Tentu saja Ezi tidak terima. Walau ia telah merusak barang milik Riko, ia tak ingin cipratan air ludah membasahi tangan dan juga wajahnya. Ezi dengan membabi buta melakukan gerakan membagi cipratan ludah itu. Siapa pun yang berada di dekatnya kena tulah, kebagian cairan air liur itu. Eza berusaha mengelap tangannya yang basah dengan baju teman-temannya, Narges, Nailah, Jinan dan juga Pak Lathif.
"Keadaan Ezi yang demikian apakah patut kita pertahankan?" kata ibu Widya, guru BK.
"Menurut awak, ia dibinasakan saja, karena sudah tak bisa dibina!" timpal Pak Dahlan guru seni asal kota Medan.
Sore itu, menjelang jam bubar sekolah, ibu kepala sekolah mengumpulkan para guru. Satu agenda dalam pertemuan itu khusus membahas permasalahan Ezi. Desakan dari para orang tua murid jadi salah satu pencetus dilangsungkannya pertemuan.
"Menurut saya, Ezi tak pantas untuk dikeluarkan. Kenakalannya masih terbilang normal, bukan kriminal" kata Pak Guru Sudrajat urun suara.
Ia menambahkan, "Ezi sepertinya selalu salah di mata Riko, dan juga di mata kita. Kasihan anak itu, ia bermasalah dengan dirinya. Sayangnya, kita turut andil memperbesar masalah yang ia derita. Alih-alih mengurangi kesusahannya, kita malah memperbesarnya."
"Maksud bapak apa dengan kata kita?" timpal ibu Irma, guru Matematika yang killer.
"Saya tidak merasa memperlebar permasalahan Ezi seperti yang bapak katakan. Bapak kalau ngomong hati-hati ya, jangan asal bunyi!"
"Sabar bu Irma, tujuan kita mencari titik temu bukan berseteru dalam pertemuan ini" sambung Pak Salam, guru Pendidikan Agama.
"Baik, silakan diteruskan Pak Sudrajat".
"Begini bapak, ibu. Ezi memang kita tahu sebagai trouble maker. Tukang bikin onar yang penampilannya urakan, kotor, jauh dari kesan teladan. Jauh sekali dengan rivalnya, Riko yang gemerlap. Ia rapi, tampan, pintar bernyanyi, berakting, dan cakap dalam berkomunikasi lisan. Namun saya memandang Ezi sebagai siswa dengan kelebihan yang dimilikinya!"