semester genap membawa perubahan. Sayangnya, ia tidak membawa pada perubahan yang baik. Alih-alih membawa kedamaian, ia menciptakan riak-riak kecil di air yang tenang. Ia menyalin suasana kelas yang semula tenang jadi sedikit tak terkendali.

Adalah Riko, siswa multi talenta berpenampilan rapi yang merasakan kegerahan itu. ia merasa terganggu oleh kehadiran sang murid baru. Riko sebisanya menghindari Ezi. Satu hal yang membuat semangat Ezi semakin militant untuk merongrongnya. Mengganggunya dengan kenakalan-kenakalan kecil. Namun hal itu telah cukup membangkitkan kegerahan bagi Riko.

Pernah terjadi di kelas Pak Lathif, Riko bangkit dari kursinya. Ia seperti ingin melumat Ezi hidup-hidup, mengantarnya menjemput maut. Pasalnya, Ezi yang duduk dalam posisi kursi di hadapannya sedang menderita sakit flu yang hebat. Hidungnya tak pernah kering mengeluarkan cairan. Keadaan ini membuatnya tak nyaman. Ia kerap mengelapnya dengan kertas tissue.

Sayangnya, Riko yang kadung tak menaruh rasa persahabatan pada Ezi menganggap hal itu sebagai ancaman. Ia menganggap Ezi mengintimidasi dengan kelakuaannya itu. Setiap tangan Ezi mengelap cairan yang keluar dari hidungnya, Riko anggap itu sebagai gambaran dirinya. Riko begitu tersiksa dengan sakit flu yang mendera Ezi.

Pada hari yang lain, Pak Lathif kembali menggelandang dua muridnya itu ke ruang bimbingan dan konseling. Ezi dan Riko berantem lagi. Sebabnya karena ballpen milik Riko dibongkar Ezi. Celakanya, Ezi tak tahu banyak cara merakit ballpen. Peranti menulis milik Riko itu disusun Ezi dengan serampangan. Wujudnya jadi tak karuan, per di dalamnya hilang. Ring kecil di sambungan badan ballpen juga raib. Riko mencak-mencak. Meludahi Ezi dengan bernafsu.

Tentu saja Ezi tidak terima. Walau ia telah merusak barang milik Riko, ia tak ingin cipratan air ludah membasahi tangan dan juga wajahnya. Ezi dengan membabi buta melakukan gerakan membagi cipratan ludah itu. Siapa pun yang berada di dekatnya kena tulah, kebagian cairan air liur itu. Eza berusaha mengelap tangannya yang basah dengan baju teman-temannya, Narges, Nailah, Jinan dan juga Pak Lathif.

"Keadaan Ezi yang demikian apakah patut kita pertahankan?" kata ibu Widya, guru BK.

"Menurut awak, ia dibinasakan saja, karena sudah tak bisa dibina!" timpal Pak Dahlan guru seni asal kota Medan.

Sore itu, menjelang jam bubar sekolah, ibu kepala sekolah mengumpulkan para guru. Satu agenda dalam pertemuan itu khusus membahas permasalahan Ezi. Desakan dari para orang tua murid jadi salah satu pencetus dilangsungkannya pertemuan.

"Menurut saya, Ezi tak pantas untuk dikeluarkan. Kenakalannya masih terbilang normal, bukan kriminal" kata Pak Guru Sudrajat urun suara.

Ia menambahkan, "Ezi sepertinya selalu salah di mata Riko, dan juga di mata kita. Kasihan anak itu, ia bermasalah dengan dirinya. Sayangnya, kita turut andil memperbesar masalah yang ia derita. Alih-alih mengurangi kesusahannya, kita malah memperbesarnya."

"Maksud bapak apa dengan kata kita?" timpal ibu Irma, guru Matematika yang killer.

"Saya tidak merasa memperlebar permasalahan Ezi seperti yang bapak katakan. Bapak kalau ngomong hati-hati ya, jangan asal bunyi!"

"Sabar bu Irma, tujuan kita mencari titik temu bukan berseteru dalam pertemuan ini" sambung Pak Salam, guru Pendidikan Agama.

"Baik, silakan diteruskan Pak Sudrajat".

"Begini bapak, ibu. Ezi memang kita tahu sebagai trouble maker. Tukang bikin onar yang penampilannya urakan, kotor, jauh dari kesan teladan. Jauh sekali dengan rivalnya, Riko yang gemerlap. Ia rapi, tampan, pintar bernyanyi, berakting, dan cakap dalam berkomunikasi lisan. Namun saya memandang Ezi sebagai siswa dengan kelebihan yang dimilikinya!"

"Ah, omong kosong!" sergah ibu Irma.

Pak Lathif yang selama pertemuan hanya mendengar dan menyaksikan rekan-rekannya bersilang pendapat, mencoba angkat bicara.

"Ibu Irma, Pak Sudrajat, dan bapak ibu semua. Saya mengajar di kelas Ezi dan Riko. Saya mengamati keduanya, seperti yang bapak dan ibu lakukan. Saya juga tiga kali mendamaikan keduanya yang nyaris berbaku hantam. Izinkan saya menyampaikan temuan pada pelajaran yang saya asuh."

"Belum lama ini, berlangsung ujian akhir semester di sekolah kita. Hasilnya juga sudah sama-sama kita ketahui. Bapak dan ibu sudah menanda tangani hasil ujian masing-masing. Saya menggaris bawahi pencapaian Ezi dan Riko."

"Riko dan Ezi kebetulan mendapatkan nilai yang sama. Keduanya menempati urutan papan tengah perolehan nilai siswa sekelas.  Patut dibanggakan, mereka bukan siswa dengan nilai paling kecil. Bagi saya, ini prestasi yang baik, terutama bagi Ezi."

Ibu Irma duduk dengan gelisah. Sepertinya ia ingin segera memotong pembicaraan Pak Lathif. "Interupsi bu kepala", katanya.

Setelah dipersilakan, ia berbicara panjang kali lebar. "Pak Lathif tidak bisa menjadikan mata pelajaran Bahasa Indonesia yang bapak asuh sebagai ukuran. Pelajaran itu sangat mudah, bahkan orang idiot seperti Ezi saja bisa mendapat poin yang menurut bapak bagus. Lain halnya dengan Matematika. Pelajaran ini begitu sulit. Tak banyak siswa yang mendapat hasil memuaskan dalam tes yang lalu. Apalagi Ezi, jeblok nilainya."

Pak Lathif bangkit dari kursinya, "Istighfar bu Irma. Apa perlu saya minta Pak Salam membacakan Surat Al Jin buat ibu?"

Bapak dan ibu guru tertawa. Ibu kepala menyudahi pertemuan sore itu dengan tanpa keputusan. Pertemuan lanjutan akan dilangsungkan pada waktu yang ditentukan kemudian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun