Adapun tentang pertemuan itu, berlangsung dengan singkat dan tak sesuai rencana. Kedatangan orang tua murid itu dengan menjinjing buah tangan menciptakan perasaan sungkan bagiku. Aku tidak leluasa membahas keberlangsungan sekolah Qira. Dengan tersirat aku merestui kebiasaannya meninggalkan sekolah demi memenuhi agenda kegiatan di sanggar tari.
**
"Qira tidak mau sekolah!"
"Malu sama teman-teman!"
"Mereka mengejek Qira penari bayaran"
Dedah menumpahkan kegelisahannya. Siang itu ia menghadap menemuiku. Di ruang bimbingan siswa ia bercerita panjang lebar tentang putrinya. Tentang Qira yang mogok sekolah.
"Sepeninggal bapaknya, Qira saya dorong untuk ikut sanggar tari. Saya melihat ia juga suka menari. Mungkin terbawa oleh teman-teman bermainnya yang ikut di sanggar lebih dulu. Saya memasukannya dengan harapan ia bisa sedikit-sedikit mendapat penghasilan dari nari itu".
"Langkah Bu Dedah tidak salah. Namun ingatkah ibu bila Qira masih kanak-kanak?"
"Iya saya tahu Pak Setyo, namun harus bagaimana lagi?"
"Pagi tadi ia ngambek. Ia tak ingin masuk sekolah lagi. Ia menangis sesenggukan."
"Dengan melihat kelakuan Qira begitu, saya memberanikan diri menghadap Bapak. Saya bermaksud membawa Qira kembali ke rumah. Biar ia belajar di rumah saja."