Jumlah bukan segalanya, namun jumlah bisa juga menjadi parameter pengambilan keputusan strategis. Jumlah bagi filsuf seperti Plato bukanlah pemenang, tanpa disertai variabel lainnya, maka jumlah yang banyak menjadi pemenang, namun merugikan jumlah yang lebih sedikit.Â
Kata-kata Plato memang brilian. Katanya bahwa  keputusan yang baik diambil berdasarkan pengetahuan, bukan semata jumlah. Jumlah yang banyak namun tidak berkualitas, akan berdampak pada pengambilan keputusan yang "sesat".
Jumlah adalah relatif, namun saat ini jumlah tidak dapat menentukan apakah sebuah organisasi memiliki kapasitas untuk membuat keputusan yang baik, meskipun merepresentasikan jumlah. Jika dimaknakan secara sempit dan rigid, Â perubahan G7 menjadi G20 membuktikan bahwa jumlah itu penting.
Namun jika diartikan secara lebih mendalam, apalagi dalam konteks G20, representasi itu tidak menentukan apakah Indonesia dapat mengambil peran "lebih" dalam kolaborasi dan sinergi yang menguntungkan bagi Indonesia sendiri atau sebaliknya.
Meskipun PBB mengakui 241 negara di dunia yang memiliki wilayah dan 195 negara memiliki pusat pemerintahan sendiri, namun hanya 19 negara dengan skala ekonomi terbesar di dunia dan Uni Eropa,yang terdiri dari negara maju dan negara berkembang yang memiliki tingkat pendapatan menengah dan tinggi yang dinilai layak masuk G20.
Good enough is not enough merepresentasikan bahwa Indonesia dinilai layak memegang presidensi G20 tahun 2022, namun apakah itu cukup merepesentasikan kesiapan Indonesia?
G20 awalnya dibentuk untuk menjawab krisis moneter pada tahun 1998 dengan menggabungkan negara berkembang dan negara maju. Khususnya agar terdapat pandangan merata sehingga solusi yang dikeluarkan tidak hanya menguntungkan negara- negara maju.
Pertanyaan kuncinya adalah, apakah selama 24 tahun terakhir, bagaimana eksistensi Indonesia, terkhusus dampaknya dalam kebijakan-kebijakan nasional? Resolusi masalah G20 dipandang sebagai deklarasi niat politik tetapi tidak mengikat secara hukum.
Kelompok Dua Puluh, pertemuan informal dari banyak ekonomi terbesar dunia, adalah forum global utama untuk membahas masalah ekonomi. Tetapi telah menghadapi perpecahan atas perdagangan dan respons terhadap perubahan iklim.
Sebelumnya terdapat G7, kelompok yang lebih kecil dari negara-negara demokrasi maju, telah menyusut, karena pasar negara berkembang mengambil bagian yang relatif lebih besar dari ekonomi dunia.negara-negara.
Secara massif, G20 menyumbang sekitar 80 persen dari output ekonomi global, hampir 75 persen dari ekspor global, dan sekitar 60 persen dari populasi dunia, dan angka-angka ini tetap relatif stabil.
Distorsi perdagangan dunia yang selama ini menjadi problematika, terutama terkait dengan transparansi mekanisme dari subsidi yang dilakukan oleh banyak negara, telah memberikan hambatan nyata bagi arus perdagangan komoditas dari negara-negara berkembang. Apalagi dengan masa pandemi yang sudah berlangsung selama dua tahun belakangan.
Tak ayal, pandemi Covid-19 tetap menjadi prioritas utama bagi G20. Sistem kerja sama multilateral internasional telah jauh gagal memberikan tanggapan kolektif yang memadai terhadap pandemi. Upaya untuk memastikan koordinasi internasional yang sangat dibutuhkan telah telah dibatasi.
Selain itu, wabah mengancam untuk berubah menjadi penyakit endemik. Krisis ini juga memperburuk persaingan geopolitik, terutama antara Amerika Serikat dan China, yang hubungan bilateralnya sangat penting bagi stabilitas global.
Menyelesaikan Persoalan di Hulu
Era pekerjaan yang banyak bergeser dari offline ke online telah membuat puluhan juta pekerjaan hilang. Sebagaimana laporan bertajuk 'Automation and the future of work in Indonesia' yang dirilis September 2019 menyebutkan  akan ada 23 juta pekerjaan di Indonesia yang tergantikan robot pada 2030. Meski begitu, ada 27-46 juta pekerjaan baru yang tercipta yang mana 10 juta di antaranya pekerjaan yang belum pernah ada sebelumnya (McKinsey & Company, 2019) dan diprediksi dari e-commerce akan melahirkan 26 juta pekerjaan baru.
Dunia pendidikan bermain peran dalam membangun intuisi siswa yang bukan hanya menyinggung kognisi tetapi juga afeksi, terkhusus siswa menengah yang akan berhadapan dengan tiga pilihan setelah lulus nanti, yakni  melanjutkan kuliah, bekerja, atau berwirausaha.
