"Andai aku tahu itu akan menjadi saat terakhir kita, Bu," isakku. "Aku tidak akan pernah pergi. Aku tidak akan membiarkan kita berpisah dengan cara seperti itu."Â Â
Aku menunduk, memandang rumput hijau itu seolah berharap ia bisa memberikan jawaban. Tapi hanya keheningan yang kudapat, keheningan yang semakin menghancurkan hatiku. Kenangan akan bagaimana ibu selalu mengajarkanku untuk tetap kuat mulai menyeruak. Â
Namun bagaimana aku bisa kuat sekarang? Sosok yang selama ini menjadi penopangku, satu-satunya tempatku pulang, sudah pergi selamanya. Â
"Bu," suaraku semakin lirih, hampir tidak terdengar di tengah suara hujan. "Aku minta maaf... karena selalu keras kepala. Aku minta maaf karena nggak pernah mendengarkan Ibu waktu aku masih bisa. Aku minta maaf karena nggak ada waktu lebih untuk Ibu di hari-hari terakhir..."Â Â
Tiba-tiba, suara kecil menginterupsi keheningan. "Kenapa Kakak menangis?"Â Â
Aku terkejut, menoleh ke arah suara itu. Di belakangku, seorang anak kecil berdiri dengan bunga matahari di tangannya. Wajahnya polos, matanya yang bulat memandangku dengan rasa ingin tahu. Â
"Aku kehilangan seseorang," jawabku singkat, berusaha menyeka air mata di pipiku. Â
Anak itu melangkah mendekat, langkah-langkahnya ringan tapi penuh keberanian. Tanpa diminta, ia duduk di sampingku, memandang nisan ibuku dengan penuh rasa hormat. "Ibu juga sering bilang, kalau aku sedih, jangan nangis terus. Katanya, nangis nggak akan bikin mereka balik," katanya dengan suara polos namun penuh makna. Â
Ia lalu meletakkan bunga matahari itu di atas makam ibuku, gerakannya penuh kehati-hatian. "Tapi katanya, kalau kita ingat mereka dengan senyum, mereka juga akan senang."Â Â
Aku tertegun mendengar kata-katanya. Seorang anak kecil yang mungkin belum lama mengenal dunia berbicara dengan kebijaksanaan yang seolah melampaui usianya. Aku hanya bisa memandangnya, merasa malu pada diriku sendiri yang selama ini terus terjebak dalam penyesalan. Â
"Kamu... datang untuk siapa?" tanyaku akhirnya, berusaha menyembunyikan gemetar di suaraku. Â