Mohon tunggu...
Muhammad Ivan
Muhammad Ivan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS di Kemenko PMK

Sebagai abdi negara, menulis menjadi aktivitas yang membantu saya menajamkan analisa kebijakan publik. Saya bukan penulis, saya hanya berusaha menyebarkan perspektif saya tentang sesuatu hal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perilaku Cerdas di Tengah Covid-19: Belajar dari Pesan Non-Medis Ibnu Sina

30 Juni 2020   23:21 Diperbarui: 30 Juni 2020   23:34 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: ummid.com

Di tengah pandemi Covid-19, manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan paling emosional dalam hidupnya. Sebagai orang dewasa yang berada di kelas menengah, saya merasakan dampak menekan dari wabah Covid-19. Pasalnya, saya tidak mungkin tidak bekerja, untuk membayar beberapa tagihan seperti membayar listrik, internet, PAM, uang jajan anak-anak, belanja harian, dan lain sebagainya.

Bagi anak-anak, di rumah tiap hari bisa sangat membosankan, sekolah diliburkan, tempat rekreasi ditutup, dan pertama kali dalam sejarah, tidak ada silaturahmi dari pintu ke pintu pada lebaran Idul Fitri tahun 2020 ini.

Sementara kasus Covid-19, di dunia, per 21 Juni 2020, jumlah pasien terinfeksi corona di dunia terdapat 8.938.290 kasus. Dari 8,92 juta orang yang positif terinfeksi Covid-19, 467.107 pasien meninggal dunia dan 4.752.365 dinyatakan sembuh. Dalam kurun waktu tiga hari per 24 Juni 2020, bertambah 300.000 kasus menjadi total 9,3 juta kasus.

Di Indonesia, jumlah kasus virus corona menjadi yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN lain, yaitu dengan 49.009 kasus. Sementara, jumlah kasus kematian total pun menjadi sebanyak 2.573 kasus. Sedangkan jumlah pasien sembuh adalah sebanyak 19.658 orang (Worldometers, 2020).

Mengubah hal-hal fondasional

Sebelum pandemi, bidang kesehatan sangat disinggung dalam RPJMN 2020-2024. Namun tanpa perekonomian, dan suntikan bantuan sosial juga perlahan akan habis.

Pembangunan manusia menjadi fokus pemerintah dalam RPJMN 2020-2024. Upaya menggenjot potensi modal manusia (human capital) terasa absurd, apabila kondisi kesehatan penduduk Indonesia justru kontras dengan prestasi yang dihasilkan pemerintah.

Masa pandemi ini adalah masa yang paling krusial dan sangat menentukan kepemimpinan presiden secara politik. Padahal secara ekonomi, kesehatan manusia baik sebagai warga negara maupun pekerja adalah hal penting untuk persaingan di tingkat global.

Dalam dua dekade terakhir telah terjadi transisi epidemiologis yang signifikan, yakni penyakit tidak menular telah menjadi beban utama, sementara beban penyakit menular masih berat juga. Inilah yang menjadi temuan background study RPJMN 2020-2024 di lingkungan strategis bidang kesehatan.

Di tingkat global, satu dekade yang lalu, PBB menetapkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dengan 17 tujuan tingkat tinggi yang didukung oleh 169 target spesifik yang akan menciptakan dunia yang lebih baik untuk semua. Karena pandemi ini, kemajuan melawan SDGs terhenti.

Tidak seorang pakarpun yang mampu memprediksikan kapan pandemi ini berakhir, namun bersikap dan berperilaku cerdas di tengah pandemi ini menuntut tantangan tersendiri. Bahwa persoalannya, pandemi ini datang tidak diundang, bahkan pemerintah melalui RPJMN 2020-2024 pun harus mengubah hal-hal yang fondasional, karena pandemi ini telah mengubah cara kita belajar, bekerja, dan berkomunikasi. 

Berdasarkan survei Indikator, pada tingkat rumah tangga, mayoritas masyarakat merasakan dampak ekonomi secara langsung. Terdapat temuan bahwa sebanyak 86 persen responden mengatakan pendapatan kotor rumah tangganya menurun selama Mei 2020. Angka ini meningkat dua kali lapat jika dibandingkan Maret 2020 yang hanya 41 persen. 

Secara nasional, Bappenas memprediksi tingkat pengangguran terbuka hingga 2021 akan meningkat dan dapat menyentuh 12,7 juta orang. Penambahan jumlah pengangguran ini dikhawatirkan akan mendorong naiknya tingkat kemiskinan. menurut Bappenas bahwa tanpa intervensi, tingkat kemiskinan diperkirakan akan mencapai 10,63 persen, naik dari 24 juta menjadi 28 juta orang.

Dalam konteks kriminologi dikenal dengan fear of crime (ketakutan akan menjadi korban kejahatan), bahkan lebih takut sebelum kejahatan itu benar-benar terjadi. Ketakutan seperti ini menyebabkan hidup yang tidak sehat secara psikologis.

Begitupula dengan kehadiran pandemi ini menjadikan banyak dari kita belum siap secara mental, misalkan mendengar orang bersin atau batuk, orang akan berpikir "wah jangan-jangan kena corona."  Bahkan ada satu keluarga yang dikucilkan karena semua warga takut tertular di beberapa daerah.

Berdasarkan analisa data kejahatan Minggu ke-20 dan Minggu ke-21 tahun 2020 (merdeka.com, 3 Juni 2020), dapat disimpulkan bahwa jumlah kriminalitas pada Minggu ke-21 turun 1.010 kasus atau sebesar 27,03 persen.

Kejahatan jalanan seperti curat, curas dan curanmor mengalami penurunan yang signifikan pada Minggu ke-21, diikuti dengan penurunan jumlah kejahatan terhadap penyalahgunaan narkoba, pelecehan seksual dan kasus penggelapan.

Pada titik ini, awalnya saya yakin sekali, ketiadaan daya beli dapat memicu kriminalitas. Namun dugaan saya keliru, karena pandemi bukan hanya ditakuti masyarakat, namun juga pelaku kejahatan.

Krisis akibat pandemi dan terjadi dalam perekonomian global menggambarkan bahwa stabilitas harga yang selama ini ingin dicapai dalam perekonomian rupanya belum cukup menjadi tolak ukur bagi kemakmuran perekonomian di masa yang akan datang.

Mereka yang paling terdampak akan merasakan kenaikan harga, sementara pos keuangan rumah tangga tidak bertambah justru sebaliknya, minus, memiliki multiplier effect ke berbagai sektor kehidupan.

Tujuan kebijakan makroprudensial merupakan instrumen untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Seperti yang disebutkan oleh Flannery dan Sorescu (1996), kebijakan makroprudensial menjadi alat penting dalam memastikan kesehatan keuangan negara dalam posisi yang sangat baik. 

Bank Indonesia melakukan pelonggaran kebijakan makroprudensial untuk mendorong perbankan dalam pembiayaan dunia usaha dan ekonomi. Stabilitas sistem keuangan menjadi tujuan utama dari kebijakan makroprudensial. 

Belajar dari pandemi influenza H1N1 (Flu Babi) pada tahun 2009 adalah studi kasus yang memperkarya konteks modern risiko guncangan global dari pandemi. UNDP mengkonseptualisasikan keamanan berfokus pada manusia bukan dalam cakupan negara, dan mencakup perlindungan dari guncangan yang mempengaruhi keselamatan dan kesejahteraan manusia, seperti penyakit, kelaparan, pengangguran, kejahatan, konflik sosial, represi politik dan bahaya lingkungan.

Konsekuensi dari definisi tersebut, eperti yang ditunjukkan oleh Ole Weaver (Weaver 2009) adalah, "... bahwa tindakan sesuai dengan prosedur normal tidak akan dapat mengimbangi ini pada waktunya, dan oleh karena itu tindakan luar biasa diperlukan dan dibenarkan." Salah satu dampak pandemi Covid-19 salah satunya banyak tenaga kerja yang dirumahkan, dengan konsekuensi makin bertambahnya penduduk miskin. 

Pesan Non Medis Ibnu Sina

Dengan berubahnya situasi di era normal baru dimana manusia mulai menjaga protokol kesehatan dan berusaha beradaptasi agar tidak tertular, terlebih di era normal baru ini, para pekerja sebagian besar mulai bekerja seperti biasa.

Namun perlu diingat, perasaan panik berlebihan justru akan membuat situasi menjadi tidak kondusif. Hal ini akan berbahaya bagi masyarakat, karena rasa ketakutan berlebih dapat membuat kesehatan mental pun terganggu.

