Mohon tunggu...
ivan sampe buntu
ivan sampe buntu Mohon Tunggu... Dosen - Aku Mencintai Maka Aku Ada

Hidup itu hanya sebuah petualangan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hannah Arendt: Banalitas Kejahatan

30 April 2020   16:20 Diperbarui: 30 April 2020   16:19 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejahatan genosida bukan persoalan sederhana. Distingsi yang dibuat Arendt ini juga memperlihatkan posisinya sebagai seorang filsuf eksistensialis, sekalipun Arendt sendiri tidak pernah mau disebut sebagai filsuf. Kejahatan genosida dalam konsep Arendt memperlihatkan sebuah eksitensi manusia yang telah dihilangkan tanpa bekas. Arendt menganggap hal itu sebagai kejahatan kemanusiaan, karena totalitas eksistensi manusa benar-benar hilang. Untuk memudahkan memahaminya maka dia membandingkannya dengan konsep pelanggaran terhadap sesama.

Sekalipun mereka diusir, atau dibunuh sekalipun, tetapi eksistensi mereka tetap dapat dihadirkan, karena sejarah mereka masih ada jejaknya. Berbeda dengan menghabisi suatu ras tertentu seperti yang akan dilakukan oleh Nazi. Di mana mereka tidak hanya membunuh, tetapi merencanakan untuk menghabisi ras Yahudi. Sehingga ketika itu bisa terjadi, maka jejak-jejak sejarah pun akan sulit untuk menunjukkan eksistensinya bahwa bangsa itu pernah ada.

Inilah yang sesungguhnya mau disampaikan oleh Arendt dalam buku banality of evil, yang sering kali dipahami sebagai sebuah pembelaan terhadap Eichman. Arendt hanya mau menampilkan sebuah pemikiran baru akan problem kemanusiaan. Sekalipun Arendt kelihatan bersimpati pada Eichman, tetapi itu hanya merupakan dampak dari cara berpikir dia bagaimana mengurai banalitas kejahatan yang akhirnya sampai pada sebuah distingsi akan kejahatan kemanusiaan.

Arendt tidak berhenti bicara pada banalitas kejahatan, tetapi masuk dalam sebuah kedalam berpikir. Sebab jika kita berhenti pada konsep banalitas kejahatan, maka akan tampak Arendt yang seperti sedang membelah Eichman.Tetapi banalitas kejahatan itu menunjuk pada kejahatan kemanusiaan. Kejahatan kemanusiaan yang dipahami dalam konsep genosida.

Refleksi dari Pengadilan Eichman 

Oleh karena politik tidak seperti penitipan anak; dalam politik, ketaatan dan dukungan adalah sama. sama seperti anda mendukung dan melaksanakan kebijakan 'tidak ingin berbagi bumi dengan orang Yahudi dan orang-orang dari sejumlah bangsa lain- seolah-olah anda dan atasan anda mempunyai hak untuk menentukan siapa yang harus dan yang tidak seharusnya mendiami dunia-kami menemukan bahwa tidak seorangpun, yaitu tidak ada anggota dari ras manusia, yang dapat diharapkan ingin berbagi bumi dengan anda. Hal ini adalah alasan, dan satu --satunya alasan, bahwa anda harus digantung."[19]

Dari kesimpulan yang diberikan di atas menunjukkan bahwa satu-satunya alasan Eichman dibawah ketiang gantungan adalah alasan tidak memberi ruang kehidupan bagi yang lain. Artinya manusia bisa dipersepsikan sekadar sebagai benda yang bisa diperlakukan sekehendak hati kita. Karena itulah ketika mendapatkan perintah dari atasan, maka Eichman akan merasa bersalah ketika tidak menjalankan perintah tersebut. Perasaaan itu muncul karena ketaatan pada Negara, dan melihat manusia yang lain sebagai objek yang dapat diperlakukan sekehendak hatinya. "ketaatanku adalah kehormatanku."

Hal lain bisa kita lihat dari banalitas kejahatan, adalah setiap orang dapat bertindak jahat. Bahkan orang-orang biasapun dapat bertindak kejam, bukan hanya mereka yang memang kejam. Karena tindakan jahat dapat terjadi akibat dari hidup yang tertunduk pada yang lain. Eichman menundukkan diri di bawah rezim pemerintahan nazi, karena itu dia tunduk pada kuasa dan perintah.

Demikian halnya setiap orang dapat bertindak sama seperti Eichman yang tidak lagi menggunakan rasionya untuk melakukan penolakan terhadap apa yang akan dia kerjakan. Kejahatan dapat dilakukan oleh orang biasa yang tidak mempunyai imajinasi akan penderitaan orang lain. Mereka yang tidak mempunyai imajinasi ini tidak bisa membayangkan sama sekali penderitaan yang dialami oleh orang-orang yang dibunuhnya.

Pertanyaan menarik adalah, apakah banalitas kejahatan terjadi semata karena mengikuti perintah?Nampaknya tidak sesederhan itu, karena banalitas kejahatan sesungguhnya dihadirkan oleh ketidak mampuan seorang manusia untuk merefleksikan sebuah perintah. Atau dengan kata yang lain, banalitas kejahatan hadir akibat manusia tidak lagi bisa berdialog dengan dirinya.

Kegagalan manusia berdialog dengan dirinya akan membuat nuraninya menjadi tumpul, sehingga dia seperti badut yang hanya bisa bertindak atas dasar perintah. Karena itulah manusia harus masuk dalam kesunyian untuk berdialog dengan dirinya. Tanpa dialog dengan diri sendiri, maka nurani tidak akan pernah bekerja, tetapi mereka yang melatih dirinya dalam kesunyian akan merasakan sebuah dialog bersama dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun