Aku memandang ke langit yang mulai berwarna abu-abu, seperti cermin hatiku yang kelabu. Mendung menggantung rendah, seakan membungkusku dalam keheningan yang menyesakkan. Bibirku gemetar, mencoba menyusun kata-kata yang tertahan selama ini, namun yang keluar hanya gumaman patah yang hampir tak terdengar. Â
"Bu," suaraku pecah dalam bisikan serak. "Aku tahu, mungkin aku terlambat untuk mengatakan ini... tapi aku benar-benar menyesal. Aku minta maaf untuk semua waktu yang aku sia-siakan... untuk semua kata-kata yang pernah menyakitimu."Â Â
Angin bertiup lebih kencang, membawa aroma tanah basah. Suaranya seakan menjawab permintaan maafku, seperti bisikan alam yang tahu betapa hancurnya hatiku. Aku meremas tanah di hadapanku, mencoba mencari kehangatan yang pernah kurasakan darinya. Tapi yang kutemukan hanyalah dinginnya tanah lembap---dingin, diam, tak bisa menggantikan kehadirannya. Â
Kenangan terakhir tentang ibu tiba-tiba menyergapku tanpa peringatan, menghantamku seperti ombak yang menghempaskan. Â
_Flashback_
"Ibu hanya ingin kamu bahagia," ucap ibu sambil tersenyum lembut. Tangannya yang kurus namun penuh kasih sayang mengelus rambutku, sebuah isyarat yang selalu membuatku merasa aman. Â
Aku, yang saat itu sibuk dengan segala ambisiku, hanya menanggapi dengan anggukan cepat. Aku bahkan tak menatapnya lama-lama. "Iya, Bu. Tapi aku harus pergi dulu sekarang. Ada banyak hal yang harus aku selesaikan," jawabku dengan nada terburu-buru. Â
Ibu mengangguk pelan, senyumnya tetap bertahan meskipun aku tak menyadari sorot sendu di matanya. Aku terlalu tenggelam dalam pikiranku sendiri, terlalu sibuk mengejar mimpi-mimpiku tanpa pernah berpikir bahwa waktu kami bersama tidak akan selamanya. Â
Itulah terakhir kali aku melihat senyumnya. Senyum yang hangat namun terselip kelelahan, senyum yang menyembunyikan rasa sakit yang tidak pernah ia keluhkan. Â
_Flashback End_
Aku kembali ke makamnya, lututku lemas saat aku berlutut di atas rumput yang kini mulai tumbuh hijau di atas tanahnya. Air mataku bercampur dengan butiran hujan yang mulai turun. Rasanya seperti dunia ikut menangis bersamaku. Â
"Andai aku tahu itu akan menjadi saat terakhir kita, Bu," isakku. "Aku tidak akan pernah pergi. Aku tidak akan membiarkan kita berpisah dengan cara seperti itu."Â Â
Aku menunduk, memandang rumput hijau itu seolah berharap ia bisa memberikan jawaban. Tapi hanya keheningan yang kudapat, keheningan yang semakin menghancurkan hatiku. Kenangan akan bagaimana ibu selalu mengajarkanku untuk tetap kuat mulai menyeruak. Â
Namun bagaimana aku bisa kuat sekarang? Sosok yang selama ini menjadi penopangku, satu-satunya tempatku pulang, sudah pergi selamanya. Â
"Bu," suaraku semakin lirih, hampir tidak terdengar di tengah suara hujan. "Aku minta maaf... karena selalu keras kepala. Aku minta maaf karena nggak pernah mendengarkan Ibu waktu aku masih bisa. Aku minta maaf karena nggak ada waktu lebih untuk Ibu di hari-hari terakhir..."Â Â
Tiba-tiba, suara kecil menginterupsi keheningan. "Kenapa Kakak menangis?"Â Â
Aku terkejut, menoleh ke arah suara itu. Di belakangku, seorang anak kecil berdiri dengan bunga matahari di tangannya. Wajahnya polos, matanya yang bulat memandangku dengan rasa ingin tahu. Â
"Aku kehilangan seseorang," jawabku singkat, berusaha menyeka air mata di pipiku. Â
Anak itu melangkah mendekat, langkah-langkahnya ringan tapi penuh keberanian. Tanpa diminta, ia duduk di sampingku, memandang nisan ibuku dengan penuh rasa hormat. "Ibu juga sering bilang, kalau aku sedih, jangan nangis terus. Katanya, nangis nggak akan bikin mereka balik," katanya dengan suara polos namun penuh makna. Â
Ia lalu meletakkan bunga matahari itu di atas makam ibuku, gerakannya penuh kehati-hatian. "Tapi katanya, kalau kita ingat mereka dengan senyum, mereka juga akan senang."Â Â
Aku tertegun mendengar kata-katanya. Seorang anak kecil yang mungkin belum lama mengenal dunia berbicara dengan kebijaksanaan yang seolah melampaui usianya. Aku hanya bisa memandangnya, merasa malu pada diriku sendiri yang selama ini terus terjebak dalam penyesalan. Â
"Kamu... datang untuk siapa?" tanyaku akhirnya, berusaha menyembunyikan gemetar di suaraku. Â
"Adikku," jawabnya ringan, sambil menunjuk makam kecil beberapa meter dariku. "Dia suka bunga matahari."Â Â
Aku mengangguk pelan. Ada kehangatan aneh yang menyusup di sela-sela kesedihan. Mungkin karena kepolosannya, atau mungkin karena kata-katanya yang entah bagaimana menyentuh hatiku. Aku menatap nisan ibuku sekali lagi, dan kali ini, meski air mata masih mengalir, aku mencoba tersenyum. *Mungkin benar. Ibu ingin aku bahagia, bukan terus-menerus terjebak dalam kesedihan.*Â Â
"Terima kasih," gumamku kepada anak kecil itu. Dia tersenyum sebelum beranjak pergi ke makam adiknya, meninggalkanku sendiri bersama kenangan tentang ibu. Â
Aku menunduk sekali lagi, berbicara dengan suara yang hanya akan didengar oleh hatiku dan alam semesta. "Bu, aku akan coba... coba untuk tersenyum lagi, untuk Ibu."Â Â
Angin kembali berhembus, tapi kali ini terasa lebih hangat. Seolah ada pelukan tak kasatmata yang menguatkanku. Aku merapikan bunga di atas makam, berdiri dengan langkah yang lebih ringan, membawa kehangatan kenangan tentang ibu dalam hatiku. Â
Dan untuk pertama kalinya sejak kepergiannya, aku merasa ibu tidak benar-benar pergi. Beliau ada di setiap senyuman yang kuberikan, di setiap langkah yang kuambil, dan di setiap doa yang kurapal untuknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H