Di seluruh dunia, Organisasi Kesehatan Dunia dan Institute for Health Metrics and Evaluation (Lembaga Metrik dan Evaluasi Kesehatan) melaporkan:

  • Lebih dari 1,1 miliar orang menderita gangguan mental atau penggunaan narkoba, di seluruh dunia.
  • Sekitar 20% anak-anak dan remaja bergumul dengan masalah kesehatan mental.
  • 50% dari gangguan mental muncul sebelum usia 14.
  • Gangguan mental dan penggunaan narkoba adalah penyebab utama disabilitas di seluruh dunia.
  • Setiap tahun, lebih dari 800.000 orang bunuh diri.

Di Indonesia, merujuk pada data Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada 2018, menunjukkan bahwa prevalensi orang gangguan jiwa berat (skizofrenia/psikosis) meningkat dari 0,15% menjadi 0,18%, sementara prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk usia 15 tahun keatas meningkat dari 6,1% pada tahun 2013 menjadi 9,8 % pada 2018.

Artinya, sekitar 12 juta penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas menderita depresi. Persoalannya bahwa masalah kesehatan mental makin meningkat, karena salah satunya tidak adanya layanan kesehatan mental di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Bahkan merujuk data tahun 2014, bahwa hanya ada 600-800 psikiater di seluruh Indonesia (Kementerian Kesehatan Indonesia). Ini menghasilkan rasio 0,01 psikiater per 100.000 orang (WHO, 2014).

Saya dan keluarga berkiblat pada pesan Ibnu Sina bahwa faktor mental akan sangat menentukan dalam hidup manusia. Ibnu Sina yang dikenal dengan Bapak Kedokteran Dunia tidak memberi pesan medis, melainkan pesan non medis kepada kita di tengah krisis ini. Menurut Ibnu Sina, kesehatan terlihat dari tiga hal, yakni kepanikan, ketenangan, dan kesabaran.

Tiga sikap tersebut merupakan basis imunitas manusia yang dibutuhkan di masa krisis ini. Kepanikan tidak akan terjadi, jika setiap manusia menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat secara konsisten. Sikap tenang di rumah akan membawa perasaan aman terkhusus bagi anak-anak maupun lansia.

Sementara sikap sabar tidak gampang emosional dan mudah percaya pada berita atau informasi hoaks tentang Covid-19. Sebagaimana, sebagian orang yang sering mengatakan bahwa pandemi ini adalah hukuman ilahi (atau azab) Tuhan kepada umat manusia. Gagasan ini telah menyebar dan menjadi penyebab keputusasaan di benak orang.

Dengan demikian, biasa untuk tidak cepat panik, ketenangan dan kesabaran sebagai bukti dari kematangan jiwa akan membuat masyarakat menjadi terlatih untuk tetap produktif di era normal baru ini. Covid-19 menjadi sebuah keberkahan tersembunyi (blessing in disguise) yang membuat Indonesia menjadi lebih sehat, baik mental maupun fisiknya.

Tidak salah jika manusia memiliki pikiran negatif di tengah pandemi. Persoalannya jika pikiran dan pemahaman tersebut dipercaya sebagai kebenaran, maka kecemasan sudah pasti tumbuh. Apalagi hoaks yang tumbuh melalui media sosial, makin membuat kita dimakan ketakutan itu sendiri.

Dengan mempraktikkan cara berpikir yang seimbang dan akurat, kita dapat menciptakan pikiran yang lebih sehat dan pada gilirannya menenangkan reaksi emosional kita. Dari pikiran sehat inilah muncul perilaku cerdas, yang jauh berbeda dari sebelumnya.

Misalnya, kebiasan mencuci tangan, tidak sembarangan memegang sesuatu yang dipegang banyak orang, tidak menggaruk muka dan mata saat bepergian menggunakan transportasi umum, tetap menjaga jarak, belajar mengantri minimal 1 meter, dan tidak pergi kemana-mana saat badan kurang sehat apalagi yang memicu terjadinya bersin, batuk, atau badan linu.

Jika teknologi saja punya perilaku cerdas dalam menghadapi Covid-19, maka manusia selayaknya harus lebih pintar dari teknologi. Virus akan selamanya hidup, meskipun terjadi penurunan kasus Covid-19 dalam satu dua tahun mendatang.

Artinya, perilaku cerdas yang disebutkan sebelumnya harus menjadi kultur dari perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) masyarakat. Jadi apapun ancaman ke depan, kita sudah siap sebelum waktunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun