"Adikku," jawabnya ringan, sambil menunjuk makam kecil beberapa meter dariku. "Dia suka bunga matahari."Â Â
Aku mengangguk pelan. Ada kehangatan aneh yang menyusup di sela-sela kesedihan. Mungkin karena kepolosannya, atau mungkin karena kata-katanya yang entah bagaimana menyentuh hatiku. Aku menatap nisan ibuku sekali lagi, dan kali ini, meski air mata masih mengalir, aku mencoba tersenyum. *Mungkin benar. Ibu ingin aku bahagia, bukan terus-menerus terjebak dalam kesedihan.*Â Â
"Terima kasih," gumamku kepada anak kecil itu. Dia tersenyum sebelum beranjak pergi ke makam adiknya, meninggalkanku sendiri bersama kenangan tentang ibu. Â
Aku menunduk sekali lagi, berbicara dengan suara yang hanya akan didengar oleh hatiku dan alam semesta. "Bu, aku akan coba... coba untuk tersenyum lagi, untuk Ibu."Â Â
Angin kembali berhembus, tapi kali ini terasa lebih hangat. Seolah ada pelukan tak kasatmata yang menguatkanku. Aku merapikan bunga di atas makam, berdiri dengan langkah yang lebih ringan, membawa kehangatan kenangan tentang ibu dalam hatiku. Â
Dan untuk pertama kalinya sejak kepergiannya, aku merasa ibu tidak benar-benar pergi. Beliau ada di setiap senyuman yang kuberikan, di setiap langkah yang kuambil, dan di setiap doa yang kurapal untuknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H