Problemnya bahwa banyak pelajaran yang kontraproduktif. Kondisi pertumbuhan ekonomi yang lambat atau stagnasi ekonomi. Â menunjukkan bahwa inisiatif dan inovasi jarang membuahkan hasil; pribadi dan keluarga koneksi lebih penting untuk kemajuan daripada keterampilan atau prestasi individu; investasi pendidikan dan peningkatan kapasitas memiliki hasil yang rendah; kerja keras, upaya individu, dan pengambilan risiko hanya sedikit yang ditawarkan imbalan; masyarakat yang lebih luas tidak mampu menghasilkan kondisi yang memungkinkan semua orang yang mau bekerja untuk melakukannya; dan bahwa perilaku konservatif (atau mengatasi) memberikan lebih banyak keamanan daripada mencari pendekatan baru untuk masalah mendesak (McPherson, 2005). Contoh riilnya adalah nilai PISA siswa Indonesia tahun 2018 tidak jauh berbeda dengan nilai PISA tahun 2000. Artinya, sebenarnya pendidikan selama ini berjalan di tempat, stagnan. Sudah dapat diperhitungkan bahwa nilai PISA yang terdiri dari membaca, berhitung, dan sains merepresentasikan kondisi pendidikan yang minus akan analisis dan berpikir kritis.
Menjadi jelas, bahwa nilai PISA siswa Indonesia termasuk yang paling melorot dibanding siswa di Negara OECD dan G20 lainnya. Â Meskipun peneliti dunia mengakui bahwa hasil PISA menunjukkan keraguan dalam metodologi tesnya, namun ada baiknya juga jika masyarakat Indonesia turut tidak hanya berfokus pada angka-angka tersebut dalam mendefinisikan kualitas pendidikan negaranya. Entah berkait atau tidak, bahwa nilai PISA berkorelasi pula dengan kualitas pembangunan manusia Indonesia saat ini. Dalam laporan UNDP (2021) diketahui bahwa secara kuantitatif data BPS (2021) menunjukkan bahwa IPM mengalami kenaikan yang signifikan dari tahun ke tahun, namun peningkatan tersebut belum cukup mencerminkan bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia sudah tinggi. Pasalnya, merujuk dari data United Nations Development Programme (UNDP) memberikan skor 0,707 untuk Indonesia. Dengan skor ini Indonesia berada di peringkat 6 di Asia Tenggara. Itu artinya, di Asia Tenggara IPM Indonesia masuk dalam kategori relatif rendah.
Â
Dalam prosesnya, pekerja mengembangkan sikap (dedikasi, komitmen kerja keras, ketekunan) dan berperilaku dengan cara (menabung, berinvestasi, mengambil risiko) yang merangsang pertumbuhan ekonomi lebih lanjut. Itu dapat dilakukan jika secara kultural fondasi sikap tersebut telah terbangun.
Jumlah penduduk Indonesia sebesar 274.2 Tahun 2020 (BPS, 2021). Data menunjukkan bahwa pengguna mobile phone yang aktif sebanyak 345,3 juta dan 202,6 juta aktif menggunakan internet dan aktif bersosial media sebesar 170 juta (We are social, 2021). Jumlah pengguna aktif tersebut belum secara lnier berkontribusi secara produktif trhadap ekonomi Indonesia. Meskipun faktarnya, berdasarkan data McKinsey Global Institute (2012), Indonesia masih membutuhkan sekitar 58 juta tenaga kerja terampil untuk menjadikan ekonomi Indonesia peringkat ke-7 pada 2030 mendatang. Kondisi sebaliknya, terjadi 23 persen penurunan penduduk usia kerja di Eropa pada 2010 sampai 2050 akibat ageing society. Adapun menurut World Economic Forum (WEF) mendata 17 pekerjaan baru di era digital (WEF, The Future of Jobs Report, 2018).
