Mohon tunggu...
Muhammad Ivan
Muhammad Ivan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS di Kemenko PMK

Sebagai abdi negara, menulis menjadi aktivitas yang membantu saya menajamkan analisa kebijakan publik. Saya bukan penulis, saya hanya berusaha menyebarkan perspektif saya tentang sesuatu hal.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Wajah Baru PKH Menghadapi Ketimpangan Baru

28 Februari 2019   23:53 Diperbarui: 1 Maret 2019   00:51 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Melalui Departemen Sosial (Sekarang Kementerian Sosial), Program Keluarga Harapan (PKH) telah hadir sejak 2007 yang berarti melewati tiga kali pergantian presiden dan berkonotasi positif terhadap pembangunan kualitas manusia Indonesia.

Pembangunan manusia yang akan menjadi sorotan pada RPJMN tahun 2019-2024 justru sudah dilakukan oleh PKH lebih dari satu dasawarsa yang mengartikan bahwa PKH sudah mendarah daging dalam upaya proses mendukung fokus pemerintah dalam pembangunan sumber daya manusia.

Tinggal bagaimana pemerintah yang baru nanti mengelaborasi PKH dengan elemen-elemen program pemerintah lainnya, agar sistem perlindungan sosial mampu mengefisienkan kerja pemerintah, sehingga kinerja kesuksesan PKH terus melesat. 

Ke depan, Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita menyebutkan bahwa keluarga penerima manfaat (KPM) PKH mulai tahun 2019, penyalurannya akan memperhatikan beban tanggungan keluarga yang dibagi ke dalam 7 komponen, yakni ada ibu hamil, ada anak dengan pendidikan SD, SMP, SMA, ada lansia, ada penyandang disabilitas dalam sebuah keluarga dan maksimal hanya menerima 4 komponen dan besarannya tergantung pada subjek penerima dan wilayah (Pikiran Rakyat, 13/12/2018). Peran pendamping sangat vital untuk memastikan bahwa PKH berjalan sesuai "harapan" yang diinginkan.

Secara makro, program PKH telah melibatkan  KPM sebanyak 3,5 juta dan meningkat signifikan pada tahun 2018 menjadi 10 juta KPM dan diperkirakan hingga tahun 2020 sebanyak 15,6 juta KPM. Berita baik ini akan menoreh pembangunan bonus demografi yang pada akhirnya membuka asa bagi keluarga yang tadinya berada dalam ekonomi lemah, memiliki kemampuan untuk membekali dan menafkahi keluarganya lebih baik.

Sistem yang baik ibarat bibit yang akan menumbuhkan benih yang baik pula dan berpengaruh kepada bagaimana sistem ekonomi Indonesia turut ditopang sistem perlindungan sosial yang hebat. Namun analisa pemerintah tersebut masih mekanis dan merujuk angka, belum faktual merujuk secara organis unit-unit (Keluarga Penerima Manfaat) di tingkat kabupaten/kota yang telah secara mandiri mampu membagi atmoster keberhasilannya pada keluarga yang lain.

Logika publik yang terbangun, jika pemerintah terus menerus memberikan bantuan sosial terhadap orang miskin, dan dalam jumlah yang sangat fantastis, membuktikan bahwa sistem perlindungan sosial akan terkesan politis, dan tidak mengedukasi daerah membangun daerahnya secara mandiri.

Tidak Cukup dengan Gini Ratio

Kemiskinan yang berkaitan erat dengan pengangguran tidak cukup merta diselesaikan dengan pengadaan lapangan pekerjaan, tanpa memperhatikan jaminan kesehatan dan akses pendidikan yang mumpuni. Peran PKH secara kultural telah mengedukasi masyarakat untuk menjalankan kewajiban sebagai  KPM memberikan makanan bergizi dengan memanfaatkan pangan lokal, dan perawatan kesehatan minimal satu kali dalam satu tahun terhadap anggota keluarga lanjut usia mulai dari 70 (tujuh puluh) tahun, dan meminta tenaga kesehatan yang ada untuk memeriksa kesehatan, merawat kebersihan, mengupayakan makanan dengan makanan lokal bagi penyandang disabilitas berat (kemsos.go.id). 

Secara horizontal, PKH hendak membangun integrasi bagi masyarakat untuk "naik kelas" ke level kehidupan yang lebih baik. Dengan membangun investasi pada kesehatan dan pendidikan, memicu masyarakat berhasil lebih cepat dalam beradaptasi dengan perubahan yang terus membaru. Untuk apa berpendidikan jika kesehatan tidak memadai, atau sehat namun tidak mampu menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya. 

Pada dasarnya, turunnya angka ketimpangan atau gini ratio sebesar 0.004 poin pada tahun 2018 menjadi 0.389, dibandingkan tahun 2017 sebesar 0.393 menjadi prestasi pemerintah. Namun kalkulasi umum ini menjadi sia-sia, jika tidak dibreak-down hingga kabupaten/kota untuk kemudian diketemukan apakah sejak 2007 hingga 2018, tren ketimpangan semakin menurun atau tidak stabil.

Pemerintah daerah yang kelihatan pesona infrastrukturnya tidak serta merta dianggap berhasil, namun menyuguhkan kantong-kantong kemiskinan yang dibiarkan mengadu nasib di tengah persaingan usaha yang tidak sehat.

Perlindungan sosial dengan begitu tidak hanya dijadikan misi yang dimanfaatkan untuk mendapatkan respon sesaat atas prestasi pemerintah, namun juga mampu melahirkan model alternatif untuk mengangkat skor ratio gini lebih baik lagi, sehingga ketimpangan di kabupaten/kota tak bersisa. 

