Pokoknya Cerpen
Rasanya belum lama Idul Fitri berlalu. Hari Lebaran yang meriah dengan segala hal yang baru. Belum bersih meja tamu kami dari toples-toples kue. Belum sepi percakapan keluarga dari saling meminta maaf dan berjabat tangan ketika bertemu. Suasana hari raya masih terasa hangat.
Rasanya belum lama ibu mertua mengutarakan keinginan untuk berkunjung ke rumah kami. Hari Lebaran lalu ia tidak sempat ikut bersama kami, saat kami mengunjunginya. Ia masih kepikiran sampai hari ini untuk menunaikan keinginan berkunjung itu.
Tinggal beberapa hari lagi akan tiba bulan haji. Bulan Dzulhijah yang agung. Bulan dengan suasana yang syahdu. Saat Jemaah haji terbang berkelompok-kelompok memenuhi panggilan Allah. Saat koran-koran dan televisi memuat liputan khusus dari tanah suci. Saat umat muslim bersegera memenuhi kewajiban menyembelih hewan qurban.
Setiap menjelang bulan haji, pengurus DKM mesjjid kami segera membentuk panitia qurban. Susunan panitia yang dari tahun ke tahun orangnya masih itu-itu juga. Yang jadi ketua Pak Khairudin, Bendahara Pak Tarwa, Seksi Penyembelihan Pa Ishak dan seterusnya.
Panitia dengan gencar menyebar informasi lewat grup WA warga se-RW. Menawarkan kesediaan dititipi hewan qurban untuk disembelih dan dibagikan dagingnya. Menyajikan daftar harga qurban kolektif yang diselenggarakan di mesjid. Menyertakan nomor rekening dan nomor WA panitia untuk penyetoran dana berqurban.
Informasi yang diberikan panitia begitu deras. Lebih dari tiga kali dalam sehari daftar nama pequrban nampang di layar HP. Nama-nama yang itu-itu juga setiap tahun. Ada nama Asad, Suryo, Giman, Mulyani dan lain-lain. Bila nama mereka terasa asing bagi seseorang, tertolong oleh identitas nama RT di belakang nama-nama itu. Jadi kecil kemungkinan bila mereka tak dikenal warga.
"Kenapa tak ada yang pakai nama Hamba Allah ya Pah?", tanya istriku.
"Agar jelas identitas mereka dong Bu. Tidak ketuker sama yang lain", jawabku.
"Lho Tuhan kan Mahatahu. Pasti tahu siapa yang berqurban", tambahnya.
"Sudahlah bu, gak usah dipikirin. Orang lain yang berqurban, kok kita yang mumet", aku menandaskan.
Aku memahami perkataan istriku. Sepertinya ia jengah dengan kebiasaan panitia yang kerap memposting data pequrban. Padahal anggota grup warga tidak semua menjadi mudhohi atau orang yang melaksanakan ibadah Qurban.
Warga di kampungku banyak yang makmur sehingga banyak yang daftar untuk berqurban. Ia sepertinya malu saat melihat daftar nama di grup warga itu. Yang ia saksikan nama-nama tetangga kami, baik yang dekat maupun yang jauh. Sedangkan namaku belum pernah tertulis di sana.
**
"Diajak Pak RT lagi Pah?"
"Iya, minta dibantu mendata warga untuk qurban"
"Oh, syukurlah"
Senyum bahagia istriku mendorongku untuk menyambut ajakan Pak Darma, ketua RT kami. Selepas shalat subuh tadi ia meminta bantuan tenaga. Kesibukan beliau sebagai pengrajin usaha Tahu menyita banyak waktunya. Di pagi buta ia sudah meninggalkan rumahnya dan baru kembali selepas jam sembilan malam. Namun ia masih menyempatkan mengurusi warga dengan suka rela.
Membantu beliau bukan hal yang pertama kulakukan. Sejak tiga tahun terakhir aku selalu menyertainya di tempat pemotongan hewan qurban. Tugasku membantu memotong-motong daging dan tulang. Usai itu mengemasnya dalam kantong plastik putih.
Lantas membagikannya ke setiap warga. Rumah mereka kami datangi berbekal secarik kertas data warga. Tak jarang terjadi perang urat saraf dengan warga yang tak puas dengan jumlah bungkusan qurban yang kami bagi. Seperti yang terjadi dengan warga yang bernama Bu Narti.
"Pak seharusnya saya dapat tiga bungkus dengan anak-anak saya."
"Oh, di sini tertulis dua. Ibu dan Nak Dewi."