Pekerjaan baru tersebut di era digitalisasi telah membuka lapangan kerja baru di berbagai sektor, terutama di sektor informal, misalnya e-commerce, transportasi berbasis online, dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berbasis kemitraan. Untuk membuka pintu ke profesi yang lekat dengan atmosfer digital, maka diperlukan 10 kompetensi kunci yang harus dimiliki lulusan yang berkaitan erat dengan bagaimana soal-soal PISA yang mengandung HOTS (Higher Order Thinking Skills), yakni:
1.Pemikiran analitis dan inovasi
2.Pembelajaran aktif dan strategi pembelajaran
3.Pemecahan masalah yang kompleks
4.Berpikir kritis dan analisis
5.Kreativitas, orisinalitas, dan inisiatif
6.Kepemimpinan dan pengaruh sosial
7.Penggunaan, pemantauan, dan kontrol teknologi
8.Desain dan pemrograman teknologi
9.Ketahanan, toleransi stres, dan fleksibilitas
10.Penalaran, pemecahan masalah dan ide
Dengan presidensi G20 yang dipegang Indonesia di tahun 2022, jangan sampai Indonesia terjebak dengan kehadiran para delegasi yang berpotensi memberi manfaat bagi perekonomian Indonesia, baik secara langsung, terhadap sektor jasa; perhotelan, transportasi, UMKM, dan sektor terkait lainnya, maupun secara tidak langsung melalui dampak terhadap persepsi investor dan pelaku ekonomi. Perlu juga dipikirkan permasalahan human capital yang berada di hulu,yang masih perlu pembenahan agar Indonesia ke depan dapat memanfaatkan momentum yang baik dengan kesiapan human capital yang mumpuni. Â
Berapa jumlah usia produktif Indonesia? Memasuki perkembangan zaman ke era industry 4.0, yang didominasi milenial dan gen Z, generasi yang lahir pada rentang waktu tahun 1980-an hingga 2010, mereka identik sebagai penggila teknologi dan gawai. Â Dalam usia produktif, mereka ikut mengantarkan dunia kepada era industri 4.0 yang didorong oleh pemanfaatan teknologi disruptif, seperti Mobile Internet, IoT, teknologi awan dan lainnya (CFB Bots, 2018). Mereka juga dikenal sebagai native digital, multitask, dan senang bermain dengan monster digital/shopping online.
Dengan produktivitas tanpa batas, potensi milenial jangan dianggap remeh, dari hasil survei sensus penduduk sepanjang Februari-September 2020 (BPS, 2020) itu didapati jumlah generasi Z mencapai 75,49 juta jiwa atau setara dengan 27,94 persen dari total populasi berjumlah 270,2 juta jiwa. Sementara, generasi milenial mencapai 69,90 juta jiwa atau 25,87 persen.
Dengan potensi usia produktif sedemikian besar, pada akhirnya, bukankah keberadaan di G20 ini bagaimana menggunakan peran mreka sebagai agen untuk memperluas dan mengintegrasikan pasar domestik, dan menghubungkannya dengan lebih baik ke rantai nilai global, dapat mempromosikan dan mempertahankan pertumbuhan yang cepat, berkelanjutan, dan inklusif dengan mengurangi jarak ekonomi dan mengurangi hambatan perdagangan dan pertukaran. Tantangannya satu, Indonesia sepertinya tidak akan banyak berhasil dalam mempromosikan layanan bernilai tinggi sampai Indonesia meningkatkan kualitas sistem pendidikan dan kapasitas penduduknya untuk pembelajaran yang berasal dari generasi berpengetahuan. Sampai disini saya ingin mengungkap bahwa "jumlah" penduduk yang banyak tanpa kualitas seperti menumpuk cost social yang lebih banyak  karena tanpa pendidikan yang baik, maka kualitas masyarakatpun ikut terdampak menyangkut makin meningkatnya deviasi sosial dan ketidakseimbangan antara demand dan supply yang seharusnya diisi oleh lulusan, yang akhirnya akan diisi oleh mereka, yakni pencari kerja dari luar negeri.
Ada tiga hal yang dapat dicapai melalui pendidikan (kemdikbud, 2013), pertama, berkaitan dengan upaya mengejar ketertinggalan sebuah bangsa dalam hal meningkatkan daya saing bangsa, kedua, pendidikan sebagai elevator sosial yang dapat meningkatkan status sosial kelompok masyarakat menjadi lebih baik, ketiga,  pendidikan dapat menjadi vaksin dalam menangkal penyakit kemiskinan, ketidaktahuan, dan keterbelakangan. Kita dapat simpulkan bahwa  investasi pendidikan untuk menyiapkan anak muda menjadi semakin relevan, untuk menghadapi era disrupsi teknologi yang sudah dimulai sejak pandemi mewabah 2 tahun belakangan ini.
Sebagaimana yang dikatakan Deputi Gubernur BI Doni P. Joewono bahwa saat ini banyak universitas maupun sekolah yang berjuang untuk tetap melangsungkan kegiatan belajar mengajar di tengah keterbatasan tatap muka. Bank Indonesia memiliki salah satu upaya dengan memberi bantuan berupa beasiswa kepada mahasiswa yang berprestasiyang diharapkan dapat memicu semangat agar kegiatan belajar mengajar tetap lancar. Dengan upaya besar lainnya, sebagai wujud dari fokus utama bank sentral, yaitu program pengembangan kapasitas sumber daya manusia (SDM) unggul dengan beasiswa dan berbagai program peningkatan kapasitas SDM dalam era digital. Beberapa upaya ini berupaya mengantisipasi ketertinggalan Indonesia, dan juga menyambut Presidensi Indonesia dalam G20 menjadi lebih siap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H