"Sudahlah bu, gak usah dipikirin. Orang lain yang berqurban, kok kita yang mumet", aku menandaskan.
Aku memahami perkataan istriku. Sepertinya ia jengah dengan kebiasaan panitia yang kerap memposting data pequrban. Padahal anggota grup warga tidak semua menjadi mudhohi atau orang yang melaksanakan ibadah Qurban.
Warga di kampungku banyak yang makmur sehingga banyak yang daftar untuk berqurban. Ia sepertinya malu saat melihat daftar nama di grup warga itu. Yang ia saksikan nama-nama tetangga kami, baik yang dekat maupun yang jauh. Sedangkan namaku belum pernah tertulis di sana.
**
"Diajak Pak RT lagi Pah?"
"Iya, minta dibantu mendata warga untuk qurban"
"Oh, syukurlah"
Senyum bahagia istriku mendorongku untuk menyambut ajakan Pak Darma, ketua RT kami. Selepas shalat subuh tadi ia meminta bantuan tenaga. Kesibukan beliau sebagai pengrajin usaha Tahu menyita banyak waktunya. Di pagi buta ia sudah meninggalkan rumahnya dan baru kembali selepas jam sembilan malam. Namun ia masih menyempatkan mengurusi warga dengan suka rela.
Membantu beliau bukan hal yang pertama kulakukan. Sejak tiga tahun terakhir aku selalu menyertainya di tempat pemotongan hewan qurban. Tugasku membantu memotong-motong daging dan tulang. Usai itu mengemasnya dalam kantong plastik putih.
Lantas membagikannya ke setiap warga. Rumah mereka kami datangi berbekal secarik kertas data warga. Tak jarang terjadi perang urat saraf dengan warga yang tak puas dengan jumlah bungkusan qurban yang kami bagi. Seperti yang terjadi dengan warga yang bernama Bu Narti.
"Pak seharusnya saya dapat tiga bungkus dengan anak-anak saya."