UU Kesehatan menyatakan bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah. Berdasarkan pasal 127 UU Kesehatan, metode kehamilan yang diperbolehkan adalah pembuahan sperma dan ovum dari suami dan istri yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal atau yang dikenal dengan metode bayi tabung.
Sementara metode surrogate mother merupakan perjanjian yang mengikat wanita dengan pihak lain (suami-istri) untuk hamil dan menampung hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami-istri tersebut dan setelah melahirkan diharuskan untuk menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami istri berdasarkan perjanjian yang telah dibuat. Perjanjian ini dikenal dengan gestational agreement.
Dalam hal ini, wanita dianggap 'menyewakan' rahimnya. Berdasarkan Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 26 Mei 2006, penitipan embrio ke penyewa rahim dalam artian bukan rahim wanita yang memiliki ovum tersebut hukumnya haram dan dapat dikategorikan sebagai perbuatan zina. Oleh karena itu, upaya kehamilan di luar cara alamiah ini secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia.
Selanjutnya, menurut ulama besar Mesir, Dr. Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa semua ahli fiqih tidak memperbolehkan penyewaan rahim dalam berbagai bentuknya (Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 3, hal. 660).
Sebagai wujud pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan, para ahli fiqih dan pakar ilmu kedokteran memperbolehkan suami-istri untuk membantu mewujudkan kelahiran anak menggunakan metode In Vitro Fertilization (iVF) atau pembuahan sperma dan ovum di luar tubuh dengan syarat tanpa adanya pihak ketiga (penyewa rahim).
Di samping itu, praktik surrogacy atau sewa rahim juga melanggar salah satu syarat sah perjanjian dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu suatu perjanjian harus memiliki sebab yang halal.
Sebab yang halal disini artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun ketertiban umum, sedangkan praktek surrogacy jelas bertentangan dengan UU Kesehatan.
Praktik surrogacy hingga saat ini menjadi kontroversi. Dilihat dari perspektif HAM, praktik surrogacy dinilai sebagai bentuk eksploitasi terhadap wanita karena wanita diperalat sebagai tempat penyewaan dan penitipan Janin. Hal ini juga bertentangan dengan etika dan moral apabila seorang wanita dijadikan sebagai objek kontrak dan komoditi.
Masyarakat yang kontra dengan praktik sewa rahim menilai bahwa metode persalinan yang populer di kalangan selebriti ini merupakan bentuk pelecehan terhadap kodrat wanita sebagai manusia. Wanita tidak seharusnya menjadi bahan komoditi bisnis.
Praktik sewa rahim ini sangat merugikan pihak wanita pendonor, di mana wanita pendonor diharuskan hamil dari benih yang bukan berasal dari miliknya dan selama sembilan bulan harus membawa anak orang lain dalam kandungan, tetapi setelah melahirkan anak itu harus diberikan kepada orang tua biologis anak tersebut.
Belum lagi jika kesehatan atau kehidupan ibu pengganti terancam selama kehamilan. Sementara masalah yang dapat timbul setelah persalinan adalah bagaimana status kewarganegaraan si anak dan bagaimana jika ibu pengganti berubah pikiran dan meminta hak asuh atas anak karena ingin menjaga dan merawat anak itu.