"Iya, tapi Sinta juga tinggal di sini. Gimana bapak ini kok enggak tahu?"
Ketidakselarasan data warga seringkali menjadi sumber percekcokan. Pak RT belum sempat memperbaharui data atau warga sendiri yang tidak melaporkan perubahan data keluarga mereka. Meski hal ini sudah sering disampaikan lewat grup WA atau secara langsung tiap ada kesempatan. Pantas saja tiap jelang pemilu seperti sekarang, data pemilih seringkali menimbulkan kisruh diantara pihak-pihak yang berkepentingan.
Aku sudah terbiasa dengan ketegangan-ketegangan kecil saat pembagian jatah qurban warga. Bagaimana pun mereka berhak menyampaikan unek-uneknya karena berhubungan dengan kepentingan mereka. Biasanya aku sampaikan hal ini kepada ketua panitia dan bila memungkinkan, permintaan mereka kami penuhi.
Sebagai anggota panitia aku mendapatkan "bonus" di akhir tugas. Usai setiap warga mendapatkan  jatah bagiannya, ketua panitia memberi kami bagian hewan qurban yang tidak dapat direcah dan dibagikan. Tahun yang lalu aku membawa pulang kaki sapi yang masih utuh. Sebelumnya aku kebagian membawa seperempat bagian kepala sapi.
Istriku tersenyum bahagia mendapatkan bonus panitia ini. Dengan cekatan ia mengolahnya menjadi gulai dan membaginya dengan tetangga terdekat. Setiap Hari Raya Idul Adha kami selalu terkenang akan hal ini. Â Â Â
***
Hari Raya tinggal seminggu lagi. Daftar nama pequrban yang disebar panitia lewat grup WA bertambah panjang. Nama-nama yang mengundang decak kagum siapa saja yang membacanya. Kekaguman akan tingkat ketaqwaan, juga keluasan rezeki yang mereka miliki.
Namun hanya keinginan besar yang aku dan istri miliki. Agar satu saat nama kami juga terpampang di layar HP, sebagai umat yang memiliki keleluasaan harta sehingga dapat menjalankan perintah menyembelih hewan qurban. Perintah yang bermula dari kisah Nabi Ibrahim dan putranya Ismail.
Keinginan itu senantiasa kami rawat. Aku tak putus-putus memanjatkan doa, agar diberi kesempatan untuk berqurban, memiliki keleluasaan harta. Begitu pula dengan istriku. Ia dengan caranya sendiri menyisihkan sisa uang belanja, menabungnya dalam kotak sedeqah di mesjid. Setiap memasukan lembaran uang ia menggumamkan niat agar kiranya dapat kesempatan untuk menjalankan ibadah qurban.
Istriku senantiasa mengingat sabda nabi yang mengatakan bila ada di antara umatnya yang memiliki keleluasaan rezeki namun tidak berqurban maka umat tersebut tidak diperkenankan untuk mendekati tempat shalatnya, yaitu mesjid. Alangkah merugi bila kita rermasuk dalam golongan yang demikian.
"Salam, apa kabar Bu, Pah?"
"Baik, Nak. Kamu sendiri bagaimana?"
"Aa juga baik. Dan Teteh titip salam kangen"
"Istrimu sehat?"
"Baik, malah berat badannya naik dua kilo"
Panggilan telepon sore itu datang dari Ahmad, putra sulung kami. Ia baru saja diterima bekerja di Jakarta. Ia memboyong istrinya, Teteh, ke sana. Mereka tinggal di rumah keluarga Teteh.
Telepon sore itu membuat penantian kami menemui titik terang. Menjawab doa-doa yang kami panjatkan. Keinginan kuat kami untuk mempersembahkan hewan qurban sebagai pengamalan ajaran agama. Ahmad berencana mengikutkan kami sebagai pequrban.
Tak terkira kebahagiaan yang kami rasa. Ibadah qurban yang tak kami laksanakan bertahun-tahun, kini akan kembali kami jalani.
"Jadi memakai nama hamba Allah dalam daftar nama pequrban, Bu?"
"Nama ibu dong Pah, biar orang tak bertanya-tanya".
"Lho, katanya Tuhan pasti tahu. Tak mungkin ketuker."
Terima kasih, Tuhan atas kesempatan yang Kau beri. Atas kemurahanmu, kami dapat melaksanakan kewajiban agama. Meneladani Nabiyullah Ibrahim dan Ismail, lewat jalan yang tak kami duga.Tak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H