Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bising yang Berlarut

8 Desember 2021   13:54 Diperbarui: 8 Desember 2021   14:04 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
photo ilustrasi diunduh dari Pixabay.com

Lingkungan nyaman tentu jadi dambaan setiap insan. Suasana seputar tempat tinggal yang asri, menghijau dan jauh dari hiruk pikuk kesibukan. Tetangga-tetangga yang satu hati, satu rasa, membina kehidupan bersama.

Terkadang antara harapan dan kenyataan tidak sejalan. Keinginan untuk mendapatkan lingkungan yang ideal kerap terusik oleh hal-hal yang diluar dugaan. Bila kenyamanan hidup bertetangga dalam keadaan demikian, tak jarang ritme kehidupan sosial itu terusik. Kedamaian yang tercipta untuk sementara pergi menjauh.

Belum lama ini damainya gang di sebuah komplek terusik. Pasalnya, sekelompok anak muda datang menjadi penghuni baru. Mereka mendiami satu rumah dengan cara mengontrak. Keluarga pemilik rumah hijrah ke tempat orang tuanya, menyusul kemelut rumah tangga mereka.

Semula, pendatang baru ini tak banyak mengundang perhatian. Mereka terdiri dari sepasang suami istri paruh baya yang super sibuk. Keduanya datang saat mentari tenggelam dan pergi saat sang surya masih di peraduannya. Mereka jarang terlihat, tak pernah bersoaialisasi dengan tetangga.

Tetangga baru yang sedikit misterius ini tak lama mendiami rumah mereka. Dalam hitungan bulan, mereka tak terlihat lagi menempati rumahnya. Datang tak tampak muka, pulang tak tampak punggung. Tetangga ini tidak lagi menjadi penghuni rumah di gang yang kami tempati.

Sebagai gantinya, rumah kontrakan itu ditempati anak-anak muda. Jumlah mereka tiga atau empat orang. Tak kalah misterius dari pendahulunya, tetangga muda ini pun luput kami kenali. Mereka datang begitu saja, tanpa memperkenalkan diri.

00

Lantunan lagu "medley" menemaniku saat mencuci sepeda sore itu. Lagu mars perjuangan Hari Merdeka berkumandang saat kubasuh roda depan dengan kuas dan cairan sampo.  Tak lama kemudian, berganti lagu Nona milik Iwan Fals. Berikutnya giliran lagu lawas Koes Plus,  Andaikan Kau Datang Kembali, yang dinyanyikan ulang oleh Ruth Sahanaya.

Belum kelar kereta angin kubasuh, telinga mendengar instrumentalia gitar yang dimainkan sang penyanyi. Bunyi senar yang dipetik berdenging di telinga, memunculkan rasa "ngilu". Ingin rasanya menyudahi pertunjukan musik tunggal itu. Namun aku tak tega  meminta sang penyanyi untuk berhenti. Bagaimanapun mereka adalah tetangga dekat yang belum lama pindah ke rumah sebelah.

Kegemaran bersenandung tetangga baru ini tengah jadi buah bibir. Penghuni gang telah merasa muak  mendengar nyanyian mereka. Tidak siang tidak malam mereka selalu memetik gitar dan melantunkan lagu-lagu. Sepertinya hidup mereka hanya untuk bernyanyi.

00

Suatu pagi  Adman, seorang tetangga, melintas di depan rumahku. Pandangannya diarahkan ke rumah sang biduan. Sama seperti yang lain, ia terjangkit virus kebosanan kolektif pada mereka. Sambil melintas, Adman bertanya,

" Apa mereka belum berhenti?"

"Belum, malah semakin menjadi- jadi!"

Adman pun berlalu dengan tangan mengepal, seperti hendak melempar rumah itu dengan batu.

Akan halnya tetangga baru itu, mereka tak mengendurkan semangat. Kebiasaan anak-anak muda itu datang dengan bergerombol saat kebanyakan penghuni gang telah terlelap. Tiba di rumah berboncengan menumpang dua atau tiga sepeda motor. Raungan kenalpot silih berganti dengan suara percakapan yang memecah sunyinya malam.