Lulusan SD dan SMP yang memenuhi pasar tenaga kerja di dalam negeri perlu direvitalisasi sehingga ke depan, generasi di bawah lulusan ini mampu memenuhi kebutuhan pasar nasional dan global. Membaca peta kebutuhan mutu tenaga kerja yang lebih baik, harus diawali dari pendidikan dasar dan menengah yang berjalan secara terintegrasi.

Sehingga, PKH perlu pengklasteran yang dapat dilihat dari karakteristik daerah maju, sedang, dan tertinggal. Ini menjadi penting agar program PKH mampu memprioritaskan lebih lebar lagi ke daerah yang belum mandiri secara ekonomi maupun belum secara sadar memosisikan diri ke arah yang lebih baik. 

PKH kiranya perlu berafiliasi dengan komunitas dan akses kepada lembaga-lembaga baik offline maupun online yang sudah berkembang dan mampu mengangkat peran PKH lebih unik dari sebelumnya. Pentingnya membangun model alternatif penanggulangan kemiskinan di era digital seperti ini penting dilakukan karena digitalisasi yang semakin massif telah menyingkirkan beberapa kompetensi yang tidak lagi penting atau dibutuhkan dunia. 

Era Baru, Ketimpangan Baru 

Di sisi yang berbeda, era digital menghadirkan pekerjaan-pekerjaan baru yang semakin terspesifikasi. Berdasarkan riset McKinsey akan ada 45 sampai 50 juta tenaga kerja Indonesia yang kehilangan pekerjaan. Dalam kesimpulan riset World Economic Forum (WE Forum) pada 2016 dinyatakan bahwa dalam lima tahun mendatang, 7,1 juta pekerjaan bisa hilang dengan dampak terbesar dirasakan pekerja kerah putih dan administratif.

Bonus demografi sebagai aset bangsa Indonesia jangan terlelap dengan fakta tersebut. Bonus demografi diartikan bahwa usia produktif akan lebih banyak dibandingkan dengan usia tidak produktif. Diketahui bahwa akan ada kenaikan sekitar 70% untuk usia produktif yaitu usia mulai dari 15 sampai dengan usia 64 tahun.

Sedangkan 30% merupakan usia tidak produktif yaitu usia mulai dari 14 tahun ke bawah dan usia mulai dari 65 tahun ke atas. Posisi Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasar dianggap aset tidak produktif. Untuk berada dalam usia produktif, persiapan mengoptimalkan potensi berdasarkan bakat dan minat untuk dikembangkan mulai sejak usia dini. 

Pada bonus demografi ini pergerakan dan peluang ekonomi masyarakat akan didominasi oleh usia produktif. Yang artinya pada 2020 sampai dengan 2030, Indonesia akan memiliki sumber daya manusia yang usianya didominasi oleh usia produktif, yang dapat berkontribusi dalam pembangunan bangsa. Investasi PAUD akan menghadirkan dan mengakselerasi perekonomian lebih cepat untuk mengejar ketertinggalan. 

PKH, secara mendalam, telah mengafirmasi analisa Heckman dan Mosso (2014) sebagaimana dikutip Elango (2015) meringkas literatur dalam banyak argumen yang telah dibuat untuk mensubsidi program anak usia dini untuk keluarga yang kurang beruntung yang menunjukkan bahwa lingkungan anak usia dini memiliki konsekuensi mendalam pada kehidupan anak-anak, dan mempengaruhi seluruh masyarakat melalui pengurangan kejahatan, peningkatan kesehatan, pencapaian pendidikan yang lebih besar, dan keterlibatan sosial yang lebih besar. 

Dengan pemikiran yang lebih makro, investasi PAUD dengan merujuk pada studi dari Lee & Mason (Lee et al., 2000; Lee & Mason, 2010; Mason et al., 2016) perubahan dalam struktur usia terkait dengan peningkatan investasi pada sumber daya manusia anak-anak menunjukkan dampak pada pertumbuhan ekonomi, meskipun tidak mempertimbangkan perubahan tingkat pendidikan penduduk. Ini mengartikan bahwa meskipun tingkat pendidikan tidak berangsur membaik, namun dengan adanya peningkatan investasi pada sumber daya manusia anak-anak, berpotensi terkait dengan pertumbuhan ekonomi.

Sebagai bantuan tunai bersyarat, maka PKH selain sudah menjadi primadona perlu me-remake atau memperbaharui wajahnya dengan sistem yang lebih efisien mengingat ketimpangan baru di era digital akan terjadi jika tidak diimbangi dengan outcome KPM yang mampu membekali diri menghadapi era digital.

Di sisi yang lain, Bupati/Walikota untuk mulai berinisiasi mengkaji secara holistik dan komprehensif, mana "keluarga" yang sudah "berhasil" menjadi "harapan" bagi "keluarga lainnya" yang belum sukses baik secara kesehatan, pendidikan, dan ketahanan ekonomi.

Mengingat PKH yang menjadi garapan Kementerian Sosial sudah eksis, maka mengukur maju mundurnya membutuhkan penilaian yang lebih spesifik dan secara mandiri, tren naik turun PKH menjadi parameter tersendiri agar daerah juga mampu membenahi sistem sosial yang dapat melengkapi komitmen memerangi kemiskinan dengan melibatkan sebanyak mungkin stakeholder yang memiliki tujuan sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun