“Mungkin sudah biasa ya”. Dia tersipu.
Ternyata hingga hari ini ia masih memikirkan hal itu. Entah seberapa terpukulnya hati Aisyah karena ucapanku. Oh Allah apa yang telah aku lakukan?
Sejak saat itu ‘persahabatan kecil’ kami berubah buruk. Aisyah seperti selalu menghindar dariku. Walaupunsebenarnya aku juga sudah tak sesering dulu hadir di halaqoh. Waktu itu, Aisyah juga sempat mengungkapkan sesuatu, bahwa ia mulai nyaman dengan kehadiranku. Dan saat ini jelas-jelas kami tak pernah agi bersapa, atau hanya berpapasan. Tidak pernah. Aku-dia sepertiberjalan diatas jembatan yang tak pertah bertumpu.
Aisyah benar-benar pergi tanpa jejak. Aku tak tahu hari ini ia sebaik dulu atau tidak. Ia seriang dulu atau tidak. Semanis dulu atau tidak. Hanya bayang-bayangnya yang masih saja terlukis jelas dibenakku. Tuhan dengan mudah mempertemukan kami dalam bingkai ukhuwah ini. Setelah itu, dengan mudah Ia buat arak yang benar-benar memisahkan kami.
Ini mungkin akhir kisahku. Saat aku baru saja tahu bahwa sebenarnya Aisyah saat ini telah dipinang ikhwan yang aku yakin ia sangat pantas untuk menyandingi Aisyah. Aku tersenyum. Bersembunyi dalam serpihan rasa yang sudah sejak lama tumbuh di hatiku.
Wahai hati. Hatiku, hatimu. Tersenyumlah selalu dalam goresan-goresan ini. bolehkah aku menyebut ini cinta? Yah, cinta yang tumbuh sejak tiga bulan mengenalmu. Aku tak tahu ini skenario tuhan atau hanya sandiwara kita saja, aku hanya berharap kita sama-sama akan berjalan dijalan yang dirihoi Allah, tuhan kita. Aku tak tahu akankah kamu mau mengingatku atau tidak. Atau malah berbulir air mata jauh disana. Sampaikanlah apapun disepertiga malammu. Allah maha mengetahui. Sesungguhnya kamu selalu indah untukku, sampai saat ini. Menjadi bingkai di hatiku. Aku kerap kali mengukuhkan hatiku, mencoba melupakannya. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H