Begitu masuk rumah, keramaian belum terhenti.  Mereka lantas memetik gitar dan bernyanyi. Gita malam terdengar, menerobos sela-sela pintu dan jendela. Menyatu dengan angin, mengusik penghuni gang yang tengah terlelap.

"Pasti mereka lagi !" gumam istriku. Nyanyian mereka membuatnya terjaga. Bagaimana pun, rumah kami yang terdekat dengan sumber suara. Dinding rumah kami menempel dengan rumah mereka.

"Ayo dong Pa, tegur mereka!"

"Belum saatnya Ma"

"Bila didiamkan, lama-lama mereka menginjak kepala!"

Perckapan kecil yang menjurus pada percekcokan tak sekali terjadi antara aku dan istriku. Ia tak hanya menyuarakan kejengkelan dirinya. Ia juga menampung aspirasi para tetangga yang kerap bertemu dengannya. Mereka mendesak aku untuk bertindak. Memberi pemahaman kepada mereka.

Aku sebetulnya memiliki kegeraman yang sama pada para biduan tak jadi itu. Bukan karena nyanyian yang mereka bawakan tak sesuai selera. Bukan pula karena suara mereka yang pas-pasan. Aku geram karena mereka tak memiliki kepekaan pada perasaan tetangga. Mereka seolah berada di tengah hutan. Mengumbar suara seenaknya tanpa memandang para tetangga yang lebih dulu tinggal di gang ini.

Untuk mendatangi mereka, aku berpikir dua kali. Aku tak yakin, kedatanganku membuat keadaan membaik. Aku tak ingin ribut, cekcok dengan para pemuda pendatang itu. Melihat gelagat mereka saat bertemu yang terkesan angkuh, mana mau mendengar wejangan yang nanti aku sampaikan.

Dan lagi, bernyanyi tidaklah jelek. Bernyanyi itu mengungkapkan perasaan gembira atau bersedih. Apa hak aku melarang mereka tertawa atau menangis? Aku tak ingin dianggap sebagai tetangga yang tak berbudi. Tetangga yang tidak menghargai kebebasan berekspresi. Salah-salah, aku sendiri yang dipermasalahkan karena mengganggu kebebasan orang lain.

00

Sedari pagi, pintu tetangga depan rumah tertutup rapat. Biasanya pintu itu selalu sibuk dilewati dua anak keluarga itu.  Namun hari ini, rumah itu seperti tak berpenghuni. Aku menanyakan hal ini pada istriku. Ia tersenyum kecil,  tak merasa heran sepertiku.

"Mana mau mereka keluar rumah", katanya.

"Di luar banyak buaya yang sedang bernyanyi!"

Mereka lagi, seperti yang kuduga. Keberadaannya sampai membuat orang mengisolasi diri. Bila mereka berdendang, seisi rumah seolah tak ingin beranjak. Hal ini terutama dialami oleh Aisya dan Nuri, dua gadis cantik namun pemalu tetanggaku itu. Langkah kaki mereka seperti terbelenggu oleh nyanyian mereka.

Alih-alih membuat para penyanyi merasa bersalah, tarikan suara mereka semakin keras. Seolah hendak memanggil keduanya lewat lirik-lirik lagu percintaan. Mereka menyuarakan kerinduan pada sang gadis lewat lagu Widuri, Nona, dan Pamer Bojo milik Didi Kempot. Lagu yang terakhir mungkin salah alamat. Ia lebih cocok untuk memikat ibunda si gadis.

00

Langkah itu pun akhirnya kutempuh. Tak tahan dengan desakan istri, tetangga, dan kejengkelan yang telah mengkristal, aku mendatangi rumah penyanyi amatiran itu. Seperti biasa, mereka tengah asyik mengolah vocal dan ngobrol sambil tertawa cekikikan. Kedatanganku tak mereka acuhkan.

"Permisi!"

"Oh, maaf Pak kami tak menerima peminta sumbangan!"

Seketika pintu rumah mereka tutup. Mereka pun larut dalam kebisingan seperti biasa. Dan aku melangkah keluar tanpa membawa hasil apa pun. Sementara itu, lagu "Kemesraan" terdengar dari balik pintu. Keadaan belum berubah. Kebisingan ini, masih akan berlanjut.

 

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun