"Salam, apa kabar Bu, Pah?"
"Baik, Nak. Kamu sendiri bagaimana?"
"Aa juga baik. Dan Teteh titip salam kangen"
"Istrimu sehat?"
"Baik, malah berat badannya naik dua kilo"
Panggilan telepon sore itu datang dari Ahmad, putra sulung kami. Ia baru saja diterima bekerja di Jakarta. Ia memboyong istrinya, Teteh, ke sana. Mereka tinggal di rumah keluarga Teteh.
Telepon sore itu membuat penantian kami menemui titik terang. Menjawab doa-doa yang kami panjatkan. Keinginan kuat kami untuk mempersembahkan hewan qurban sebagai pengamalan ajaran agama. Ahmad berencana mengikutkan kami sebagai pequrban.
Tak terkira kebahagiaan yang kami rasa. Ibadah qurban yang tak kami laksanakan bertahun-tahun, kini akan kembali kami jalani.
"Jadi memakai nama hamba Allah dalam daftar nama pequrban, Bu?"
"Nama ibu dong Pah, biar orang tak bertanya-tanya".
"Lho, katanya Tuhan pasti tahu. Tak mungkin ketuker."