"Mohon izin, Qira tidak masuk hari ini". Pesan itu kuterima dari Dedah orang tua murid di kelasku. Pesan yang sudah biasa, klise. Dalam sebulan, dua atau tiga kali ia mengirim pesan seperti itu. Memohon izin agar aku memberi keleluasaan bagi putrinya untuk bolos sekolah.
Sudah pasti ketidak hadiran anak kelas dua SD itu untuk mengikuti kegiatan di sanggarnya yang bernama Kawentar. Satu tempat yang mendidik dan melatih anak-anak menari Jaipong. Satu jenis tarian yang begitu digemari masyararakat luas, terlebih yang bersuku bangsa Sunda.
Qira begitu diandalkan oleh sanggarnya untuk mengikuti setiap kontes. Seni tari tradisional Jawa Barat itu sedang meggeliat akhir-akhir ini. Keran kebebasan berkumpul dan berkerumun yang telah dibuka pemerintah seiring meredanya pandemi Covid-19, membawa dampak positif pada dunia seni. Kontes-kontes dan pertunjukkan kesenian mulai digelar masyarakat di berbagai kalangan.
Belum lama berlalu Dedah dengan setengah memaksa memohon izin bagi putrinya. Ia mengatakan akan mengikuti Pasanggiri Jaipong tingkat Propinsi Jawa Barat. Ia berkeras mendorong putrinya untuk ikut serta dalam perhelatan berhadiah jutaan rupiah itu. Padahal saat itu sedang berlangsung pekan ujian akhir semester di sekolah kami.
Pernah terjadi, anak didikku itu mesti beristirahat selama seminggu di rumahnya. Ia terkena demam dan batuk serta kelelahan yang berat. Sakit itu ia derita sepulang mengikuti kontes menari di berbagai kota yang dihelat oleh Sanggar Tari Kawentar.
Mengenai tingkat ketidak-hadiran putrinya di sekolah yang cukup tinggi, aku memanggil Dedah ke sekolah. Ia pun menghadap dengan menjinjing buah tangan. Ia menyerahkannya kepadaku sebagai wali kelas putrinya.
"Ini sedikit oleh-oleh dari Ciamis. Qira dan sanggarnya baru saja mentas di kantor bupati"
"Tidak usah repot-repot, Bu Dedah"
"Tidak repot, cuma Rengginang dan kue Seroja kok"
Aku menerima buah tangan itu. Kuletakkan di meja panjang di ruang guru agar dinikmati bersama. Dan tak begitu lama kedua "makanan kampung" itu habis tak bersisa.
Adapun tentang pertemuan itu, berlangsung dengan singkat dan tak sesuai rencana. Kedatangan orang tua murid itu dengan menjinjing buah tangan menciptakan perasaan sungkan bagiku. Aku tidak leluasa membahas keberlangsungan sekolah Qira. Dengan tersirat aku merestui kebiasaannya meninggalkan sekolah demi memenuhi agenda kegiatan di sanggar tari.
**
"Qira tidak mau sekolah!"
"Malu sama teman-teman!"
"Mereka mengejek Qira penari bayaran"
Dedah menumpahkan kegelisahannya. Siang itu ia menghadap menemuiku. Di ruang bimbingan siswa ia bercerita panjang lebar tentang putrinya. Tentang Qira yang mogok sekolah.
"Sepeninggal bapaknya, Qira saya dorong untuk ikut sanggar tari. Saya melihat ia juga suka menari. Mungkin terbawa oleh teman-teman bermainnya yang ikut di sanggar lebih dulu. Saya memasukannya dengan harapan ia bisa sedikit-sedikit mendapat penghasilan dari nari itu".
"Langkah Bu Dedah tidak salah. Namun ingatkah ibu bila Qira masih kanak-kanak?"
"Iya saya tahu Pak Setyo, namun harus bagaimana lagi?"
"Pagi tadi ia ngambek. Ia tak ingin masuk sekolah lagi. Ia menangis sesenggukan."
"Dengan melihat kelakuan Qira begitu, saya memberanikan diri menghadap Bapak. Saya bermaksud membawa Qira kembali ke rumah. Biar ia belajar di rumah saja."
"Bu Dedah sudah memikirkannya masak-masak?"
"Sudah, pak. Semalaman saya tidak tidur. Saya memikirkan langkah terbaik bagi Qira."
"Baik, kalau keinginan ibu demikian"
**
Malam Minggu itu kami berkumpul di lapangan sebuah tempat berkemah. Aku menyertai para warga belajar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang kuasuh mengadakan acara perkemahan pramuka. Saat itu berlangsung pelantikan anggota pramuka yang baru. Dilangsungkan acara penyematan kacu pramuka bagi para murid yang disapa warga belajar itu.
Duduk melingkar mengelilingi nyala api unggun, kami menyaksikan acara pentas seni. Pada kesempatan pertama, melangkah ke tengah arena Atisha. Ia warga belajar yang mengikuti program kesetaraan Paket C, pendidikan setingkat SMA. Ia mempersembahkan gerak dan lagu "Rungkad" yang sedang viral akhir-akhir ini. Ia membawakan lagu yang dipopulerkan oleh penyanyi Happy Asmara tersebut.
Suasana malam demikian cerah. Rembulan memancarkan sinarnya yang terang, bulat dan penuh. Semua warga belajar dan para tutor larut dalam suasana gembira. Di tengah tepukan dan sorak sorai yang membahana, pengatur acara memanggil satu nama, Dewi, untuk tampil ke tengah arena.
Music tradisional Sunda menggema, mengantar langkah Dewi. Lagu bertajuk Daun Pulus Keser Bojong pun mengalun serentak dengan gerak dan langkah Dewi. Di tengah tepuk dan tatapan hadirin, Dewi meliuk-liukan tubuhnya mengikuti irama lagu. Dengan lincah ia menari. Meramu gerakan olah raga pencak silat yang heroik dengan gemulai gerak tari. Itulah asal mula Tarian Jaipong yang dibawakannya. Ia tampil dengan memukau.
Melihat Dewi menari, ingatanku berkelebat kepada muridku Qira. Siswi yang baru saja putus sekolah itu sepertinya akan mengikuti jejak Dewi. Ia akan menggeluti seni tradisi dengan sepenuh jiwa. Dan aku bernapas lega, jalur seni yang ditawarkan Dedah terhadap putrinya, semoga menemui titik terang.
Masa depan akan terbuka lebar bagi siapa pun. Pendidikan formal lewat jalur sekolah bukan satu-satunya jalan meraih masa depan yang cerah gemilang. Jalur seni pun akan mengantarkan siapa saja pada hal yang sama; peri kehidupan yang baik. Asal dijalani dengan tekun. Pepatah latin mengatakan Fortis fortuna adiuvat, masa depan akan berpihak pada orang-orang yang tekun.
Aku melihat titik terang pada diri Qira. Aku yakin ia tak akan menjalani masa-masa yang sulit karena putus sekolah. Aku melihat ia mencintai seni tari dan perlahan akan menyikapi cibiran sebutan penari bayaran seperti yang dilontarkan teman-temannya itu dengan lebih dewasa, seiring berjalannya waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H