Pemerintah daerah yang kelihatan pesona infrastrukturnya tidak serta merta dianggap berhasil, namun menyuguhkan kantong-kantong kemiskinan yang dibiarkan mengadu nasib di tengah persaingan usaha yang tidak sehat.
Perlindungan sosial dengan begitu tidak hanya dijadikan misi yang dimanfaatkan untuk mendapatkan respon sesaat atas prestasi pemerintah, namun juga mampu melahirkan model alternatif untuk mengangkat skor ratio gini lebih baik lagi, sehingga ketimpangan di kabupaten/kota tak bersisa.Â
Lulusan SD dan SMP yang memenuhi pasar tenaga kerja di dalam negeri perlu direvitalisasi sehingga ke depan, generasi di bawah lulusan ini mampu memenuhi kebutuhan pasar nasional dan global. Membaca peta kebutuhan mutu tenaga kerja yang lebih baik, harus diawali dari pendidikan dasar dan menengah yang berjalan secara terintegrasi.
Sehingga, PKH perlu pengklasteran yang dapat dilihat dari karakteristik daerah maju, sedang, dan tertinggal. Ini menjadi penting agar program PKH mampu memprioritaskan lebih lebar lagi ke daerah yang belum mandiri secara ekonomi maupun belum secara sadar memosisikan diri ke arah yang lebih baik.Â
PKH kiranya perlu berafiliasi dengan komunitas dan akses kepada lembaga-lembaga baik offline maupun online yang sudah berkembang dan mampu mengangkat peran PKH lebih unik dari sebelumnya. Pentingnya membangun model alternatif penanggulangan kemiskinan di era digital seperti ini penting dilakukan karena digitalisasi yang semakin massif telah menyingkirkan beberapa kompetensi yang tidak lagi penting atau dibutuhkan dunia.Â
Era Baru, Ketimpangan BaruÂ
Di sisi yang berbeda, era digital menghadirkan pekerjaan-pekerjaan baru yang semakin terspesifikasi. Berdasarkan riset McKinsey akan ada 45 sampai 50 juta tenaga kerja Indonesia yang kehilangan pekerjaan. Dalam kesimpulan riset World Economic Forum (WE Forum) pada 2016 dinyatakan bahwa dalam lima tahun mendatang, 7,1 juta pekerjaan bisa hilang dengan dampak terbesar dirasakan pekerja kerah putih dan administratif.
Bonus demografi sebagai aset bangsa Indonesia jangan terlelap dengan fakta tersebut. Bonus demografi diartikan bahwa usia produktif akan lebih banyak dibandingkan dengan usia tidak produktif. Diketahui bahwa akan ada kenaikan sekitar 70% untuk usia produktif yaitu usia mulai dari 15 sampai dengan usia 64 tahun.
Sedangkan 30% merupakan usia tidak produktif yaitu usia mulai dari 14 tahun ke bawah dan usia mulai dari 65 tahun ke atas. Posisi Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasar dianggap aset tidak produktif. Untuk berada dalam usia produktif, persiapan mengoptimalkan potensi berdasarkan bakat dan minat untuk dikembangkan mulai sejak usia dini.Â
Pada bonus demografi ini pergerakan dan peluang ekonomi masyarakat akan didominasi oleh usia produktif. Yang artinya pada 2020 sampai dengan 2030, Indonesia akan memiliki sumber daya manusia yang usianya didominasi oleh usia produktif, yang dapat berkontribusi dalam pembangunan bangsa. Investasi PAUD akan menghadirkan dan mengakselerasi perekonomian lebih cepat untuk mengejar ketertinggalan.Â
PKH, secara mendalam, telah mengafirmasi analisa Heckman dan Mosso (2014) sebagaimana dikutip Elango (2015) meringkas literatur dalam banyak argumen yang telah dibuat untuk mensubsidi program anak usia dini untuk keluarga yang kurang beruntung yang menunjukkan bahwa lingkungan anak usia dini memiliki konsekuensi mendalam pada kehidupan anak-anak, dan mempengaruhi seluruh masyarakat melalui pengurangan kejahatan, peningkatan kesehatan, pencapaian pendidikan yang lebih besar, dan keterlibatan sosial yang lebih besar.Â